Nama Anak-Anak Bali

>> Tuesday, March 31, 2009

From: M Yusron
Sent: Tuesday, March 31, 2009 1:49 AM
Subject: [IA-ITB] Selingan : Nama Anak-anak Bali


Saya mengagumi keunikan Bali, keindahan alamnya,
kekuatan religius masyarakatnya, budayanya dan
seninya yang sudah bertaraf dunia : seni tari, patung,
ukir, musik, batik dan seni lukis. Pantaslah disebutkan
sebagai "Negeri Dewata". Dulu temen-temen kuliah saya
di ITB juga termasuk yang pintar-pintar, mungkin salah
satunya adalah karena penduduknya adalah campuran
keturunan raja lokal dan pelarian bangsawan Majapahit
yang terdesak karena perkembangan Islam.

Di dalam keluarga masyarakat Bali sekarang, dikenal
sebutan untuk nama depan anak-anak sesuai urutan
kelahirannya, yaitu :
- Wayan untuk anak pertama
- Made untuk anak kedua
- Nyoman untuk anak ketiga
- Ketut untuk anak keempat
[Kalau program KB berhasil generasi Nyoman & Ketut
jadi punah deh]

Nama anak-anak bali itu diduga berasal dari tata negara
kerajaan Bali kuno untuk penggawa desa, menurut
prasasti Buyan-Anggas-

Taryungan yang menyebutkan
ada 4 penggawa, Kabayan, masing-masing :
- Kabayan Tuha
- Kabayan Tengah
- Kabayan Nom, dan
- Kabayan Ketut
[Pak Erick, Prasati tsb lokasinya di mana ya?]

Dalam perkembangannya setelah ratusan tahun dijadikan
nama depan untuk anak-anak.
- Wayan berasal dari Wayahan yang sama dengan Tuha atau Tua
- Made berasal dari Madya yang sama dengan Tengah
- Nyoman berasal dari Nom yang sama dengan Muda
- Ketut berasal dari Tut yang berarti Belakang.

Salam,
M Yusron/TI82

Catatan :
-Untuk golongan Brahmana dan Ksatriya,
anak pertama disebut Putu
-Untuk pengenal setelah anak ke-4 dst. kembali
lagi ke Wayan, Made, Nyoman, Ketut

Read more...

Selingan : Evolusi Teknologi

From: M Yusron
Sent: Tuesday, March 31, 2009 1:20 AM
Subject: Re: [IA-ITB] Selingan : Evolusi Teknologi


Kini kita menyaksikan hancurnya Bagdad sebagai warisan
peradaban klasik untuk yang kesekian kali. Sebelumnya
pernah dihancurkan oleh tentara Mongol pada 1258 M,
semasa ekspansi kekuasaan Ku Bilai Khan.

Berkaitan dengan evolusi teknologi ini ada pengandaian
Carl Sagan yang cukup menarik berikut ini.

Peristiwa paling tragis pernah terjadi pada 415 M,
yaitu hilangnya harta umat manusia paling berharga yaitu
dibakarnya perpustakaan Alexandria oleh penganut
Kristen fanatik. Pada kejadian berikutnya Kaisar Romawi,
Yustinianus pada 531 M telah menutup semua sekolah Filsafat
yang sudah ada selama 800 tahun karena dianggapnya sebagai
sekolah kafir dan menyebarkan paganisme.

Atas kejadian ini Carl Sagan mantan Direktur NASA yang juga
penulis buku "Cosmos", mengandaikan, "Seandainya perpustakaan
Alexandria tidak dibakar dan tradisi keilmuannya terus berlanjut
mungkin orang semacam Einstein telah tampil 500 tahun yang lalu.
Atau mungkin Albert Einstein yang sesungguhnya tidak menemukan
teori relativitas karena perkembangan ilmu yang integral dan
menyeluruh telah terjadi. Dan pada abad ke-21 ini tinggal sedikit
saja orang yang tinggal di Bumi, karena sebagian besar telah
menjelajah dan mengkoloni di planet lain dan beranak-pinak di sana.
Kalau sekarang kita baru memasuki era globalisasi mungkin bila
kontinuitas pengembangan ilmu tidak terputus kita telah memasuki
era antar bintang (interstellar era) dengan kapal2 ruang angkasa
yang berseliweran di atas orbit Bumi".

Tetapi itu hanya perkiraan yang hipotetis. Kemungkinan lain
Ilmu Pengetahuan Yunani justru akan diterjang oleh sistem
sosialnya sendiri yang tidak benar. Lihat saja Plato dan Pytagoras
yang beranggapan bahwa Ilmu harus dibatasi hanya untuk kelompok
elite, sangat tidak menyukai eksperimen, menganut paham mistik
yang tidak masuk akal, dan menerima serta membenarkan sistem
perbudakan dan ini tentu akan menghalangi perkembangan
umat manusia.

Salam,
M Yusron/TI82

Read more...

Dam Situ Gintung Jebol - Kesalahan Profesional?

>> Friday, March 27, 2009





From: iwg459@yahoo.com
To: IA-ITB@yahoogroups.com
Sent: Friday, March 27, 2009 4:25 PM
Subject: [IA-ITB] Dam Situ Gintung Jebol - Kesalahan Profesional?



Masa kecil dulu, (SD~SMP) saya sering bermain ke Situ ini (masuk SD th '66). Jarak dari rumah saya ke Situ Gintung kurang dari satu jam naik sepeda. Setelah SMA sampai hari ini saya ga pernah lagi ke sana.

Bendung ini cukup lebar, kalau lihat di peta panjangnya lebih dari dua ratus meter. Menggali kembali ingatan lama, lebar puncak bendung bisa dilewati dua sepeda motor berpapasan, ga perlu ada yang berhenti menunggu yang lain lewat dulu. Bendung ini punya spillway. Jumlahnya saya lupa, yang pasti satu di tengah spillwaynya cukup lebar. Lebih dari dua kali panjang sepeda roda 26".

Material struktur bendungan saya tidak ingat, maklum belum belajar di Sipil ITB waktu itu.

Dengan adanya spillway, saya perkirakan bendung ini tidak overspill. Apalagi mengingat saat banjir besar tahun 2002 lalu, baik di hilir maupun di hulu Situ Gintung tidak ada masalah banjir sama sekali. Artinya, disain bendung ini masih mampu menampung curah hujan, dan mampu berfungsi mengendalikan banjir, sebesar curah hujan 2002.

Hal yang mungkin menjadi penyebab keruntuhan bendung Situ Gintung adalah ada kerusakan kecil terjadi tapi tidak pernah diperbaiki. Jadi akar masalahnya adalah maintenance. Tidak ada, atau kurang, awareness terhadap kondisi bendung ini. Padahal setiap benda bikinan manusia pasti membutuhkan perawatan.

Siapa yang salah ? Kita semua sebagai satu komunitas. Komunitas yang sepakat untuk hidup bersama berdampingan ! Tapiiii, sebenarnya kan kita juga sudah sepakat untuk menunjuk beberapa orang menjadi "pengurus". Yang memastikan bahwa kebutuhan dan permasalahan bersama ada yang menangani. Untuk itu, mereka "kita gaji", dengan cara urunan yang uangnya kita kumpulkan setiap tanggal 31 Maret.....

Di salah satu sudut hati ini, ada terbersit rasa bersalah. Kenapa saya tidak aware dan memberi warning, padahal sebagai tukang insinyur sipil, saya punya pengetahuan yang lebih dibanding yang bukan.
Dari sisi ilmu resiko, saya tau bahwa kalau bendung ini sampai jebol, consequence-nya akan sangat besar sekali.
Risk = probability x consequence.
Karena consequence-nya besar, maka probability harusnya diminimumkan.


Sebagai lesson learnt dari jebolnya bendung Situ Gintung, saya pikir kita harus menata ulang sistem management bermasyarakat kita. Sudah terlalu banyak contoh miss-management........

Salam,
iwan gunawan / si-78


iwg si-78

Read more...

Emosi menular seperti Deret Ukur

>> Sunday, March 22, 2009

From: Rama Royani
To: alumnitfitb@yahoogroups.com ; IA-ITB@yahoogroups.com
Sent: Sunday, March 22, 2009 8:32 PM
Subject: [IA-ITB] Emosi menular seperti deret ukur



Rekan milis ysh,

Quiz berjudul “siapa berani “ yang Abah lontarkan beberapa waktu yang lalu adalah suatu ilustrasi bagaimana hebat / cepat nya distribusi angka hasil dari deret ukur sehingga seringkali membuat kita tidak menyadari dan ini terbukti dari ada yang berani ikutan dan ada juga yang bilang bandar [dalam hal ini, Abah] bisa rugi, kecuali mereka yang menyempatkan diri menghitung atau mereka yang sudah terbiasa berada dalam lingkungan hitung menghitung.

Beberapa macam bisnis MLM, seringkali menggunakan cara cara ini untuk mengecoh anggauta nya, karena dalam waktu singkat pasarnya penuh, sehingga mereka yang berada diatas saja yang kebagian rejeki sedangkan mereka yang berada dibawah [ yang jumlahnya banyak] kebagian nyumbang saja



Makna sebenarnya adalah bukan sekedar hitung menghitung melainkan juga kecepatan penyebarannya. Saya seringkali menggunakan model ini dalam pelatihan tentang paradigma, akan tetapi belakangan ini juga digunakan untuk kuliah “Positive Psychology” untuk mengilustrasikan bahwa penyebaran emosi juga mengikuti deret ukur sehingga tidak heran kalau ada informasi negatif menyebar keseluruh negeri dengan sangat cepat.



Apa yang terjadi apabila segala sesuatunya diawali dengan emosi negatif? Tentu saja dalam waktu singkat semua orang dinegeri ini akan tertulari emosi negative [kalau satu orang menyebarkan emosi ke dua orang dst, maka dalam waktu 28 hari seluruh Indonesia akan menerima emosi tersebut], bagaimana kalau penyebarannya melalui media??.



Studi membuktikan bahwa emosi positif dapat meningkatkan produktivitas, memperpanjang umur dan membuat lebih sehat, kalau benar demikian mengapa kita tidak mulai menyebarkan emosi postif dalam setiap kesempatan menyampaikan materi ?



Jadi, yuuuuk kita tularkan emosi positif, sampaikan berita / artikel tentang kekuatan / kemampuan , keberhasilan dlsb, buang berita tentang kekerasan, peperangan, kesusahan dlsb karena porsi ini sudah diambil oleh hampir semua media yang lebih banyak menularkan emosi negatif .





Salam Sukses

Abah Rama

Guiding Individuals for Better Career & Organizations for Higher Productivity

www.abahrama.com www.talentsmapping.wordpress.com

Read more...

Siapa ikut ke Perkebunan Strawberry?

>> Thursday, March 19, 2009

Siapa ikut ke Perkebunan Strawberry?



Kalau mau ikut jalan-jalan ke perkebunan strawberry, segera siap-siap atuh.
Petik strawberry yang banyak untuk dibuat selai, juice, dan lalap ;-)


Let me take you down, 'cause I'm going to
Strawberry fields
Nothing is real
And nothing to get hung about
Strawberry fields forever

Living is easy with eyes closed
Misunderstanding all you see
It's getting hard to be someone, but it all works out
It doesn't matter much to me



Kalau sudah siap mau ikut ke perkebunan strawbeery,
putar video di bawah ini.







Selamat membuat selai strawberry,

:-)
John Lennon, George Harrison, & 99Venus Team

-----------------------------------

Read more...

Open Source Can Fulfill Indonesian Business Needs

>> Wednesday, March 18, 2009

From: Betti Alisjahbana
To: ia-itb ; iaitbjakarta@yahoogroups.com ; ITB79@yahoogroups.com ; aosi@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, March 18, 2009 1:36 PM
Subject: [IA-ITB] Open Source Can Fulfill Indonesian Business Needs

Rekan-rekan,
Artikel di bawah ini dimuat di Majalah Frontier ( Majalahnya USAID).
Sementara para caleg ber kampanye politik saya kampanye open source saja he..he..he.


Open Source Can Fulfill Indonesian Business Needs


For some companies, the availability of Open Source can mean the difference between gaining or losing a competitive edge.


Writer Betti Alisjahbana


Information systems are fundamental to running a business in these times. Industries such as banking, telecommunications, and insurance, information systems cannot be operated without them. While information systems have become a commodity, in combination with the right organizational changes and management systems they allow companies to create products, services and business models in a competitive manner.


The challenge lies in making a wise choice when selecting information system solution, to obtain a reliable system at a good price. Especially with the current difficult economic conditions, cost saving is important. It is thus not surprising that Open Source software is becoming increasingly popular.


Collaborative development


Open Source is a method for developing software collaboratively and openly. Any person can use, develop and share software that is available as Open Source.


Developing software in a collaborative and open environment offers benefits for the business sector that cannot be obtained if firms work independently. Bugs that are found can be more quickly fixed. The level of security is also higher, because the programming codes can be seen and analyzed by many people. This means that weaknesses can be immediately found and overcome, rather than going unnoticed until they are taken advantage of by unauthorized parties.


Open source software also allows small players to compete more successfully against market dominators. The collaborative approach gives them access to good software of reliable quality and flexibility, and minimizes dependency on particular vendors.


Reduced licensing costs


An immediate benefit that companies can obtain by using Open Source software is a reduction in costs due to software licensing. For many companies, this lower cost is necessary so they can afford information technology and gain the resulting benefits in competitiveness.


For example, SMEs no longer need to spend vast sums on obtaining licenses to use proprietary software. They can choose Linux as the operating system for their desktops and file/ print servers; Open Office for office applications; and Firefox as a web browser. Applications for e-mail and messaging systems, financial management, and web content management are available in various Open Source versions. Several SMEs have even used Open Source software for ERP (Enterprise Resource Planning) and CRM (Customer Relationship Management).


Open source software is not only for small and medium-scale companies. Large companies, such as Samudra Group and Telkom, have taken advantage of Open Source software. There are at least 18,000 PCs at PT Telkom which have been shifted to open office software. Among the reasons for this shift are the flexibility for making changes and adjustments to the software, the ability to use legal software without high costs, independence from vendors of proprietary software, and better security.


Many Open Source applications have been widely used over time, and for that reason they have been categorized as “mature.” This category includes development tools; systems for security, server operation, collaboration, and web content management; and server applications. Generally, companies using Open Source software begin with such applications. The amount saved in licensing fees is very significant, and can be used for more strategic purposes, such as developing innovations that can lead business and industry to economic success and progress.


A way to catch up


A basic principle of Open Source is that all software and courseware may be copied, used and improved by any party for a good purpose and acceleration of development. For developing countries such as Indonesia, this offers a way to catch up with developed countries without running afoul of intellectual property rights restrictions that have hampered development.


Open source allows users to be more than just passive customers. With Open Source, users also obtain the source code so that they can take an active role in software design, allowing greater independence and enhancing the ability to produce.


Some Constraints


The adoption of Open Source has been increasing worldwide, including in Indonesia. However, we have not fully exploited the potential of Open Source. Barriers to this include:


 Not all peripherals such as printers and scanners provide drivers for Open Source software.
 Support from developers and providers of Open Source is still limited.
 Education at schools is still oriented toward proprietary software, in terms of both materials and supporting media (the books and software used).


Indonesian Open Source Association


On 30 June 2008, the Indonesian Open Source Association (AOSI) was officially established. AOSI is an association of organizations of supporters, developers, users, trainers, business actors, and all advocates of Open Source at the national scale. These organizations work together synergistically to promote Open Source.


AOSI has a number of planned programs to encourage the technical and business development of Open Source in Indonesia. AOSI involves the government in discussing programs and regulations for accelerating the increased use of Open Source at all levels in Indonesia.


The establishment of AOSI is expected to create stronger links among Open Source communities so they can work together to address obstacles, encourage the adoption and application of Open Source, and further the development of Open Source support services. We hope that Indonesia will derive the maximum benefits possible from Open Source for the advancement of information technology and economic growth in Indonesia.

Read more...

Enakan Jaman Suharto

>> Sunday, March 15, 2009

From: mangjamal
To: IA-ITB@yahoogroups.com
Sent: Monday, March 16, 2009 12:22 PM
Subject: [IA-ITB] (humor) enakan jaman suharto


"setelah dipikir-pikir dan dirasa-rasa, dibanding sekarang, enakan jaman suharto."
"wah..kamu ini bagaimana? maksudmu, kamu mendukung sistem diktator dan otoriter suharto?"
"bukan, jaman suharto itu aku masih kuliah di itb, pacarku banyak, anak unpad, anak unpar, unisba, ikip..."
"haha..dasar veteran playboy!"

Read more...

Teknologi Tepat Guna dari Pasir Muncang : Crest Damper

>> Wednesday, March 11, 2009

Josef B. Dwiyono / EL74

// Telah dimuat di milis IA-ITB dengan message no. 44154
// Dikirim : March 10, 2009 01:36 AM
// Telah diedit seperlunya.
// Maaf apabila salah menyebut nama para pelaku, mohon dikoreksi.


---

Minggu sore lalu (8/03/2009) saya nonton reality show di TransTV judulnya Bila Aku Menjadi, sebuah acara yang bagus yang memberi kesempatan bagi pemuda-pemudi ekonomi kelas atas untuk mengenal sulitnya kehidupan orang-orang ekonomi-susah. Kisahnya tentang mahasiswi bernama Tiara yang ngenger beberapa hari di rumah Mang Aput ( atau mang Adul saya lupa persisnya, maaf kalau salah, tolong dikoreksi ) si penjual kacang. Lokasi kisahnya di desa Pasir Muncang di sekitar Purwakarta atau Plered. Entah lokasi persisnya, tapi terekam di tayangan tersebut ada kereta api yang melintas di jembatan kremona di sekitar daerah tersebut. Ok bukan soal si mahasiswi dan kacangnya ( jangan berpikiran jorok, yang saya maksud kacang-rebusnya Mang Aput tentunya) yang akan saya bicarakan disini, tapi ada hal menarik yang diragakan oleh si mamang saat mikul tong air dari sumbernya ke rumahnya yang agak jauh dan menanjak. Bisa diperkirakan saat dipikul air dalam tong plastik yang terbuka ( -/+ 35 literan ) akan terguncang-guncang dan tumpah. Semakin cepat jalan si pemikul bisa dipastikan makin banyak air yang tumpah.

Tapi nanti dulu, suatu pengatasan-masalah yang amat cerdik ditunjukkan oleh si mamang. Dia sobek selembar daun pisang lalu ditaruh di air di tong yang dipikul. Tentu si daun mengapung. Daun pisang menutup sebagian ( sekitar 60 ~70%) permukaan air di setiap tong. Dan lhadalah saking kersaning Allah, .... ada sesuatu yang amazing di mata saya. Air yang dipikul tersebut tidak tumpah, atau paling tidak hanya sedikit sekali yang tumpah.

Ini bener-bener teknologi tepat guna yang bener-bener berguna secara tepat pada situasi semacam itu. Sungguh tidak selintaspun saya pernah memikirkan problem solving semacam itu meski dulu sering melihat orang mikul air dan tumpah ruah (lihat sketsa gambar 1.A dan 1.B ).



Sambil nonton sisa ceritanya saya merenung-renung dan mencari-cari alasan-sains di balik peristiwa yang saya anggap mengagumkan tersebut. Akhirnya dapatlah jawaban versi saya. Maaf, mungkin saja analisa saya tidak benar mengingat saya tidak cukup menguasai ilmu mekanika fluida secara jauh dan utuh.

  • Daun yang mengapung di tong air akan mengurangi luas permukaan air yang terbuka.
  • Pada saat dipikul goyangan air hanya terjadi di permukaan air yang sempit dibanding bila tanpa diberi daun pisang.
  • Hal ini lebih lanjut akan memperkecil atau meredam osilasi gelombang air yang terjadi saat dipikul.
  • Daun pisang memberikan damping pada osilasi permukaan air yang terjadi. Bahkan mungkin over-damped, jadi tidak akan terjadi peaking.
  • Seperti seharusnyalah, damping akan menyebabkan crest-factor (= peak / rms ) yang kecil dibanding tanpa damping.
  • Juga, tergantung dari versi mana membacanya (misal versi tukang elektro dan tukang akustik) - daun-pisang tersebut dapat dipandang sebagai low-pass filter pada spektra frekuensi yang muncul pada permukaan air di tong tersebut. Jadi osilasi tidak berlanjut

Okelah saya nggak mau berteori ataupun ber-sastra-teknik pada bidang yang tidak saya kuasai. Namun kemudian terpikir mustinya crest-damper dari Pasir Muncang tersebut dapat dimanfaatkan pada aplikasi teknologi yang lebih serius. Salah satu yang segera melintas di kepala saya adalah tanki BBM atau tanki cairan lainnya. Untuk tanki yang panjang terdapat masalah adanya goncangan atau pontang-pantingnya cairan di dalam tanki saat kendaraan berjalan, terutama saat berkelok-kelok, mengerem atau akselerasi. Hal ini akan menyebabkan kumulasi goncangan yang dapat menyebabkan ketidak-setabilan yang serius (bergeser-gesernya titik-berat), yang memungkinkan tergulingnya kendaraan.

Secara tradisi solusinya adalah membuat cekungan di bagian tengah dari tanki (lihat gambar 2.B). Cara ini akan mengurangi luas permukaan cairan di dalam tanki, yang lebih lanjut akan memperkecil peak gelombang yang timbul. Cara ini berhasil baik karena terbukti banyak diwujudkan pada tanki yang ekstra panjang. Cara lain yang mungkin dilakukan adalah memasang sejumlah horizontal-bar di dalam tanki untuk meredam atau sebagai deflektor goyangan cairan ( saya belum pernah melihat dalamnya tanki yang ekstra panjang ). Akan tetapi hal yang pasti dan nyata terlihat adalah, kontruksi-kontruksi semacam itu pasti total cost-nya lebih besar dan volumenya lebih kecil dibanding tanki tanpa cekungan pada panjang tanki yang sama ( gambar 2.A).


Kembali ke desa Pasir Muncang, mustinya teknologinya Mang Aput bisa dimanfaatkan untuk mobil tanki fluida. Dengan mekanisme floating-carpet barangkali ( sekali lagi harus saya sebutkan barangkali ) kita bisa membuat tanki fluida panjang tanpa cekungan, tapi ditambah karpet-apung yang digunakan untuk meredam osilasi yang akan muncul seperti sketsa yang saya buat di gambar 2.C. Entah bahan apa yang tepat untuk itu asalkan tentunya jangan daun pisang. Dan bagaimana realisasinya silahkan untuk meng-elaborate-nya lebih lanjut.

Atau bisa jadi metoda ini bisa dimanfaatkan dalam penyelamatan kecelakaan di perairan terbuka seperti misalnya kecelakaan di laut. Pasukan penolong di samaritan-boat atau rescue-boat akan lebih mudah menolong korban apabila ombak di area kecelakaan laut tidak tinggi. Mungkin saja dengan sejumlah inflatable-carpet yang ditebar dan di-integrasi secara sistematis akan mampu mengurangi atau menekan peak gelombang di area bencana dan rescue area.

Saya tidak cukup modal pengetahuan dan kebisaan untuk membuat model matematis tanki fluida dengan damper semacam itu untuk lebih lanjut bisa dianalisa secara kuantitatip. Silahkan para rekan yang ahli, pakar dan jamhur di bidang mekanika-fluida, ilmu bahan dan kontruksi automotif untuk mengolah lebih jauh dan memanfaatkannya. Saya cuman bisa berharap khayalan saya tersebut suatu saat bisa benar-benar terwujud, dapat digunakan dan bermanfaat bagi banyak orang.

Namun, apapun, saya sangat terkesima dengan teknologi tepat guna dari desa Pasir Muncang yang saya anggap jenial. Yang pasti si mamang tidak pernah menyadari bahwa teknologinya dapat bermanfaat untuk hal-hal yang lebih besar. Demikian pula dengan Tiara si mahasiswi, dia mungkin tidak menyadari bahwa pertanyaannya ke si mamang tentang daun pisang di tong air akan memberikan kekaguman pada para penontonnya. Bener kata-bijak yang mengatakan bahwa ingenuity is unlimited. Terbayang di lamunan saya Mang Aput yang sederhana itu menjelajah lorong-lorong desanya sambil menjajakan kacang-rebusnya, "Cang kacang ... kacang-rebus, kacang-panas, kacang-anget, kacang-malam .... sacontong sarebu. Caaang kacaaang ..... kacang rebuuus !".

salam,
jbd /EL74

---------------------------
every day is a good day
---------------------------


Read more...

Yogyakarta - KLA Project

Nikmatilah lagu dari KLA project berikut:

Read more...

Intermezzo alias heureuy Sunda

From: Kusmayanto Kadiman
To: IA-ITB@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, March 11, 2009 12:26 PM
Subject: Re: [IA-ITB] Kecerdasan Sosial Alumni ITB: Catatan kepemimpinanBang Hatta pada sidang KLB 6 Maret 2009


Intermezzo alias heureuy Sunda:

1. My fundamental problem with my brain is that the left-part of the
brain has nothing right, and furthermore the right brain has nothing
left. I can no longer differentiate honoris and humoris as depicted by
Kartono Mohamad recently in Kompas, page-6. Neither, in understanding
the distinct difference between politicians and comedians. The only
thing I can see is that politicians are often funny while comedians are
mostly not.
2. Our biggest confusion in facing the global crisis is due to the fact
that the left part of any financial report is now nothing left, and the
right part is nothing right.

Have a nice day,
KK

Read more...

Kecerdasan Sosial Alumni ITB: Catatan kepemimpinan Bang Hatta pada sidang KLB 6 Maret 2009

From: ibnu utama
To: IA-ITB@yahoogroups.com
Cc: ibnu.utama@rpe-engineering.com
Sent: Wednesday, March 11, 2009 12:07 PM
Subject: [IA-ITB] Kecerdasan Sosial Alumni ITB: Catatan kepemimpinan Bang Hatta pada sidang KLB 6 Maret 2009


Kecerdasan Sosial Alumni ITB: Catatan kepemimpinan Bang Hatta pada sidang KLB 6 Maret 2009
Oleh : Ibnu Utama

Bukanlah suatu perdebatan bahwa alumni-alumni ITB adalah putra-putri terbaik bangsa. Namun pernyataan ini perlu dikritisi ulang: terbaik dari sisi apa? Kenyataannya, sekitar 90% kurikulum di ITB adalah suatu bentuk pelatihan yang hanya mengasah kecerdasan otak kiri. Di kampus ini kita diajarkan untuk melakukan identifikasi (membedakan dan mengelompokkan suatu obyek dengan obyek lainnya), memahami pola, menganalisa, memodelkan hampir semua masalah ke dalam model matematika, melatih berhitung, dan menarik kesimpulan.

Semua adalah kerja otak kiri. Ada beberapa aktivitas yang juga menggunakan otak kanan seperti mendisain. Tapi disain pada ranah teknik tetap banyak menggunakan otak kiri karena terkait dengan perhitungan-perhitungan matematis.

Masalah yang paling pelik adalah ketika seorang alumni keluar dari kampus ITB, baik keluar melalui GSG/Sabuga (lulus) ataupun keluar melalui BAAK Taman Sari (DO atau bermasalah), maka dia otomatis alumni tersebut masuk ke dalam perguruan tinggi tertua dan terhebat sepanjang sejarah, izinkan saya menyebutnya sebagai "perguruan tinggi" MASYARAKAT.

Di perguruan tinggi ini, kecerdasan sangat diperlukan, tapi kecerdasan yang diperlukan disini adalah kecerdasan yang bersifat abstrak, karena hampir semua masalah bersifat kompleks dan terlalu banyak asumsi-asumsi yang harus dinyatakan. Sedikit sekali masalah di sekolah ini yang dapat dimodelkan dalam bentuk matematis.

Mengenal karakter orang/kelompok, memahami mereka, mengajak mereka, mengukur dan memposisikan diri sendiri, membuat team yang efektif, membuat isu dan menanggapi gosip, mendamaikan kelompok-kelompok bertikai, mencari celah solusi dari suatu masalah yang pelik, dan seterusnya. Semua ini adalah kerja otak kanan. Izinkan saya sekali lagi untuk mengistilahkan hal-hal ini dengan sebutan KECERDASAN SOSIAL.

Kecerdasan jenis inilah yang justru kerap diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Dan celakanya, latihan kecerdasan jenis ini tidak masuk dalam kurikulum formal kelulusan dari ITB.

Fenomena kepemimpinan Bang Hatta pada sidang KLB 6 Maret 2009 dalam konteks masalah ini sungguh menarik, khususnya ketika membahas masalah keanggotaan alumni ITB. Terus terang saya termasuk yang berfikir ekstrim dalam hal ini: "Kalau perlu tukang bakso yang jualan di belakang sekretariat MTI pun kita ajak sebagai alumni ITB, atau bapak pengatur sepatu di masjid Salman kita ajak juga sebagai alumni ITB. Kenapa tidak? karena toh secara tidak langsung mereka sudah berjasa kepada kita.

Kenyataannya Bang Hatta sangat fleksibel dan arif dalam masalah ini. Hal ini terlihat dari gaya "mengayun" beliau dalam memimpin sidang. Dengan penuh ke-arifan beliau membuka masalah ini ke dalam forum yang cukup besar tersebut. Dengan tenang, santun, berhumor, beliau memimpin menyelesaikan masalah ini. Hampir semua pihak diberi kesempatan untuk dapat berbicara secara lugas dan terbuka. Dan yang tidak disangka, Pak Rektor pun kemudian menjadi arif dan bijaksana, jauh dari tipe-tipe beliau yang saya dengar langsung sebelumnya dari beliau.

Kenyataan hari ini, kita telah memiliki wadah yang cukup canggih, karena wadah kita dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan sosial yang teruji. Dan semua ini mutlak harus kita pelajari sebagai kader bangsa di sekolah kita saat ini, perguruan tinggi MASYARAKAT.

VIVAT ITB,

Ibnu Utama
TI 91

Read more...

ITB Berjaya, ITB Prihatin

>> Tuesday, March 3, 2009

From: Cardiyan HIS
To: IA-ITB@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, March 03, 2009 12:20 AM
Subject: [IA-ITB] ITB Berjaya, ITB Prihatin


ITB Berjaya, ITB Prihatin
Oleh Cardiyan HIS


ITB berusia tepat 50 tahun pada 2 Maret 2009. Maka peringatan kali ini bertajuk “Dies Emas ITB”. Pada saat meresmikan nama Institut Teknologi Bandung pada 2 Maret 1959, Presiden RI Ir. Soekarno, menegaskan bahwa kita tidak perlu mendirikan institut ini kecuali untuk membangun Bangsa yang Bermartabat dan Berdaulat.

“ITB” yang secara fisik sebenarnya berdiri sejak tahun 1920 dengan nama Technische Hoogeschool Bandung dan mengkhususkan diri di bidang sains, teknologi dan seni, sudah dengan sendirinya kontras di antara ratusan perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Usia ITB yang demikian panjang sudah lebih dari cukup memberinya pengalaman dan harga diri yang tinggi bagi alumni dan civitas academica yang telah mencapai lebih dari 70.000 orang. Dua orang alumninya bahkan telah menjadi Presiden Republik Indonesia Pertama yakni Ir. Soekarno dan Presiden Republik Indonesia Ketiga yakni Prof.DR (Ing)., BJ Habibie. Dan Ir. Djuanda telah menjadi Perdana Menteri pula. Bahkan dari “sisi jelek” sejarah kenegaraan RI, dua presiden separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Negara Pasundan juga adalah alumni ITB!

Tak terhitung sudah berapa alumni ITB yang menduduki jabatan Menteri atau setingkat Menteri dalam sejarah Kabinet Republik Indonesia. “Kalau dari universitas lain itu dosennya jadi Menteri, kalau dari ITB cukup diwakili oleh ‘mahasiswanya’ saja! Sayang kalau dosennya harus meninggalkan kampus tercinta”, canda Prof.Ir. Saswinadi Sasmojo, PhD. Dalam lembaga legislatif ternyata banyak juga politikus alumni ITB yang cukup menonjol dalam membawakan aspirasi rakyat pemilihnya. Sementara di kalangan dunia usaha, para alumni ITB begitu impresif mendominasi pimpinan puncak perusahaan raksasa nasional maupun internasional, baik sebagai entrepreneur (pemilik), profesional mandiri maupun sebagai manajer profesional.

ITB sebagai PT sangat diakui di dunia internasional pada berbagai fora pemeringkatan PT dunia. Ini karena ITB memiliki tradisi akademik tinggi, yang relatif terukur baik, secara terus menerus dari tahun ke tahun. Dimulai sejak sangat kompetitifnya Selektivitas Mahasiswa ITB, yang dalam sejarah seleksi nasional Ujian Masuk PerguruanTinggi Negeri/Ujian Saringan Masuk PTN dari tahun ke tahun, para calon mahasiswa yang memilih ITB adalah 80% berada pada peringkat 1-2.500 dan 20% berada pada peringkat 2.501-12.500 dari rata-rata 450.000 peserta seleksi masuk mahasiswa. Tak mengherankan bila majalah ”AsiaWeek”, Hong Kong, pada edisi 30 Juni 2000 menempatkan ITB pada posisi nomor 1 (satu) di Asia Pasifik untuk kriteria Selektivitas Mahasiswa. Dan buahnya memang sudah mulai terpetik dengan berhasilnya para mahasiswa ITB memenangkan berbagai lomba karya ilmiah pada kejuaraan tingkat dunia yang diselenggarakan/dibiayai oleh perusahaan kelas dunia seperti Microsoft Inc., ‘L ‘Oreal, Sony Ericksson, Fuji Xerox, Bayer, Samsung, Hitachi.

Para dosen ITB dengan segala keterbatasan gaji yang diterima dan dana riset ITB yang sangat terbatas yakni cuma Rp. 41,9 miliar (lebih besar dari US$ 4 juta) per tahun 2008, -----bandingkan dengan National University of Singapore belanja riset tahun fiskal 2007 adalah US$470,8 juta----- harus diacungi jempol pula. Karena hasil penelitian mereka berbasis paten telah mampu mencetak lebih dari 100 paten nasional dan internasional dimana 40 paten telah siap lisensi dan 15 paten telah laku dikomersialisasi. Tulisan-tulisan hasil riset para dosen ITB banyak dimuat di jurnal ilmiah bergengsi kelas dunia seperti “Nature”, “Science”, “Lancet”, “Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America”, “Physical Review”, “American Journal of Cardiology”, “British Journal of Haematology”, “Advanced Materials”, “Human Genetics”, “Molecular Biology”, “World Development”, “Habitat”, “Urban Studies”. Karena berhasil dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia, maka tulisan-tulisan dosen ITB dijadikan artikel rujukan (Cited Article) oleh para peneliti kelas dunia dengan frekwensi ribuan kali (Times Cited).

Reputasi Akademik Dosen ITB itulah yang dinilai oleh 6.354 Academic Peer Reviewer di berbagai belahan dunia, telah membawa ITB ke tangga terhormat pemeringkatan PT dunia versi “The Time Higher Education QS” (Inggris) 2008 (www.topuniversities.com). ITB satu-satunya PT dari Indonesia yang masuk ”100 Terbaik Dunia” yakni pada posisi 90 pada area Teknologi (Engineering and Information Technology). Dan peringkat 143 untuk area Natural Sciences dan 210 untuk area Life Sciences and Biomedicine. Padahal seperti kata-kata mantan Rektor Imperial College London (UK), Sir Richard Sykes: “Peer Review is an effective way to evaluate universities. It takes smart people to recognize smart people” (Ibid). Academic Peer Review memang memiliki bobot kriteria penilaian tertinggi yakni 40% dibanding kriteria Employer Review, Faculty Student Ratio, Citations per Faculty, International Faculty, International Students.


Sejauh Mata Memandang, Sedalam Batin Mengendap

Dengan reputasi ITB sedemikian gemerlap ibarat sejauh mata memandang. Ternyata peranan ITB bagi sejarah Republik Indonesia hanya “biasa-biasa saja”. Ah, ibarat sedalam batin mengendap. Bahkan diduga kuat, ITB ikut pula berperan besar dalam keterpurukan negara Indonesia tercinta ini menjadi negara penuh skandal memalukan. Sehingga Krisis Moneter yang mengawalinya telah meningkat menjadi Krisis Multi Dimensi hingga sekarang ini? (Cukuplah Kampus Mencetak Garong, HU “Pikiran Rakyat”, 5 Maret 2007).

Barangkali penilaian itu memang terlalu ekstrim. Sehingga akibat berita yang diplintir wartawan “Pikiran Rakyat” atas paper saya di acara seminar di Aula Timur ITB itu, saya sempat “dikeroyok” dosen-dosen ITB sebagai penilaian yang sangat kejam. Mungkin yang lebih “halus” atau “fair” adalah guyonan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla ketika memberikan sambutan pada Dies Emas ITB, 2 Maret 2009 ybl; “Mengapa sejarah semua menteri pertambangan dan energi selalu dipegang oleh alumni ITB tetapi produksi migas terus menurun hingga sekarang ini? Mengapa menteri-menteri perhubungan alumni ITB tak mampu mencegah kemacetan lalu-lintas luar biasa di kota-kota besar dan kecelakaan terus meningkat? Mengapa direksi PLN yang selalu didominasi alumni ITB tak berdaya mencegah pemadaman listrik?”.

Tentu, hal ini harus dijadikan bahan renungan oleh ITB dan Manusia ITB dan perlu dicarikan jalan keluarnya.. Apalagi karena sudah semakin banyak suara-suara sumbang yang bernada antipati yang ditujukan kepada ITB. Baik terhadap ITB sebagai lembaga Pendidikan Tinggi maupun Manusia ITB. Terhadap ITB sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi dikeluhkan seolah-olah di Indonesia hanya ITB-lah yang paling baik.

Dan tidak kurang pimpinan PT (lain) yang menjadi tambah sulit tugasnya dalam mengatur mahasiswa di kampusnya masing-masing karena perilaku mahasiswa ITB.. Memang, sikap para mahasiswa ITB adalah kompak dan solid sekali. Kalau dalam bahasa sosiologi istilahnya: memiliki ”ingroup feeling” kuat sekali. Kekompakan dan ”ingroup feeling” yang kuat tentu saja positip. Tetapi kalau hal itu membuat suatu kelompok terisolasi dari kelompok lain dalam masyarakat, apalagi kalau menimbulkan fanatisme dan chauvinisme sempit. Maka hal ini justru akan membahayakan kelompok itu sendiri.

Terhadap Manusia ITB (baca: alumni ITB), keluhan umum yang acap terdengar adalah sikap yang mau mendominasi orang lain. Manusia ITB memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Sehingga seringkali ”under estimate” terhadap lulusan kampus lain. Itulah “kehebatan” alumni ITB yang sungguh sangat memalukan. “Bisa merasa lebih hebat dari seorang Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, hanya karena lulus dari ITB”, tulis Irsal Imran di mailist Ikatan Alumni ITB. Sehingga orang yang sebetulnya punya kemampuan lebih banyak “tidak dibolehkan” oleh para alumni ITB menerima gelar Doktor Honoris Causa dari ITB. Padahal Senat Guru Besar ITB yang memiliki kompetensi dan wewenang untuk itu, melalui voting telah memberikan rekomendasi kepada Rektor ITB untuk menindak-lanjuti pemberian gelar DHC tersebut dengan segala risikonya.

Menurut guru besar psikologi UI, Sarlito Wirawan Sarwono (yang sering kali mewawancarai psikologi dalam rangka rekrutmen calon-calon staf perusahaan-perusahaan kliennya) bahkan dibandingkan dengan lulusan kampus luar negeri pun ----yang seperti Manusia ITB juga memiliki kepercayaan diri tinggi. Tetapi yang lulusan PT luar negeri sering masih menunjukkan sikap ragu-ragu, yang hampir-hampir tidak terdapat pada Manusia ITB (Cardiyan HIS, ITB dan Manusia ITB untuk Indonesia Inc., Penerbit PT.. Sulaksana Watinsa Indonesia, Jakarta, 1991).

Tak sedikit yang menyarankan agar ITB dan Manusia ITB dapat menjadi pendengar yang lebih baik. Apalagi ada menggejala timbulnya anakronisme pribadi mahasiswa dan atau alumni ITB yang berbau metafisika. Banyak di antara mereka yang menemukan diri terlempar ke medan kekaguman serta penghargaan masyarakat. Tetapi ternyata mereka tak mampu berbuat sesuatu sesuai dengan harapan masyarakat. Nah lho!



Mencetak Entrepreneur Berbasis Kampus

Salah satu jawaban atas pertanyaan; mengapa perkembangan PT di Singapura demikian pesat padahal pada awal tahun 1970-an NUS, Singapura dan NTU, Singapura boleh dikatakan masih sejajar dengan ITB -----karena ITB yang memiliki jumlah dosen bergelar PhD terbanyak di Asia Tenggara ketika itu juga mendidik sedikitnya 600 mahasiswa asing asal Malaysia dan puluhan asal Thailand dan Papua New Guinea? Karena pemerintah Singapura kredibel dan sangat peduli pendidikan. Mereka mampu dan berani membelanjakan biaya pendidikan dengan melimpah ketika negaranya mulai memiliki dana cukup. Dan terbukti mereka menikmati buahnya sekarang. Sementara pemerintah rezim Soeharto dan presiden-presiden berikutnya berpikir sebaliknya.

NUS misalnya, untuk pertama kalinya pada tahun fiskal 2007 memecahkan rekor belanja riset yakni sebesar US$ 470,8 juta dibanding US$ 181,0 juta pada tahun 2001. Belanja riset NUS ini menempatkan NUS pada posisi nomor 6 di dunia setelah California Institute of Technology (US$ 1.780,6 juta)), MIT (US$ 598,3 juta), Harvard University (US$ 569,9 juta), Oxford University (527,7 juta) dan Kyoto University (US$ 527,5 juta). Dengan demikian NUS mampu membayar dosen-dosen peneliti terbaik dari berbagai penjuru dunia untuk mau mengajar dan meneliti di NUS.. Secara otomatis kualitas pengajaran, kualitas riset dan Citation Index dosen-dosen NUS terangkat dengan sendirinya. Sehingga tak mengherankan berbagai mahasiswa asing mengincar Singapura sebagai salah satu tujuan pendidikan tinggi terbaik di dunia. Disinilah, Singapura memiliki kemampuan manajemen yang unggul sebagai ”Entrepreneur Pendidikan”. Sehingga mampu menjual kualitas institusi pendidikannya karena mereka didukung dosen-dosen terbaik di dunia yang direkrut Singapura dengan imbalan remunerasi yang sangat menggiurkan.

Inkubator bisnis mahasiswa yang dikembangkan NUS sebagai cikal bakal pencetakan entrepreneur berbasis kampus bahkan sudah punya ”outlet” di Silicon Valley, USA. Dana pertamanya US$ 100.000 merupakan sumbangan para alumni NUS. Mereka merancang dunia pendidikan selalu berkaitan dengan dunia industri. Singapura dengan dana yang melimpah mendidik dan memotivasi agar para mahasiswanya kelak menjadi pemimpin dunia usaha. Mereka menjadi “bos” bagi para ”tukang insinyur” atau ”kuli-kuli tingkat tinggi” -----kebanyakan berasal dari Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja dsb yang memang memiliki talenta bagus tetapi negaranya miskin----- yang berasal dari para penerima beasiswa NUS dan NTU yang terijon untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan Singapura bila lulus kelak.

Oleh karena itu, bagi ITB yang telah mendapatkan bibit-bibit unggul mahasiswa memiliki kewajiban untuk memberikan nilai tambah tinggi terhadap para mahasiswanya, baik yang sifatnya kurikuler maupun dalam hal pengembangan soft skills. Tak cukup itu, ITB hendaknya bekerja sama intensif dengan para alumni ITB untuk mengarahkan lebih banyak mahasiswanya memahami dunia industri dengan menyuntikkan virus-virus entrepreneurship sedini mungkin, sejak mereka masuk ITB. Mereka hendaknya diberikan sebanyak mungkin proses latihan, untuk berani mencoba melakukan dan merealisasikan ide menjadi sesuatu karya semasa mereka di kampus.

ITB jangan traumatis dengan kejadian “Orientasi Studi Mahasiswa” yang telah memakan dua korban dalam sejarah ITB. Ini masalah perlunya keseriusan manajemen ITB dalam menghadapi dinamika kemahasiswaan saja. Kasus ini tak adil bila dibandingkan dengan kejadian di sebuah kampus yang secara brutal telah melakukan kegiatan tidak beradab berupa penyiksaan secara fisik. Tak boleh terjadi pula “pengadilan” terhadap para aktivis kampus ITB dengan “cara pendekatan kekuasaan”. “Penegakan keadilan” atas mahasiswa di kampus hanya bisa didekati dengan pendekatan pendidikan. Biarkan proses ”trial and error” mahasiswa ITB pada berbagai unit aktivitas kampus ini berjalan sebagai tradisi menuju filosofi kerja sebuah perusahaan modern atau filosofi masyarakat modern. Bahwa ”usaha keras adalah bagian sangat penting dari proses penghargaan suatu penampilan dan kegagalan dari usaha keras yang telah dilakukan akan tetap dapat simpati dari organisasi”. Kampus dijadikan basis bagi pencetakan “Entrepreneur Baru” dan juga bagi sebagian alumni yang bercita-cita menjadi “Birokrat Entrepreneur”.

Di kemudian hari, penulis sangat yakin bahwa filosofi ini akan membawa Manusia ITB sebagai lulusan yang di samping memiliki kecerdasan di atas rata-rata juga memiliki karakter kuat, bersikap berani mengambil risiko dalam mengambil keputusan yang inovatif atau keputusan terobosan bukan keputusan yang biasa-biasa saja. Dengan demikian kita akan terdidik menjadi Bangsa Pemberani bukan Bangsa Pengecut. Semangat inilah yang sebenarnya yang diinginkan oleh Bung Karno, ketika meresmikan nama ITB, agar ITB menjadi kampus pencetak manusia berkarakter.

Sejarah membuktikan tentang kemampuan mengembangkan diri negara-negara Skandinavia (seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia) sejak tahun 1870 dan begitu pula Jepang dan Korea Selatan. Keberhasilan mereka, secara garis besar dapat dijelaskan oleh kemajuan pendidikan dan kualitas institusi-institusinya; oleh kebijakan yang berorientasi ke depan dan semangat mengangkat kompetisi.. Orientasi ke depan akan mendorong pertumbuhan dan produktivitas. Sebab perbedaan produktivitas pada suatu investasi dapat membuat perbedaan 1 sampai 2 persen terhadap tingkat pertumbuhan GNP per kapita. Hal ini dapat membantu mengubah stagnasi ekonomi ke dalam semangat untuk meningkatkan kemampuan entrepreneur domestik. Tak mengherankan mengapa Nokia yang dibuat oleh negara kecil Finlandia telah menjadi merek dengan nilai jual nomor 2 tertinggi di dunia setelah General Electric, AS. Begitu pula Volvo dan Ericksson yang buatan Swedia merupakan merek dagang yang telah sangat akrab di telinga kita karena memang telah lama mendunia. Dan tentu saja berbagai produk buatan Jepang dan Korea Selatan yang telah lama membanjiri pasar dan merasuki otak konsumen Indonesia.

Saya yakin Manusia ITB akan mampu melakukan hal serupa yang telah dilakukan manusia-manusia Jepang, Korea Selatan dan negara-negara Skandinavia, kalau melihat kepada potensi bakat unggul yang dimilikinya. Asalkan dalam proses pendidikan di ITB mereka telah diisi kompetensi keilmuannya dengan baik dari dosen-dosen yang baik pula. Kemudian diperkaya oleh proses latihan di kampus dan di berbagai industri yang peduli dalam membentuk dan memperkuat jaringan Indonesia Incorporated.

Saya berangan-angan ITB dapat menjadi lokomotif penarik di masa-masa mendatang untuk memperkuat jaringan canggih ”Kampus-Industri-Pemerintah”. Bagaimana mensinergikan segitiga emas ini secara efektif akan meningkatkan kemampuan daya saing Indonesia Incorporated di peta negara-negara di dunia. Bukan tidak mungkin ITB akan mampu menjadi kampus pencetak banyak “Entrepreneur Masa Depan” dan juga sebagian “Birokrat Entrepreneur”. Dalam perjalanan panjangnya kemudian, mereka akan semakin menyadari. Bahwa untuk membentuk Indonesia Incorporated yang tangguh ternyata harus didukung oleh 3 pilar utama; yakni Pemanfaatan Sains dan Teknologi; Penegakan Hukum yang Adil Berwibawa dan, Membangun Entrepreneur Tangguh.

Bahkan bukan tidak mungkin pula ITB bisa meniru keberhasilan MIT, yang pada tahun 1994 saja menurut penelitian Boston Bank yang bertajuk “MIT: The Impact of Innovation”, para alumni MIT telah mampu membangun 4.000 perusahaan dengan ”sales turnover” US$232 milyar. Sehingga mereka mampu membuka kesempatan kerja bagi 1.100.000 orang di berbagai dunia. Pencapaian ini telah menempatkan MIT sama dengan kekuatan ekonomi dunia pada urutan ke 24 karena sales turnover-nya setara 2 kali GDP Afrika Selatan yang besarnya US$ 116 milyar (MIT Graduates Have Started 4,000 Companies With 1,100,000 Jobs, $232 Billion in Sales in ’94, http://web.mit.edu/newsoffice/1997/jobs.html).

Kalau MIT yang sudah demikian hebat performanya saja masih dikucuri dana investasi Pemerintah AS yakni 70% perolehan dana risetnya berasal dari Pemerintah Federal yang memberikan proyek-proyek riset dasar skala besar, sedangkan proyek riset lainnya berasal dari perusahaan-perusahaan industri multinasional dan organisasi nirlaba milik para filantropis kaya raya. Begitu pula Seoul National University (SNU), Korea Selatan, kendatipun telah menghasilkan riset-riset kelas dunia dan berhasil dikomersialisasi, ternyata secara reguler masih tetap menerima kucuran dana US$ 50 juta per tahun untuk keperluan risetnya dari Pemerintah Korea Selatan.

Maka sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia juga harus memberikan perhatian yang lebih besar tentang masalah dana riset ini kepada ITB dan PT lainnya agar kita mampu berkiprah lebih jauh bagi kemajuan Bangsa Indonesia. Jangan dengan diberlakukannya Badan Hukum Pendidikan (BHP) bagi PT-PT di Indonesia sebagai cara pemerintah cuci tangan dari kewajiban mencerdaskan bangsa dan mengalihkan bebannya kepada masyarakat! Sebab, ujung-ujungnya yang jadi korban adalah anak-anak berbakat tetapi orang-tuanya miskin. Jangankan bisa diterima di PTN sedangkan untuk mencoba ikut seleksinya pun mereka sudah ketakutan lebih dulu karena berat di ongkos!

Read more...

Penggemar Blog IA-ITB :

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP