Monumen Flamboyan Bung Karno di Palangkaraya pun Masih Hutan Produksi

>> Sunday, January 31, 2010

Monumen Flamboyan Bung Karno di Palangkaraya pun Masih Hutan Produksi


Oleh Cardiyan HIS


Ada saja “ole-ole” lucu kalau berkunjung ke Kalimantan Tengah. Kalau bulan Puasa Ramadhan lalu saya dapat ole-ole “Menghindari Neraka Orang Hutan pun Ikut Puasa” dan “Kelelawar Menjerit-jerit Kesakitan karena Dipukulin oleh sang Penjual hanya agar Memperoleh Rp. 13 Ribu”. Maka ole-ole kali ini adalah tak kurang lucunya bahkan sekaligus ironis. Inilah ceriteranya.

Monumen Flamboyan diresmikan dan prasastinya ditandatangani oleh Bung Karno tahun 1957. Peresmian ini menandai awal Bung Karno mendeklarasi terbentuknya provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangkaraya sekaligus mengangkat Gubernur pertama; Tjilik Riwut. Alumnus ITB pertama ini juga memberi sinyal betapa Palangkaraya dari berbagai aspek sangat-sangat pantas menjadi ibukota Republik Indonesia menggantikan Jakarta. Melihat kota Palangkaraya sekarang adalah mirip Kebayoran Baru, Jakarta akhir tahun 1960an. Kotanya sangat asri dan tertata baik. Jalannya lebar-lebar, trotoar bagi pejalan kali lebar-lebar pula. Drainasenya tak pernah mampat, sehingga Palangkaraya tak pernah banjir karena ulah penduduknya tak pernah buang sampah sembarangan.

Nah yang lucu di balik kehebatan Palangkaraya sebagai kota sangat asri ini adalah Monumen Flamboyan ternyata masih masuk HUTAN PRODUKSI !!! Padahal monumen yang terletak di jalan Ahmad Yani, di dekat jembatan sungai Kahayan ini persis di depan kantor DPRD Kalimantan Tengah.

Mengapa hal itu bisa terjadi di kota Palangkaraya yang sangat asri dan menurut penilaian banyak orang Indonesia dan asing adalah salah satu ibukota provinsi terasri dan “bebas gempa bumi” di Indonesia? Ternyata dari hasil “investigasi” kunjungan kerja saya ke Kalimantan Tengah kemarin ditemukan fakta betapa Pemda Kalimantan Tengah tak mampu juga mewujudkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)! Ini satu-satunya provinsi di Indonesia yang belum memiliki RTRWP! Gorontalo sebagai kelompok provinsi termuda saja telah memiliki RTRWP yang telah disahkan oleh DPR beberapa bulan lalu.

Konsekuensi inilah yang menjadi kendala utama akselerasi pembangunan provinsi Kalimantan Tengah terhambat. Yang sederhana semua permohonan legalitas kepemilikan tanah masyarakat agar mendapatkan sertifikat tanah tak berani dilakukan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat karena takut masuk penjara. Untuk skala ekonomi lebih luas dan lebih besar, investor tambang batubara terhenti pada satu tahap proses saja soal “Pinjam Pakai Hutan” padahal kegiatan eksplorasi lengkap telah dilakukan sehingga tahap produksi tertunda terus. Begitu pula sektor agro industri khususnya sawit, semua bibit sawit telah tumbuh di kamp pembibitan tanpa pernah ditanam di areal yang telah mendapat ijin lokasinya! Dan investor pun puyeng tujuh keliling.

Tak aneh bila dalam pembacaan laporan pertanggungjawaban pendapatan daerah sektor pertambangan di kabupaten Katingan misalnya, Kadistamben sempat stress karena “diolok-olok” anggota DPRD Katingan: “Yang benar saja, apakah pantas sektor pertambangan yang keren cuma mampu setor Rp 5 juta setahun ke kas Pemda?”. Kadistamben Katingan hanya berkilah kalau hanya galian C saja yang diijinkan nambang ya itu saja yang halal yang bisa disetorkan.

Read more...

