From: Abdul Malik
To: Senyum-ITB@yahoogroups.com
Sent: Sunday, January 23, 2011 12:00 PM
Subject: [Senyum-ITB] Membiayai pendidikan di ITB -- It's time to pay back..
Rekan Betti dan alumni sekalian,
Perasaan saya sering campur-aduk setiap kali masuk dalam perbincangan dengan topik pembiayaan pendidikan, terlebih menyangkut pembiayaan pendidikan di ITB. Dalam kesempatan ini saya ingin share beberapa "casual observations" dan sedikit pemikiran saya, mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan bersama tentang bagaimana seyogyanya pendidikan di ITB dibiayai kini dan di masa mendatang.
Sebelum mengurai beberapa observasi, saya ingin mengingatkan bahwa pendidikan di ITB, setidaknya yang saya rasakan, lebih dari sekedar menimba ilmu dan keterampilan yang kemudian membekali diri kita dalam perjalanan mencapai penghidupan yang lebih baik. Pendidikan di ITB merupakan "pengalaman budaya", proses penempaan diri dalam tatanan yang sangat egaliter dan atmosfer yang membuka pikiran pada kemungkinan mimpi yang nyaris tak terbatas, dalam bingkai optimisme yang "kadang terasa berlebihan dan beraura sombong"... he.. he.. he.. Tapi, seriuosly kita menjalani proses pendidikan dalam sebuah "tradisi dan semangat yang sangat noble".. Setidaknya itu yang saya rasakan selama kurun akhir 70an-awal 80an; mudah-mudahan, setidaknya bagian-bagian pentingnya masih terjaga hingga kini..
Kita dulu sangat bangga dengan diversitas socio-economic background yang tinggi komunitas ITB, yang boleh dipandang cerminan, meski mungkin belum sempurna benar, range status sosial ekonomi penduduk Republik. Dulu kita bangga saat jokingly mengatakan bahwa prosentase mahasiswa ITB yang mengendarai mobil ke kampus sama dengan prosentase mahasiswa Trisakti yang tidak mengendarai mobil ke kampus. Tentu itu semua merupakan "stylized claim" yang musti dicerna dengan grain and salt, serta kontekstual. Kini situasi sudah sangat jauh berbeda, dan range diversitas itu secara bertahap menyempit dengan berjalannya waktu, dan praktis mereka yang berasal dari "lower ends" spektrum status sosial-ekonomi terpangkas habis.
Anak-anak muda dengan latar belakang seperti saya dulu, dengan ayah petani lahan sempit dan ibu seorang guru SD, sulit dibayangkan dapat mengakses ITB. Gambaran demografis mahasiswa ITB sekarang sudah jauh berubah; dan hal ini dapat dilihat di kampus maupun di luar kampus lewat, misalnya, bagaimana mereka tinggal dan keseharian hidup mereka. Kultur menyewa rumah kontrakan berkelompok dan mengelolanya sebagai "keluarga" kini sangat jarang ditemui, kalau tidak sudah habis sama sekali. Kini kebanyakan mahasiswa tinggal di kamar-kamar kost dengan privacy yang sangat tinggi, dengan kamar mandi dalam kamar, sehingga seorang mahasiswa bisa tinggal selama empat tahun hingga lulus dalam satu kamar kost, tanpa pernah bersosialisasi dengan orang yang tinggal di kamar sebelahnya. Kemampuan diri untuk "berbagai" dan "menenggang" serta "memikirkan kepentingan orang lain" tidak lagi menjadi bagian penting proses pembelajaran selama di Bandung.
Mungkin tidak perlu menagisi semua yang hilang karena sebagian diantaranya hilang atasnama kemajuan dan penghidupan yang lebih baik kini dibanding 30-40 tahun lalu. Tetapi nilai tinggi "tumbuh dalam keanekaragaman" dan "berlatih berbagi, menenggang, dan solidaritas" tetap relevan sepanjang masa. Karena itu, ITB perlu mengevaluasi dan kemudian merancang mekanisme penerimaan mahasiswanya setidaknya untuk memastikan diversitas latar belakang calon mahasiswanya. Namun langkah ini akan membawa konsekwensi yang paling langsung konsekwensi finansial, sebagaimana secara implisit tercermin dari posting Rekan Betti Alisjahbana yang saya lampirkan di bawah.
Dinamika pembiayaan pendidikan di ITB...
Kira-kira lima belas tahun lalu saya membuat hitung-hitungan sederhana terkait education funding di ITB. Era 1970an hingga awal 80an... (kita bayar SPP Rp 21.000,- per-semester, rata).. saya coba cari berkas hitungan saya sudah gak ketemu, tapi pointnya saya gak pernah lupa bahwa saat itu mahasiswa/orangtua membayar kira-kira 5% hingga 7.5% (lima prosen hingga tujuh setengah prosen) dari biaya total pendidikan di ITB yang kita nikmati. Dengan kata lain, kita dulu menikmati sekitar 95% subsidi alias pembiayaan dari "publik". Tidak ada yang salah dengan itu, ITB sebagai "pengelola dana pemerintah untuk itu" sudah berusaha melakukan yang terbaik dan praktis "morally right" dengan menyeleksi "fully merit based" siapa-siapa saja yang berhak memanfaatkan dana publik tersebut. Dana yang 95% itu merupakan "investasi" yang dilakukan oleh negara melalui diri kita semua.
Kini, gambaran sudah jauh berbeda. Angka-angka yang disampaikan oleh Rekan Betti secara sederhana menunjukkan bahwa mahasiswa membayar Rp 8 juta dari Rp 30 juta total biaya, atau hampir 27%. Angka ini tentu bisa disikapi secara beragam. Teman-teman dari disiplin ekonomi publik secara sederhana akan menyambut baik trend ini dan akan cenderung mendorong lebih jauh. Argumentasi standarnya adalah bahwa "dimensi barang publik" pendidikan tinggi rendah, dan dimensi privatnya jauh lebih tinggi di banding misalnya pendidikan menengah, apalagi dasar, so pembiayaan harus makin banyak dilimpahkan kepada individu penikmat pendidikan tinggi.
Argumentasi lain, yang oleh beberapa pihak dikemas sebagai "argumentasi strategis" bisa berkata sebaliknya. Pendidikan tinggi merupakan investasi strategis, sehingga tidak bisa semata-mata dinilai dan dilihat dalam kacamata teori standar public finance. Dalam konteks ITB, argumentasi ini mendapat dukungan dari mereka yang merindukan diversitas latar belakang sosio-ekonomi yang lebih tinggi, yang pada tataran strategis bisa sejalan meski secara filosofi tidak sepenuhnya selaras. Kenaikan proporsi pendanaan oleh individu mahasiswa maupun besaran absolutnya di ITB patut dipercayai telah menciptakan "financial threshold" yang praktis mencegah sebagian cukup besar putra-putri Indonesia terbaik dari melenggang masuk gerbang di Jl. Ganesha 10 yang anggun itu.
It's time to pay back...
Mari menengok kembali dan menyadari bahwa dulu kita membayar 5% dan menerima subsidi 95%. It's a priviledge indeed, dan "priviledge comes with responsibility". Dalam pandangan saya, kehendak untuk memenuhi biaya operasional yang mendekati kewajaran untuk kualitas yang selalu dituntut tinggi (I have all the sympathy untuk rekan-rekan yang mengabdi di Kampus yang diwakili oleh Rekan Adi), telah "memaksa" ITB merogoh kantong orangtua "almost indiscriminately" terlalu jauh. Saya sangat setuju dengan prinsip "pembiayaan mandiri" bagi mereka yang mampu, tetapi skema ini harus didisain dengan sangat berhati-hati. Disain yang ada saat ini nampak belum mampu "mengamankan" kepentingan publik dan tradisi ITB, sebagaimana terbukti dari gambaran demografis yang bergeser ke atas secara sistematis dan sangat significant.
Threshold biaya dan prosentase kontribusi orangtua/mahasiswa yang jauh lebih tinggi itu telah mengorbankan "reputasi sosial" ITB dan kepentingan strategis proses pembelajaran yang ditandai dengan miskinnya diversitas mahasiswa ITB kini. Saat ini, "reputasi" dan "kepentingan strategis" tersebut "harga totalnya" Rp 8 juta per mahasiswa per tahun. Dengan asumsi jumlah mahasiswa S-1 (S-2 dan S-3 biarin saja on a cost recovery basis) sejumlah 10,000 orang, berarti butuh dana operasional sebesar Rp 80 milyar per tahun (nilai total kontribusi mahasiswa/orangtua). Anggaplah kita pertahankan 50% dari mahasiswa membayar rata-rata Rp8 juta per-tahun (wajar dong kondisi ekonomi sekarang berbeda dari 1970an), dan diantara 50% ini bayarnya beragam melalui skema yang well-designed. Tersisalah Rp 40 milyar harus dikumpulkan untuk mengkompensasi yang 50%-nya.
Anggap lagi kita tidak memberikan kepada yang 50% itu free melainkan low cost alias affordable, katakanlah rata-rata mereka dikenakan Rp 2 juta per tahun, beragam lagi-lagi bergantung pada kondisi ekonomi orangtua. Tersisalah beban Rp 30 milyar per tahun... Kalau.. kalau... (ngarep.com).. dari kontribusi AP, TPR, ARB dan semacamnya bisa disisihkan Rp 10 M per tahun untuk membantu operasional (karena beliau-beliau mungkin lebih tertarik membiayai investasi yang monumental), maka masih tersisa beban Rp 20 milyar per tahun..
Rasanya tidak terlalu muluk berharap mengumpulkan sejumlah itu dari puluhan ribu alumni yang masih aktif berkarya. Katakanlah, setiap orang committed untuk menyumbang Rp 2 juta per tahun (alias Rp 167,000 per bulan, seharga makan prasmanan di rata-rata hotel di Jakarta dan Bandung), pledge untuk 5-10 tahun, kita perlu komitmen 10,000 orang alumni. Apakah ini terlalu muluk? Yang pasti belum dicoba... padahal ini merupakan praktek standar perguruan tinggi di belahan dunia lain, khususnya di US.
Hmm... itulah harga yang perlu kita pikul bersama untuk mengembalikan "reputasi sosial" ITB.. makna strategis sebuah perguruan tinggi yang merupakan bagian penting sejarah perjalan bangsa ini. Dan, jangan lupa... "It's time to pay back.." setelah kita menikmati subsidi yang tebal beberapa tahun silam... as simple as that.
Mohon maaf sekiranya ada penggunaan kata-kata yang kurang tepat apalagi menyinggung perasaan sejawat sesama alumni..
Salam,
AM
----- Original Message -----
From: Betti S Alisjahbana
To: Senyum-ITB@yahoogroups.com
Sent: Friday, January 21, 2011 10:06 AM
Subject: Re: [Senyum-ITB] SNMPTN ITB Tidak Sesuai dengan PP No. 66 Tahun 2010 ?
Rekan Akbar,
Senang sekali Anda dan banyak Alumni peduli pada kemajuan ITB. Laporan ITB di audit dan mendapatkan predikat WTP. Laporan ini telah dipublikasikan di koran dan bisa di lihat di http://wrks.itb.ac.id/facts/?p=203. Laporan untuk tahun 2010 saat ini sedang dalam proses audit. Segera setelah siap akan dipublikasikan juga.
Sebagai gambaran, saat ini biaya rutin untuk proses pendidikan di ITB (rata-rata) adalah 30 juta/tahun/mahasiswa. ITB pada tahun 2010 mengenakan biaya kepada para mahasiswa sebesar Rp. 1.750.000 per semester untuk uang kuliah dan uang sks sebesar Rp. 125.000. Jadi bila mahasiswa mengambil 36 sks setahun, maka total uang kuliah dan uang sks yang di bayar oleh mahasiswa adalah Rp. 8 juta saja dari biaya rutin yang Rp. 30 juta/tahun. Kontribusi DIPA (Pemerintah) pada tahun 2009 adalah 36 % dari keseluruhan penerimaan ITB. Jadi sisanya dari mana ? Seperti bisa di lihat dari laporan, sebagian dari : Kerma PPM, Kerma Kemitraan, Sumbangan Dana Pengembangan Akademik, beasiswa dll.
ITB betul-betul putar otak dan kerja keras untuk menutup biaya pendidikan ini, termasuk melalui kerja sama penelitian yang dilakukan oleh para dosen yang telah menyumbangkan pemasukan yang signifikan. Di satu pihak ITB ingin agar semua kalangan termasuk yang berkemampuan ekonomi lemah bisa mengenyam pendidikan di ITB, pada saat yang sama ITB pun ingin agar bisa menjaga kualitas pendidikan dan penelitian yang artinya para dosen dan staf harus terjamin kesejahteraannya dan fasilitas penyelenggaraan pendidikan pun harus baik.
Silahkan bila ingin memberikan masukan dan ingin menyumbang.
Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana
Read more...