ITB Berubah: Menghargai Entrepreneur Arifin Panigoro dengan Doktor HC

>> Thursday, January 21, 2010

ITB Berubah: Menghargai Entrepreneur Arifin Panigoro dengan Doktor HC

Oleh Cardiyan HIS


ITB berubah. ITB yang sangat pelit dalam memberikan gelar doktor kehormatan (DR. HC) karena kriterianya sangat ketat dan baru memberikan DR. (HC) kepada 6 (enam) orang saja. Salah satu yang mendapat penghargaan pelit ITB ini adalah Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI sekaligus alumnus ITB angkatan pertama (1920). ITB akan mengubah sejarahnya dengan memberikan DR.(HC) kepada seorang entrepreneur papan atas Indonesia; Ir. Arifin Panigoro. Rencananya Arifin Panigoro, pendiri dan pemilik utama Medco Group akan diganjar DR.(HC) bidang Technopreneur pada Sidang Terbuka ITB, di Aula Barat ITB, Sabtu, 23 Januari 2010.

Penghargaan ITB untuk Arifin Panigoro, seorang Entrepreneur atau lebih spesifik lagi Technopreneur papan atas Indonesia patut disambut baik. Terlebih sebelumnya ITB telah mengundang kontroversi atas rencana pemberian DR. (HC) kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI sekarang, yang berujung dengan “pembatalan” karena SBY sendiri meminta untuk “menunda”-nya karena alasan politis yang bakal merugikan citranya dan citra ITB pula.

Keputusan ITB kali ini sangat tepat karena Arifin Panigoro adalah salah satu alumnus ITB (Teknik Elektro) yang sangat menonjol dalam proses pencapaian kewirausahaannya, sehingga meraih derajat “world class genuine entrepreneur especially in energy industry”. Kakang Pipin (begitu nama akrab dan egaliter yang dipanggil teman-temannya) memulai kewirausahaannya dari perusahaan kecil yang didirikannya sejak lulus dari ITB awal tahun 1970an. Kecerdasannya dalam mengendus peluang dan (terutama) keberaniannya dalam mengambil risiko telah membawanya meniti tangga demi tangga menjadi seorang Wirausaha Sejati kelas dunia.

ITB sebenarnya sangat terlambat dalam memberikan apresiasi DR.(HC) bagi kalangan Wirausaha Sejati. UGM telah lebih dulu memberikan DR.(HC) kepada salah seorang alumnus terkemukanya, Jakob Oetama, Founder and Chairman Kompas Gramedia Group dan bahkan kepada Ir. Ciputra, yang nota bene adalah alumnus Departemen Arsitektur ITB!. Tetapi seperti pepatah masih lebih baik terlambat dari pada tidak berbuat sama sekali, bolehlah kita menghargai keputusan ITB ini.

Dan yang lebih penting keputusan ITB ini tidak berhenti hanya kepada memberikan DR. (HC) kepada seorang Wirausaha Sejati, Arifin Panigoro, tetapi bertindak nyata dalam mengukuhkan kerjasama yang lebih intens dengan kalangan dunia usaha. ITB harus aktif jemput bola, mendatangi industri agar mau memanfaatkan invensi dan inovasi kampus ITB dalam upaya meningkatkan skala usahanya. Banyak kolega penulis yang “curhat” kepada penulis bahwa ITB terlalu sombong untuk mau “door to door” mendatangi perusahaan-perusahaan yang sebenarnya merupakan “potential clients”.

Kita sangat berharap, pemberian DR.(HC) oleh ITB kepada yang berhak dengan latar belakang Technopreneur sekelas Arifin Panigoro akan memberikan inspirasi kepada para alumni ITB, baik yang baru memulai maupun yang tengah didera banyak masalah dalam proses kewirausahaannya untuk tetap tidak menyerah dalam mengarungi samudra ganas dunia usaha. Perjuangan Anda seperti halnya Wirausaha Sejati Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Ciputra, TP Rachmat, Beny Subianto, Iman Taufik, Achmad Kalla dan masih banyak lagi, suatu ketika akan terbukti dapat memberikan solusi terhadap permasalahan bangsa Indonesia dalam membuka kesempatan kerja yang sangat luas.

Dan last but not least, ITB harus pula mengubah mindset dalam cara pandang menangani mahasiswa ITB secara keseluruhan terlebih lagi kepada para mahasiswa yang memiliki minat tinggi kepada dunia kewirausahaan. ITB hendaknya memandang mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan untuk suatu “human investment” berjangka panjang dan bukan menganggap menangani mahasiswa adalah suatu “cost centre” yang buang uang dan buang waktu. Maka ITB hendaknya memberikan lebih banyak lagi proses latihan kepada para mahasiswanya yang merupakan bibit unggul terbaik di kawasan Asia Pasifik dalam hal Selektifitas Mahasiswa. Cetak lebih banyak lagi “Business Incubator” pada unit-unit kegiatan mahasiswa. Dari sinilah awalnya sebenarnya puluhan tahun kemudian akan dijumpai banyak alumni ITB yang berkelas Arifin Panigoro bahkan akan melampaui skala ekonominya juga proses pencapaiannya yang bermartabat.
ITB akan dicap gagal total kalau tak mampu menaikkan nilai tambah kepada para mahasiswanya yang talentanya sangat hebat (high achiever) kalau hanya berkutat pintar mengawasi bahkan memata-matai kegiatan mahasiswa ITB dan hanya pintar memberikan sanksi akademis. ITB memang harus berubah menjadi lebih sabar dan lebih kreatif menuju “ITB Technopreneur University” berkelas dunia.

Read more...

Manajemen Sepakbola Indonesia adalah Mismanajemen

>> Sunday, January 10, 2010

Oleh Cardiyan HIS


Tim nasional Indonesia babak belur. Benar-benar babak belur. Hancur-hancur! Bayangkan saja, sejak menjuarai SEA Games 1991 di Manila, Filipina; timnas Indonesia tak pernah juara lagi hanya untuk di kawasan Asean saja. Puncak kehancuran sepakbola Indonesia memang terjadi di masa dua periode kepengurusan Nurdin Halid.
Di kompetisi penyisihan U-19 Asia sebagai tuan rumah, timnas Indonesia gagal masuk dua besar grup Asia karena tersisih oleh Jepang dan Australia. Di SEA Games Laos, timnas Indonesia U-23 bahkan menjadi juru kunci babak penyisihan grup di bawah Laos, Singapura dan Myanmar! Dan paling akhir di penyisihan Piala Asia, timnas Indonesia senior jadi juru kunci setelah dipastikan nasibnya oleh Oman 1-2 di stadion Senayan, 6 Januari 2010 ybl.

Padahal hampir 60 ribu penonton ikut memberikan dukungan penuh. Bahkan seorang penonton fanatik Hendry Mulyadi sampai nekad menerobos penjagaan ketat polisi untuk kemudian merebut bola dari pemain kedua kesebelasan dan menggiringnya sampai berhadapan langsung dengan penjaga gawang Oman yang berhasil membendungnya. Hendry tentu saja gagal “membantu” timnas Indonesia menyamakan skor di menit-menit akhir pertandingan. Tetapi dia telah berhasil mempermalukan pengurus PSSI yang tetap saja tak tahu malu dengan kegagalan demi kegagalan mengelola persepakbolaan di Indonesia.

Menurut penulis, jelas ada mata rantai yang terputus untuk kebangkitan sepakbola Indonesia. Biang utama penyebabnya adalah mismanajemen. Mismanajemen di kepengurusan Nurdin Halid begitu terang benderang. Bagaimana prestasi timnas Indonesia Yunior tidak berlanjut ke prestasi timnas Indonesia Senior. Nah, kalau pun mulai tahun 2009 ini ada kompetisi Indonesia Super League (ISL) U-21. Tetapi gregetnya belum meyakinkan. Karena ternyata tidak semua dari 18 anggota klub ISL mengikuti kompetisi. Bahkan kompetisi di bawahnya U-19, U-17, PSSI gagal memutar roda kompetisinya. Maklum tidak semua klub anggota memiliki tim yuniornya. Padahal dalam aturan ISL, hal ini sudah menjadi keharusan. Hanya ada kompetisi U-15 karena kebaikan konglomerat migas Indonesia, Ir. Arifin Panigoro melalui perusahaannya Medco menjadi sponsor tunggal.

Tetapi mengapa di tahun 1972 dan tahun-tahun sebelumnya prestasi timnas Indonesia Yunior selalu bisa berlanjut ke prestasi timnas Indonesia yang hebat? Coba perhatikan data berikut ini:

Kejuaraan Piala Asia Yunior 1960: Indonesia juara 3.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1961: Indonesia juara 1.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1962: Indonesia juara 1
(Tahun 1963-1966: Indonesia tak mengikuti kejuaraan internasional karena situasi Tanah Air yakni ada perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Jaya dan Dwikora, Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia).
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1967: Indonesia juara 2
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1970: Indonesia juara 2
Kejuaraan Pelajar Asia 1984: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1985: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1986: Indonesia juara 1
Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986: Indonesia juara 1

Coba bandingkan dengan prestasi timnas Indonesia Senior berikut:
Turnamen Merdeka Games, Kuala Lumpur, 1960: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games, Kuala Lumpur, 1961: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup, Dhaka, 1961: Indonesia Juara 1
Sepakbola Asian Games IV, Jakarta, 1962: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games, Kuala Lumpur, 1962: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup, Dhaka, 1966: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup, Dhaka, 1967: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup, Dhaka, 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup I, Bangkok, 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen Agha Khan Gold Cup, Dhaka, 1968: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games, Kuala Lumpur, 1969: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup II, Bangkok, 1969: Indonesia Juara 2
Turnamen Agha Khan Gold Cup, Dhaka, 1970: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup I, Jakarta, 1970: Indonesia Juara 3
Turnamen Queen’s Cup, Bangkok, 1971: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup, Seoul, 1971: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games, Kuala Lumpur, 1971: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup II, Jakarta, 1972: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup, Seoul , 1972: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan, Singapura, 1972: All Indonesian Final (Indonesia & B)

Kalau melihat data di atas secara gamblang terlihat ada keterlanjutan antara prestasi timnas Indonesia Yunior ke prestasi timnas Indonesia Senior. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Karena pada jaman itu Indonesia cukup dengan mengandalkan talenta luar biasa yang dimiliki para pemainnya yang dilatih secara baik oleh pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik. Plus “manajemen dari hati ke hati” oleh para pengurus PSSI yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain sehingga daya juang pemain meningkat, meskipun mereka hanya menerima honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Yang ada adalah iming-iming heroik:

“Akan diterima oleh Presiden RI, Bung Karno, di Istana Merdeka jika berhasil menjadi juara”. Maklum saja, soal dana PSSI semata-mata hanya mengandalkan hasil jualan karcis manakala timnas Indonesia melawan kesebelasan asing kelas dunia main di stadion Senayan, Jakarta. Ditambah sedikit saja dari para donatur gila bola. Sementara pada sisi lain, di hampir semua negara Asia belum ada kompetisi sepakbola profesional. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat seperti sekarang ini yang sudah merupakan era kompetisi profesional.

Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia yang dijuluki oleh Presiden FIFA sebagai “Brazil Asia” berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan itu dulu dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dicukur oleh Soetjipto Soentoro dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1969. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab (Timur Tengah) bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka belum punya . Seperti diketahui di negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika negara mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an).

Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri, Aliandu, Anwar Ujang , Sunarto, Yuswardi dan Yudo Hadiyanto pun sebenarnya mau ditarik oleh AFC (Asian Football Confederation) untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.


JEPANG PUN BELAJAR KE INDONESIA
Bahkan untuk masalah manajemen sepakbola, Jepang benar-benar belajar dari Indonesia manakala mereka mempersiapkan J-League yang diluncurkan pada tahun 1982. Mengapa? Karena Indonesia sudah memiliki liga sepakbola utama Galatama yang dimulai tahun 1979 di era Ali Sadikin. Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) memperkuat Niac Mitra dan Jairo Matos (Brazil) memperkuat Pardedetex, Medan.

Seiring dengan persiapan J-League, pada tahun 1981 itu pula timnas Jepang dikirim ke Indonesia. Namun timnas Jepang “diajarin bagaimana bermain sepakbola” oleh timnas Indonesia yang dikapteni Ronny Pattinasarani . Kiper timnas Jepang, Taguchi harus memungut bola dari jalanya sampai 4 kali. Timnas Indonesia memang menang telak 4-0 pada uji coba di stadion Senayan itu. Pada pertandingan itu Ronny Patti (libero) bersama Risdianto (striker) memimpin pemain-pemain muda berbakat seperti Mettu Duaramuri, Herry Kiswanto, Budi Juhanis, Didik Dharmadi, Purwono (kiper).

Dan atmosfir pertandingan Galatama ketika itu juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung (Ronny Patti dkk), Indonesia Muda (Djunaedi Abdilah dkk) dan Jayakarta (Iswadi Idris dkk) bertanding melawan Niac Mitra (Fandi Ahmad dkk) atau Pardedetex (Jairo Matos dkk), maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak.

Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia karena konon mafianya berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung pernah menghancurkan tim Galatama Arema Malang di stadion Gajayana Malang, dengan skor telak 4-0 pada tahun 1984.

Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena Jepang memiliki manajemen bagus ditopang dana yang banyak . Sehingga setiap klub mampu merekrut sedikitnya tiga pemain berstandar Eropa atau dunia. Ditambah industri negaranya yang sangat maju dan mau menjadi sponsor J-League. Semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi.

Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Jepang sekarang adalah mirip bahkan melebihi Indonesia pada jaman keemasan dulu. Sekarang timnas Indonesia belum pernah menang lagi lawan timnas Jepang. Timnas Jepang sudah menjadi pelanggan wakil Asia bersama Korsel ke Piala Dunia. Bahkan sekarang pemain-pemain Indonesia sudah kalah sebelum bertanding bila mendengar nama besar Sunshuge Nakamura (pemain top di La Liga Spanyol).


PERPUTARAN UANG RP. 1 TRILIUN
Kompetisi sepakbola Indonesia sih namanya paling keren yakni ISL alias Indonesia Super League. Nama internasional tetapi mutu lokal. Manajemen sangat buruk pada PSSI, menjadi biang keladi kegagalan timnas Indonesia bangkit dari keterpurukan. Padahal potensi penonton sepakbola Indonesia sangat luar biasa. Stadion Jalak Harupat, di Bandung disesaki 50.000 penonton kalau Persib bermain. Begitu pula stadion di Gajayana dan atau stadion Kanjuruhan di Malang kalau Arema Malang bermain akan disesaki 40.000 penonton pula. Rata-rata perolehan dari penjualan karcis kalau Persib main bisa didulang Rp. 700 juta. Kasus derby Malang antara Arema lawan Persema pada tanggal 10 Januari 2010 ybl bisa meraih angka Rp. 1,39 miliar ! Angka ini pasti akan bertambah kalau perolehan dari iklan outdoor dan penjualan siaran langsung TV juga dihitung! Dan kalau saja pertandingan Persija lawan Persib dibolehkan dilangsungkan di stadion Senayan, maka 88.000 penonton (kapasitas maksimal Senayan sekarang pasca Piala Asia) pasti akan menonton “super big match” ini. Dan ujung-ujungnya duit pun akan lebih banyak didulang kalau dilihat harga tiket dan kapasitas stadion Senayan lebih besar dari stadion di Malang.

Jadwal kompetisi amburadul. Padahal pengurus PSSI melalui liga ISL telah menggembar-gemborkan; “hanya gempa bumi dan tsunami yang akan bisa mengubah jadwal kompetisi”. Akibatnya kondisi fisik dan mental pemain menjadi hancur sehingga rawan cedera dan mudah keluar emosi. Akibatnya mudah menyulut terjadinya tawuran sesama pemain bahkan pemain memukul wasit. Ini juga antara lain karena integritas wasit pun belum bisa dipercaya. Komplit sudah bila ditambah penonton mengamuk dan membakar dan merusak apa saja yang ada di depan mata, di stadion bahkan sampai ke luar stadion. Namun manakala Komisi Disiplin dan Komisi Banding telah menjatuhkan sanksi keras kepada para pelaku, eh malah dianulir oleh “hak prerogratif” Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid!!!! Bagaimana para pelaku kerusuhan akan menjadi jera.

Kemudian konsep dibolehkannya 5 pemain asing (3 Non Asia dan 2 Asia) main dalam satu pertandingan ISL, telah mengawali penghambatan potensi maju pemain lokal. Karena terlalu sering duduk di bangku cadangan, para pemain lokal bahkan yang sudah berstatus pemain nasional sekalipun menjadi tidak berkembang kemampuannya. Yang rugi ujung-ujungnya tim nasional juga. Ditambah jadwal kompetisi molor berakibat setiap persiapan pelatnas timnas selalu terkendala. Kalau tidak lengkap semua pemain terkumpul; kendala yang lain adalah kondisi fisik dan mental pemain sudah kelelahan dan jenuh karena jadwal kompetisi yang amburadul tadi.

Karena jadwal kompetisi yang amduradul ini pula. Maka belanja klub lebih hancur-hancuran lagi. Karena dengan mengembangnya waktu, maka belanja menjadi tambah tidak terkendali. Padahal sebagian besar klub masih mengandalkan biaya APBD. Kalau rata-rata setiap klub dari 18 klub ISL yang ada membelanjakan masing-masing Rp 15 miliar per musim kompetisi saja. Maka ada sedikitnya perputaran uang Rp. 270 miliar. Padahal klub besar seperti Persib Bandung sampai menyedot dana APBD Kodya Bandung Rp. 30,57 miliar pada musim kompetisi 2008-2009 ybl. (Kini Persib setelah memiliki PT. Persib Bandung Bermartabat memiliki dana Rp. 30 milyar untuk mengarungi kompetisi ISL 2009-2010 ini). Tahun lalu Persija Jakarta bahkan lebih besar lagi yakni Rp. 42 miliar. Tetapi hasilnya? Persib hanya urutan ketiga dan Persija lebih tragis lagi yakni hanya urutan ketujuh.

Perputaran uang di sepakbola Indonesia ini akan semakin menggila bila ditambah dana yang diserap oleh PSSI dari pabrik rokok Djarum yakni sedikitnya Rp. 50 miliar. Ditambah sumbangan tetap FIFA sebesar US$ 1 juta/tahun. Belum ditambah lagi penjualan hak siar televisi ke Anteve untuk 150 siaran langsung dan tunda liga ISL. Plus hasil jualan iklan outdoor di sekitar stadion Senayan dan stadion-stadion di seluruh Indonesia yang tak ketahuan berapa jumlahnya. Plus transfer fee yang diperoleh dari jual beli pemain. Plus hasil penjualan tiket kepada penonton. Plus perolehan bila ada pertandingan internasional resmi agenda FIFA maupun bukan resmi. Plus donasi pribadi-pribadi gila bola yang juga gelap gulita berapa jumlahnya. Plus bila belanja pada kompetisi Divisi Utama PSSI, Divisi Satu PSSI dan Divisi Dua PSSI ditambahkan ke dalam perputaran uang disini. Plus dan plus bila kejuaraan yang berbeda yakni Copa Dji Sam Soe untuk Piala Indonesia yang diikuti oleh klub ISL dan Divisi Utama juga turut dijumlahkan dalam perputaran uang ini. Maka perputaran uang sepakbola Indonesia bisa mencapai sebesar Rp. 1 triliun !!!

Karena sepakbola Indonesia adalah sudah merupakan persoalan manajemen yang mismanajemen. Maka untuk memecahkannya pun adalah melalui pendekatan manajemen. Nah para ahli manajemen tinggal melihat dan mengelolanya dari hal-hal yang tangible dan intangible pada peta profil sepakbola Indonesia ini.

Read more...

Penggemar Blog IA-ITB :

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP