Fokus ke Transportasi Massal

>> Wednesday, July 28, 2010

From: Rachmad M
Sent: Wednesday, July 28, 2010 12:41 PM
Subject: [IA-ITB] Fokus ke Transportasi Massal


Jalan tol memang harus segera diselesaikan terutama dari Ulujami ke Mall Puri Indah. Hal ini akan sangat mengurangi beban tol Puri ke Tomang serta Bekasi ke Tomang. Terutama truk besar dari Merak seyogyanya tidak perlu masuk kota terlebih sering berjalan lambat di Fly over Tomang yang mengakibatkan kemacetan tak perlu.

Revitalisasi jalur KRL tinggalan Belanda juga perlu diadakan dan terutama Kereta Jarak Jauh baik dari Merak (Barat) mupun dari Bekasi (Timur) jangan dibiarkan masuk kota. Konsep KRL juga harus diubah, tidak ada lagi model Serpong Ekspres atau Pakuan Ekspres dan harus segera dihilangkan. Semua kereta dalam kota harus ber AC dan memiliki perlakuan sama dengan Head to Head rata-rata 5 menit.

Bus jarak jauh hanya dilayani model Basway, sementara bus lainnya bersifat lingkaran-lingkaran kecil model shutle bus. Dan semua transportasi terintegrasi dengan menggunakan sistem kartu pra bayar yang murah. Jika seluruh transportasi masal ini bisa menampung 10 juta perjalanan dengan harga 2.500 rupiah saja perhari sudah terkumpul 25.000.000.000,- atau pertahun 300 Hari Kerja terkumpul 7.500.000.000.000,-

Dan yang lebih penting sebenarnya pendapatan negara yang diperoleh dari penghematan BBM serta perbaikan lingkungan hidup yang tak terhitung biayanya :-)

Pun demikian tetap Ibu Kota perlu dipindahkan :-)



Salam

RM



Read more...

Sains & Teknologi

>> Monday, July 26, 2010

From: M Yusron
Sent: Monday, July 26, 2010 12:08 PM
Subject: [IA-ITB] Sains & Teknologi

Kita hidup dalam abad sains dan teknologi. Sebenarnya
teknologi telah dibangun sejak manusia purba dan
terakumulasi menjadi warisan budaya turuin temurun. Mulai dari
teknologi berupa peralatan dari batu pada era pelaeolitik-mesolitik-
neolitik, pembuatan gerabah, penggunaan roda, penemuan kertas,
teknologi pemintal, kemudian menguasai pemurnian bijih logam
menjadi perunggu, tembaga hingga besi. Dst.

Namun teknologi yang dikembangkan berbasis sains
adalah relatif baru. Sementara sains itu sendiri secara
formal dan terlembaga baru ditemukan sejak ditemukan
METODE ILMIAH yang merupakan penggabungan
antara "metoda rasional" dengan "metoda empiris" oleh filsuf
Jerman Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, 1781).
Metode ilmiah merupakan Epistemologi, yaitu cara mencari
pengetahuan yang benar. Benar menurut metoda ilmiah
adalah bila memenuhi kaidah "benar secara logis" dan "bisa
dibuktikan secara emnpiris"

Perkembangan teknologi berbasis sains menhasilkan progress
jauh lebih pasti. Dan paling tidak sejak Thomas Alfa Eddison
penemuan teknologi telah dilembagakan dalam industri berupa
R&D dan di Universitas berupa lembaga2 Riset.

Contoh praktis perjalanan menuju penemuan "metode ilmiah"
adalah percobaan Lazzaro Spallanzani (1755), yang melakukan
percobaan dengan daging steril (sudah dipanasi) dalam kondisi
tertutup dan daging dalam kondisi terbuka.
Kemudian ditemukan fakta bahwa :
- Daging yang terbuka setelah beberapa hari membusuk dan
muncul belatung
- Daging yang tertutup dan steril setelah beberapa hari
tidak membusuk dan tidak muncul belatung
Percobaan ini mendukung Teori Biogenesis, yang kemudian
lebih dikenal sebagai "omni vivum ex vivo", makhuk hidup
berasal dari makhluk hidup.

Sebenarnya semangat pada ilmu pengetahuan sudah setua
sejarah peradaban itu sendiri meskipun sains belum juga lahir.
Sebagai bukti, saat Portugis mencari pulau rempah2, telah
diiringi para ahli diantaranya Tome Pires yang menuliskan
Suma Oriental (Sejarah Kesultanan Delhi, Kesultanan Malaka
& Tentang Jawa pada 1515) dan Sir Thomas Raffles
menuliskan History of Java (1817).

Semangat ilmu pengetahuan Barat adalah inspirasi dari
peradaban Islam yang mencapai masa gilang-gemilang
antara abad ke-7 hingga abad ke-13 yang menyatukan
warisan peradaban Mesir, Mesopotamia, Persia, India
dan warisan Yunani.

Bagdad diserbu Jeng His Khan dari utara bersama 250.000
prajurit separonya orang Giorgia (Utara Irak) dan setelah
dikepung beberapa hari berhasil dikuasai dan dihancurkan
pada 1258, setelah itu peradaban Islam mengalami desintegrasi
dan kemunduran. Di sisi lain Barat mengambil pengaruh Islam
dan mengakhiri Abad Pertengahan dan mulai melakukan renaissance
dengan penerjemahan besar-besaran. Ternyata Tulisan-tulisan
Aristotelian telah mewarnai ilmu-ilmu Islam. Sebelumnya Barat
lebih mengenal Plato.

Filsuf Yunani Plato lebih mewarnai perkembangan filsafat
sedang filsuf Aristoteles lebih mewarnai perkembangan sains.
Filsafat memang cenderung lambat, stagnan, siklis (berputar)
dan tidak membumi. Sedang sains cenderung terakumulasi dan
saling melengkapi dan bisa menjelaskan fenomena kehidupan
dan mengatasi masalah2 praktis kehidupan sehari-hari.

Dengan penaklukan Mesir menjadikan tradisi Yunani terus
berlanjut di bawah Emperium Islam, dimana ajaran Islam
mengajarkan sangat positif tentang keutamaan ilmu pengetahuan.
Sejak Jaman penaklukan Mesir oleh Alexander, Mesir dipimpin
oleh Dinasti Macedonia dan kemudian Dinasti Romawi.
Mesir merupakan satu-satunya kerajaan yang masih memelihara
tradisi intelektuial Yunani pada waktu itu hingga ditkalukkan Islam.

Setelah Yunani runtuh, supremasi kekuasaan mayoritas
Eropa dipegang oleh Romawi. Bangsa Romawi tidak
menyukai filsafat namun lebih membangun kebudayaan
dalam hal teknologi perang, bendungan dan jalan raya,
konstruksi bangunan dan yang sangat penting juga adalah
sangat concern membangun sistem Hukum dan Tatanegara.
Setelah Kekaisaran Romawi Timur Runtuh, Eropa dikuasai
Gereja Romawi (The Holy Roman Empire) dan lebih
mementingkan kehidupan akhirat yang mewarnai kehidupada
pada era Abad Pertengahan. Pada jaman itu ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dikembangkan mengabdi pada agama.

Salah satu buah dari Renaissance (menghidupkan budaya klasik
Yunani & Romawi) yang terpenting adalah dicapai penemuan
EPISTEMOLOGI berupa metoda ilmiah (scientific method) hingga
akhirnya muncul Enlightenment (pencerahan). Masa pencerahan
dimaksudkan untuk memberikan pengertian bahwa manusia dengan
kekuatan akalnya bisa menjelaskan fenomena-fenomena alam dan
mengusai alam untuk meningkatkan taraf hidupnya. Berkat sains
manusia tidak lagi dikuasai oleh tahyul. Manusia makin sadar
diri dan berani menentukan takdirnya sendiri atas ijin Tuhan.



Salam,
M Yusron
--------------------------------------------------

Read more...

Astrid Haryati: Ambassador for urban spaces

Astrid Haryati: Ambassador for urban spaces
Prodita Sabarini, The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 07/23/2010 10:19 AM | People



JP/J. AdigunaJP/J. Adiguna



For the past 15-years, Astrid Haryati of Bandung origin, an urban design expert currently working for the mayor of San Francisco, has lived far from home.

The 39-year-old is the San Francisco City and County’s director of greening, responsible for shaping policies and coordinating improvement programs for the city’s urban public spaces, which ranges from better design for storm watersheds to better open spaces and streets. Before joining San Francisco mayor Gavin Newsom’s team, she worked for Chicago’s mayor in a similar position.

She is currently in Jakarta, visiting family and “investigating the opportunity to return”.

Although she was still unsure whether now was the right time to return, she said the last fifteen years would prepare her to come home. Having been involved in city planning of two famous American cities, she said the years in which she lived abroad was good experience.

“Over the last 15 years, I’ve been practicing to create the kind of environment that I’d love my family to live in,” she said.

“City planning is not about fancy recognition. It’s about simulating how I can create a wonderful livable city for myself, my siblings, kids when they’re born and for my parents. It’s like practice,” she said.

This “practice” involves projects that facilitate communities in San Francisco to transform parking spaces into plazas and mini parks. The result of the transformations can be viewed in sfpavementtoparks.sfplanning.org.

Her journey from Bandung to San Francisco began after she graduated from the Bandung Institute of Technology (ITB)’s architecture program. She took a master’s degree in landscape architecture in Denver. “Not to become a gardener or landscape designer but simply to understand a little bit of the outdoor context to deal with placing the building within people’s needs — people’s environment,” she said.

Astrid said she chose the US because the country has made mistakes in its city planning and has been able to resolve those problems. “The best place to learn is from a place where there have been plenty of mistakes,” she said. “It’s rather simplistic to assume you’ll learn from a place that’s ideal. It’s too much of a jump between reality and a dream,” she said.

She moved from Denver to Chicago and started her career in a small office before moving to Teng and Associates, a large architecture engineering company. Within seven years, she has become the youngest principle designer in the company, working on projects in Asia, Europe and North America.

One of her clients while working for Teng was Chicago mayor Richard M. Daley, for which she designed major public parks and development opportunities. At that time she was also active in advocating open space and green infrastructure in the state government.

One day, she received a call from Daley, summoning her to his office. “It’s a funny story because, you know, people don’t get a call from the mayor. Mayor Daley is a powerful person. He’s been in the position for, you know, more than 17 years. I thought I had done something wrong,” she said. “I walked three blocks in the winter time, sweating, thinking that I had done something wrong.”

To her surprise, Daley asked her to be his assistant for Green Initiatives.

“I come from a small kampung in Geger Kalong in Sarijadi, Bandung. It’s not the kind of opportunity that you find easily.” She said it was an opportunity for her to represent Indonesia in an international community.

When asked what she thought of the urban environment of Jakarta, she said that there was a chance for the city to transform itself. The biggest question that needs to be asked is: What does the city of Jakarta want to be?

“It’s never a good idea to copy other cities,” she said.

“You don’t need a big plan, I’m sure the city already has big plans. What we need to do is try it,” Astrid said. “Make model block strategies. Test it on three streets. Test it in one area of a community in Jakarta. Create what I call the ‘green envy’.”

“When you create certain things in some areas, other communities want it. They become envious of what the other community has. Make that sort of a way to actually work together.”

She gave an example of the kampung Widuri area, behind the World Trade Center in Sudirman. In a generic Jakarta street area, she said the people there could be approached to make the place orderly by arranging designated places for kiosks and ojek (motorcycle taxis). “We don’t have to make it fancy but we can see right away that it will look a little more orderly,” she said.

“Making examples like that will help the community to learn about themselves and how they actually work together.

“Then they will hopefully create this ‘green envy’ and the kampung next door can respond to that.”

Read more...

Mencari Paris di Bandung

>> Wednesday, July 21, 2010

From: kamalinaan
To: IA-ITB@yahoogroups.com
Sent: Thursday, July 22, 2010 10:30 AM
Subject: [IA-ITB] (artikel) Mencari Paris di Kota Bandung





Mencari Paris di Bandung
Oleh Jamaludin Wiartakusumah

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi Paris ibukota Perancis. Sebuah kota di Eropa yang mengundang penasaran karena dijadikan julukan untuk kota Bandung, Parijs van Java. Julukan yang muncul pada masa kolonial Belanda dan tetap populer atau dikenang hingga kini. Tentu kunjungan singkat pada musim dingin di kota itu dipergunakan untuk mengidentifikasi julukan tersebut, dengan cara mencari kesamaan, kedekatan dan perbedaan antara Paris dengan Bandung.

Dari segi geografis, ada dua kesamaan dalam skala yang berbeda. Pertama, Paris dan Bandung berada di pedalaman, bukan di tepi pantai atau kota pelabuhan. Meskipun begitu, keduanya berkembang seperti kota pelabuhan, yaitu menjadi kota yang menarik untuk didatangi orang dari berbagai tempat lain dan profesi termasuk seniman. Vincent Van Gogh dari Belanda atau Pablo Picasso dari Spanyol misalnya, merintis karir, berkarya dan pernah mukim di Paris. Demikian halnya Bandung, pernah menjadi tempat perintisan karir seniman besar Indonesia seperti Affandi dan Hendra dan tempat domisili banyak seniman ternama.
Namun, bila di Paris karya seniman tersebut dikoleksi berbagai museum negeri seperti museum Louvre atau d̢۪Orsay, sampai kini Bandung belum memiliki museum negeri serupa. Di Bandung, beberapa seniman sendirilah yang membuat museum karya-karyanya.

Kedua, adanya sungai yang melintasi kedua kota tersebut. Di tengah Paris mengalir sungai Seine yang lebar dan dilalui perahu, sedang di Bandung ada Cikapundung. Karena lebar, bersih dan di kedua sisinya terbentang jalan raya, kehadiran sungai Siene sangat terasa dan menjadi bagian penting dari kota Paris. Beberapa gedung penting berlokasi dekat sungai itu sehingga paket wisata menyusuri Siene sebagian besar berisi informasi mengenai gedung-gedung yang dilewati. Sementara Cikapundung yang mengalir di tengah Kota Bandung, hanya tampak di beberapa kawasan saja seperti Viaduct dan di samping Gedung Merdeka. Selebihnya tampak hilang terhalang pemukiman. Di jembatan Jalan Suniaraja, wajah Cikapundung malah ditutup papan iklan besar karena kondisinya tidak elok sebagai bagian dari panorama kota dan kita belum cukup mampu membuatnya lebih baik. Sungai yang lebih mendekati ukuran dan fungsi Siene di seputar Bandung adalah Citarum.

Tata Kota
Salah satu ciri Paris adalah desain jaringan jalan yang banyak menggunakan sistem aksis atau sumbu yang memusat pada jalan melingkar seperti Bunderan HI di Jakarta. Sebagian besar jalan utama, taman atau gedung penting tertentu berada dalam satu garis lurus atau memusat pada suatu monumen atau landmark kota.

Di Bandung sumbu aksis ini juga terlihat di sekitar Gedung Sate. Sebagian jalan di kawasan itu melingkar atau mengarah pada Gedung Sate sebagai pusat aksis. Sementara Jalan Oto Iskandardinata yang membentang dari selatan, berujung di utara menghadap bangunan bekas pembesar Belanda kolonial yang sekarang disebut Gedong Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat.

Selain menggunakan bangunan besar sebagai titik pusat, aksis di Bandung juga menggunakan landmark alam. Gedung Sate dan pendopo bekas kabupaten, menghadap ke gunung Tangkubanparahu di utara. Gerbang Institut Teknologi Bandung menghadap selatan dan kawasan tengah kampus dibiarkan terbuka sehingga Gunung Tangkubanparahu di utara masih terlihat.

Transportasi umum Paris terdiri dari metro, bis kota, trem, RER dan taksi. Metro adalah sistem mass rapid tranport berupa kereta di dalam kota yang sebagian besar berada di bawah tanah (terowongan). Kereta ini memiliki jalur rel dengan panjang keseluruhan sekitar 221 km dan jumlah stasiun 380. Dari stasiun bawah tanah ke permukaan kota, dihubungkan dengan tangga yang muncul di sekitar perempatan jalan, trotoar atau di tengah komplek perkantoran. Jalur pertama Metro ini mulai dibangun pada tahun 1900 dan selesai pada 1939. Perpindahan penumpang dari satu stasiun ke stasiun jurusan lain dilakukan di bawah tanah melalui terowongan penghubung. Metro adalah sistem transportasi yang efisien, mengantar penumpang, warga Paris atau turis, ke dan dari penjuru kota Paris.

Trem adalah kereta listrik antar kawasan pinggiran Paris sementara kereta RER melayani tujuan Paris dan kota-kota di sekitarnya. Dengan trem, bepergian dari satu kawasan pinggiran ke pinggiran lain, tidak perlu masuk ke tengah Paris dahulu.

200 Tahun
Di banding dengan Paris yang konon berumur lebih dari dua ribu tahun, Bandung sebagai kota tahun ini baru akan genap 200 tahun. Tentu usia Bandung bisa lebih dari itu bila melihat laporan Julian da Silva bahwa pada 1614 ada sebuah perkampungan bernama Bandung yang dihuni sekitar 25-30 rumah dan jauh lebih tua lagi bila merujuk pada temuan arkeologi yang menunjuk pada angka tahun 1488.

Sebagai kota yang dibangun Belanda pada masa kolonial, Bandung memiliki warisan khas berupa jejak desain awal. Mulai dari sebagai kota kecil tempat para preanger planter (londo pemilik perkebunan di sekeliling Bandung) berakhir pekan, dengan kawasan Braga sebagai pusat hiburan dan belanja. Sementara itu, di tengah kota banyak kawasan pemukiman satu lantai khas rumah model pedesaan Belanda jaman dahulu dan masih ada hingga sekarang. Kondisi ini menjadikan kota Bandung sebagai kota dengan nuansa pedesaan yang kental. Ini, saya kira, salah satu yang membuat Bandung menjadi kota yang khas pulau Jawa dan Indonesia umumnya.

Kondisi ini berbeda dengan Paris atau kota-kota Eropa lainnya karena desain hunian di sana seluruhnya model apartemen atau flat. Kepadatan populasi kota Bandung telah mulai diantisipasi. Para pengembang dewasa ini, yang sebelumnya mengikuti model hunian model pedesaan warisan Belanda, mulai membangun hunian model apertemen atau rumah susun.

Perbedaan skala kota terletak pada kondisi Paris yang ibukota sebuah negara dengan kondisi ekonomi, politik dan budaya yang mapan, sedang Bandung ibu kota provinsi negara dengan kondisi yang masih bergerak tumbuh. Meskipun itu bukan halangan untuk membangun Bandung menjadi kota yang lebih nyaman dihuni, lebih indah dinikmati.

Paris sejak lama dikenal dengan cafe-cafenya. Bandung sebagai kota tempat plesiran di akhir pekan sebagaimana jadi ciri khas Bandung tempo dulu, masih berlaku hingga sekarang. Bedanya kalau dulu pendatangnya adalah para juragan perkebunan, sekarang warga Jakarta dan kota di sekitar Bandung. Kondisi ini menumbuhkan bermacam kegiatan ekonomi terutama wisata belanja termasuk kuliner dalam bentuk rumah makan dan cafe. Tinggal bagaimana membuat solusi dari konsekuensi itu karena pada akhir pekan sering terjadi kemacetan luar biasa.

Sebagai Paris di pulau Jawa, tentu Bandung tidak harus meniru Paris, namun memang masih diperlukan lebih banyak upaya untuk membuatnya lebih terasa sebagai rumah yang nyaman bagi warganya dan ramah pada mereka yang datang untuk berakhir pekan.

(Dimuat Kompas Jawa Barat, 11 Februari 2010)

-------
Mj
DS 1988

Read more...

Mengajak mendesain IC

>> Monday, July 19, 2010

From: "Edy Gunawan"
To: "IA ITB" ; "EL ITB"
Sent: Saturday, July 17, 2010 10:18 PM
Subject: [EL-ITB] Re: [IA-ITB] Anggota baru: Zul mau mengenalkan mikrokontroler




Ibu/Bapak yth,
Mohon ijin untuk cross posting ke milis EL juga.

Rekan Zul,
Nasib kita mirip, saya suka sekali dengan bidang IC design (tahun
1992-1994 menghasilkan 3 rancangan chip), tapi ketika lulus kuliah saya
tidak menemukan perusahaan IC design di Indonesia.

Kemudian, saat baru lulus, saya diberi kesempatan untuk menggunakan
fasilitas lab (Lab.Manufel = Manufaktur Elektronika) sehingga bisa
mendirikan perusahaan sendiri. Saya juga ikut program Inkubator Bisnis
ITB, serta didukung penuh oleh PT Sarana Jabar Ventura (SJV).

SJV menyediakan dana modal ventura, jaringan bisnis, pameran, sampai
training intensif di berbagai bidang: akuntansi, manajemen produksi,
teknik marketing. Modal ventura yang saya terima tidak perlu jaminan dan
tidak pakai bunga, enak banget!

PT SJV akan mendapat keuntungan, bila ada kenaikan harga saham
perusahaan yang dibiayai-nya. Misal: harga per lembar saham Rp 1000,
satu tahun kemudian, bila perusahaan binaan berkembang baik, nilai modal
meningkat 50%, maka harga saham dapat menjadi Rp 1.500, akan ada
'capital gain' yang diperoleh oleh pemberi modal ventura.

> Ceritakan juga 1 pengalaman berkesan sesudah berkarir : Belum
> bisa bekerja di bidang yang diinginkan :)

Bidang yang di-inginkan oleh rekan Zul apa nih? Embedded system?

Saat ini saya bekerja untuk Atmel Corporation, sehingga saya mendapatkan
akses ke berbagai chip dan development kit dari Atmel. Setiap tahun kami
menyediakan tempat untuk kerja praktek, tugas akhir dan kerja magang
(untuk lulusan baru).

Saya berharap rekan Zul berkenan untuk menggunakan fasilitas yang
tersedia di sini, sambil mencari peluang untuk mulai merintis usaha,
sehingga nantinya dapat mendirikan pabrik sendiri, sesuai cita-cita Anda.

Contoh development kit yang tersedia:
* Wavecom (sekarang Sierra Wireless) Q26 wireless CPU
* open-mesh devices
* Zigbee/6LoWPAN/IPv6 (Internet protocol versi 6 untuk "Internet of
Things") devices
* AVR 8-bit, AVR 32-bit (UC3A1512 + STK600)
* ARM9 touch screen Windows Mobile/Linux kit
* RFID development kit
* ARM7 development kit
* Microchip PIC dev.kit
* USB Analyzer & dev.kit
* CryptoProduct dev.kit
* Apple iPhone/iPad development tools.

http://en.wikipedia.org/wiki/Internet_of_Things

Mau coba menggunakan satu chip mikrokontroler yang punya fasilitas mewah
berikut ini?
- Eight 16-bit Timer/Counters
– Eight USARTs
– Two 8-channel, 12-bit, 2 Msps Analog to Digital Converters
– External Interrupts on all General Purpose I/O pins

Mau coba Plug Computer?
Komputer server data sebesar genggaman tangan, daya 5 watt, bisa diberi
Hard-disk 500GB, dengan CPU buatan orang Indonesia.

http://www.marvell.com/platforms/plug_computer/

Kami menggunakan komputer seperti ini (OpenRD Client) sebagai server
data dan media, melayani aliran data sebuah stasiun televisi (multimedia
data dalam jumlah lumayan besar).

Wassalam,
Edy Gunawan, EL88, edy@atmel.com, Phone: +612-8004-7045

-------- Original Message --------
Subject: [IA-ITB] Anggota baru: Zul mau mengenalkan mikrokontroler
Date: Sat, 17 Jul 2010 11:19:12 +0800
From: Administrasi

Hai Teman,
Ini adalah email balasan otomatis.
Dalam waktu 3 (tiga) hari, tolong isi form di bawah sebagai respon
dari keinginan Anda bergabung di milis IA-ITB.
Jika tidak diisi komplit, maka sangat berat untuk menyetujui
keanggotaan Anda di milis IA-ITB karena kadang-kadang ada pihak luar
(bukan Alumni ITB) yang ingin ikut bergabung di milis IA-ITB.
Mohon maklum dan terima kasih :-)

DATA PRIBADI
Tak kenal maka tak sayang

Data boleh dipublikasi ? [ V] Boleh, supaya lebih akrab [ ] Tidak
Lampiran foto terkini (Foto attachment) ? [ V] Ada [ ] Tidak
Note: file foto lebih kecil dari 150 KB

Nama (Name) : Zulkarnaen
Nama panggilan (Nickname) : Zul

Jurusan di ITB : Teknik Elektro
Jenjang S1 / S2 / S3 : S1
Angkatan Tahun : 2005
Personal Web/URL/Blog : http://
Foto / Alamat Facebook : www.facebook.com/zul.zulkarnaen

Profesi (Profession) : Programmer
Keahlian (Expertise) : Embedded System, Digital Instrumentation &
Control System

Alamat Rumah (Home Adr) : Citra Asri Permai C-9, Gn Batu. Cimahi. 40514
Kota/Negara (City/Country): Indonesia
Perusahaan (Company) : VLSI-RG
Alamat Kantor (Office Adr): Gedung Achmad Bakrie, ITB
Kota/Negara (City/Country): Bandung
Company Web/URL : http://

Tempat/Tanggal Lahir (Place/Date of Birth) : Bandung, 13-03-1988
Umur (Age) :22
Hobby/Life Style : Hiking, Jalan2, Programming, Baca
Ceritakan 1 pengalaman berkesan semasa di kampus ITB : Pertama kali
mengenal yang namanya mikrokontroler
Ceritakan juga 1 pengalaman berkesan sesudah berkarir : Belum bisa
bekerja di bidang yang diinginkan :)
Interest (ketertarikan, aspirasi, minat) join dengan IA-ITB :
Memperluas jaringan

REFERENSI

Bagaimana Anda tahu milis IA-ITB ?
[ ] Search Engine (Google, Yahoo, dll)
[ v ] Yahoo Groups page
[ ] Teman. Nama/email :
[ ] Lain-lain. Tolong sebutkan :

Terima kasih banyak sudah mengisi form !





------------------------------------

***

Wowww, asyiknya ikut milis EL-ITB dan buat kerjasama berguna :-)
EL-ITB-subscribe@yahoogroups.com = email untuk ikut milis EL-ITB


Anggota: 1.465 Diperbarui: 1 Agustus 2009
------------------------------------------------------------------
*** EL-ITB ***
- Merajut komunitas alumni Elektro ITB -
Persahabatan, Elektro, Ide, Desain, Bisnis, & Kerjasama
http://www.yahoogroups.com/group/EL-ITB

Managed by: IAE-ITB & 99Venus International (http://99Venus.net )
------------------------------------------------------------------

Tips: Bebas banjir email dengan ganti-ganti 2 cara terima berikut
1. EL-ITB-normal@yahoogroups.com = email terima normal (individual emails)
2. EL-ITB-digest@yahoogroups.com = email terima ringkasan (daily digest)

Read more...

Indonesia Mendarahi Sukses Belanda ke Final Piala Dunia 2010

>> Saturday, July 10, 2010

Oleh Cardiyan HIS


Semakin terbukti bahwa talenta anak Indonesia bermain sepakbola sebenarnya berkelas dunia. Anak-anak keturunan Indonesia turut mengantar kesebelasan nasional Belanda menembus final Piala Dunia 2010. Manajemen PSSI harus direformasi total dalam kompetisi sepakbola berbagai level sejak usia dini sampai senior. Kalau tidak, ambisi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid membawa Indonesia ke pentas dunia sampai “Lebaran Kuda” pun tak akan pernah kesampaian.

Cannon ball berjarak 40 meter itu menembus telak pojok atas kiri gawang Uruguay. Sang penendang gol emas ini adalah kapten tim nasional Belanda, Giovanni van Bronckhorst. Mantan bek kiri klub Barcelona dan kini akan segera mundur dari klub Feyenoord pasca Piala Dunia 2010 ini, ternyata memiliki darah Indonesia. Ibu kandungnya adalah wanita berdarah Maluku dari fam Sapulete. Tak mengherankan sosok “hanya” bertinggi badan 178 cm pada aura wajahnya masih sangat kuat terpancar Ambon manise.

Gol sang kapten pada menit ke 18 ini (merupakan salah satu nominasi gol terbaik Piala Dunia 2010) tentu membangkitkan moral timnas Belanda di pertandingan semifinal yang sangat krusial melawan satu-satunya tim tersisa asal Amerika Latin; Uruguay. Terlebih-lebih gol ini membangkitkan semangat dan kebanggaan bagi 3 orang lagi sesama keturunan Indonesia yang bermain di semifinal; Johny Heitinga (bek tengah, pemain klub Everton, UK), Deny de Zeeuw (gelandang bertahan, Ajax, the Netherlands) dan Robin van Persie (penyerang, Arsenal, UK ini neneknya berdarah Jawa 100%). Sedangkan satu lagi keturunan Indonesia adalah gelandang bertahan; Nigel de Jong (Manchester City, UK) karena mendapat hukuman akumulasi kartu kuning tak bisa tampil di semifinal. Dengan semua 5 (lima) pemain keturunan Indonesia bebas dari hukuman akumulasi kartu sampai semifinal, maka kelimanya yang merupakan pemain inti kemungkinan besar akan dimainkan sepenuhnya oleh pelatih timnas Belanda, Bert van Marwijk melawan Spanyol di final 12 Juli 2010 jam 1.30 dini hari.

Cerita manis kiprah pemain nasional Belanda berdarah Indonesia sebenarnya bukan ceritera baru lagi. Malahan terjadi sejak jauh hari ketika timnas Indonesia asuhan pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik , melakukan Tour Eropa pertama pada awal 1965.Seorang pemain timnas Indonesia bernama Domingus asal Persipura, Jayapura, Irian Barat (kini Papua) membelot dari timnas Indonesia ke Belanda! Peristiwa yang sangat berbau politis ini, terjadi segera setelah pertandingan timnas Indonesia yang dikapteni Soetjipto “Gareng” Soentoro melawan Guus Hiddink, yang mengkapteni timnas Belanda. Bung Karno, Presiden RI marah besar dan semakin menguatkan tekadnya untuk membangun kesebelasan Indonesia yang kuat untuk event dunia Ganefo di Jakarta. Di event sebagai tandingan Olimpiade karena Indonesia memboikot Olimpiade Tokyo 1960, di final kesebelasan Indonesia mengalahkan Mesir 1-0 melalui gol tunggal striker Komar, asal Persib Bandung. Ketika itu Indonesia memang sedang mengalami masa-masa panas hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pasca Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) oleh PBB yang akhirnya pada tahun 1962 membawa kembali Irian Barat dari cengkeraman penjajah Belanda ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia.

Setelah kejadian itu, baru muncul Simon Tahamata berdarah Indonesia Maluku sebagai pemain inti tim nasional Belanda awal tahun 1980an. Bermain sebagai kiri luar yang sangat cemerlang di klub Ajax, membawa Simon Tahamata ke timnas Belanda. Simon mengakhiri karier internasionalnya di sebuah klub papan atas Belgia, Anderlecht. Nah yang menjadi menarik belakangan ini fenomena jumlah populasi pemain timnas Belanda ternyata semakin banyak dihuni oleh para pemain berdarah Indonesia. Timnas Belanda yang akan tampil di final melawan Spanyol tanggal 12 Juli 2010 jam 1.30, dipastikan akan melibatkan 5 (lima) orang keturunan Indonesia!

Dan masa depan para pemain keturunan Indonesia untuk bisa menembus pemain elite timnas Belanda pasca Piala Dunia 2010 ini pun masih sangat terbuka lebar. Karena masih sangat banyak pemain-pemain keturunan Indonesia yang terlibat dalam kompetisi divisi utama Belanda Eradivisie. Setelah salah seorang pemain timnas Belanda keturunan Indonesia bernama Hedwiges Maduro (juga mantan kapten timnas Belanda yang menjuarai Piala Eropa U-20 tahun 2005) menurun dan tak dipanggil oleh pelatih timnas Belanda 2010, kini ada barisan panjang nama-nama keturunan Indonesia yang kualitasnya sangat menjanjikan antara lain Christian Sapusepa, Michael Timisela, Robert Timisela dan Sven Taberima (Ajax, Amsterdam); Djilmal Lawansuka (Feyenoord, Rotterdam); Raphael Tuanakotta dan Ignacio Tuhuteru (FC Groningen); Gaston Salasiwa (AZ Alkmaar); Marciano Kastirejo, Stefano Lilipaly dan Max Lohy (FC Utrech); Nelljoe Latumahina, Juan Hatumena, Petg Toisuta dan Domingus Lim-Duan (FC Zwolle).

Melihat deretan nama tersebut, tak mengherankan bila Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI sangat tergiur untuk secara instant merekrut pemain-pemain keturunan Indonesia ini menjadi pemain timnas PSSI, melalui proses naturalisasi terlebih dulu. Maka segera dia menyuruh Nugraha Besoes, Sekjen PSSI yang menjabat Sekjen terlama di dunia untuk menjajaginya. Tapi sebagian terbesar dari mereka ternyata tidak mau bermain untuk tim PSSI karena mereka menilai peluang untuk lolos ke Piala Dunia sangat tipis bagi timnas Indonesia dibandingkan kalau mereka membela timnas Belanda. Alasan lain penolakan mereka tentunya adalah masalah jaminan hidup pemain yang sangat diragukan karena kompetisi PSSI masih sangat ecek-ecek.

Memang ada beberapa keturunan Indonesia yang mencoba peruntungan di kompetisi Indonesia Super League (ISL) seperti Irvan Bachdim, (ayahnya keturunan Minangkabau). Namun pemain yunior FC Groningen ini ditolak oleh Persib Bandung karena dinilai masih belum siap untuk mengarungi kompetisi ISL yang sangat keras. Ada lagi Sergio van Dijk, salah seorang top scorer liga Australia (A-League), tetapi beritanya tak kedengaran lagi, mungkin dia tahu Indonesia ditolak FIFA pada bidding keikutsertaannya untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

PSSI kepengurusan Nurdin Halid kalau mau maju ke pentas dunia janganlah berpikir serba instant dong. Jangan agar bisa lolos ke Piala Dunia lalu mencoba merekayasa menjadi Tuan Rumah Piala Dunia. Ini namanya ingin tampil di Piala Dunia dengan tiket gratis! Jangan karena ingin lolos ke Piala Dunia lalu berpikir segera menaturalisasi para pemain bola internasional keturunan Indonesia. Benahi dulu dong, semua level kompetisi sejak usia dini, berjenjang beberapa tingkatan sampai ke kompetisi senior. Kompetisi yang berjalan bagus, kompetitip dan dijalankan secara fair itulah yang akan membawa pemain-pemain Indonesia berada pada level tinggi sebagai pemain sepakbola yang nantinya direkrut memperkuat timnas Indonesia.

Datangkan ke Indonesia pelatih berkelas dunia sekelas Tony Pogacknik, yang didukung penuh oleh pemerintah di bawah Presiden RI, Ir. Soekarno; yang berhasil membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Melbourne, Australia 1956 setelah di final Pra Olimpiade mengalahkan timnas Cina 5-3 dan kemudian di perempat final Olimpiade Melbourne membuat kejutan dengan menahan 0-0 calon juara Olimpiade yang akhirnya memang juga menjuarai Olimpiade Melbourne; Uni Soviet (sekarang Rusia), melalui pertandingan sangat dramatik. Atau datangkan pelatih asal Belanda sekelas, Wiel Coerver, yang membawa Feyenoord memenangi piala Champions dan nyaris membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal, Kanada 1976, hanya karena kalah adu penalti 5-6 melawan Korea Utara. Suruh pelatih timnas Indonesia ini keliling Indonesia memantau pemain-pemain muda berbakat tanpa diintervensi pengurus PSSI. Suruh dia memantau pemain-pemain di kompetisi ISL dan terus berdiskusi dengan para pelatih klub anggota ISL. Suruh dia memberi kursus kepelatihan bagi calon pelatih Indonesia terutama yang berasal dari mantan pemain nasional.

Ayo sebenar-benarnya Indonesia itu bisa ke Piala Dunia asal ada usaha sungguh-sungguh dengan penuh kesabaran!!!!!

Kepustakaan:
www.fifa.com
www.cardiyanhis.blogspot.com
Cardiyan HIS, “PSSI Tempo Doeloe Hebring”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, “Intinya Pemain Inti untuk PSSI”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS, “Soetjipto ‘GARENG’ Soentoro Menggoreng Bola”, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.

Read more...

Suara Perkusi dari Puncak Kilimanjaro

>> Wednesday, July 7, 2010

Suara Perkusi dari Puncak Kilimanjaro
Oleh: 99Venus Team





I know that I must do what's right
As sure as Kilimanjaro rises like Olympus above the Serengeti
I seek to cure what's deep inside, frightened of this thing that I've become



Siapa yang sudah pernah mendaki Gunung Kilimanjaro ?
Jika ingin jalan-jalan ke Afrika dan mendengarkan suara perkusi dari
puncak Gunung Kilimanjaro, silahkan putar video di bawah ini.

Selamat jalan-jalan ke Afrika.




Salam,

:-)
99Venus Team

------------------------------------------



Read more...

The Tragedy of the Commons

>> Monday, July 5, 2010

From: Moko Darjatmoko
To: IA-ITB@yahoogroups.com ; kuyasipil@yahoogroups.com
Sent: Monday, July 05, 2010 5:45 PM
Subject: [IA-ITB] The Tragedy of the Commons




I'm back ...


Dalam email 2 minggu yang lalu, aku mempersoalkan bahwa "teknologi" saja tidak cukup sebagai pemecahan problem bangsa ini. Issue semacam ini sebetulnya bukan barang baru di dunia ini, tetapi masalahnya adalah banyak sekali "pakar-pakar" kita (termasuk insinyur lulusan i-te-be) yang masih asing dengan cara berpikir yang integral atau holistik dalam memecahkan satu masalah. Salah satu rujukan yang bagus adalah The Tragedy of the Commons, tulisan Garret Hardin di jounal Science yang sangat berpengaruh, (Science, 162(1968):1243-1248), dan kemudian menjadi klasik dan "bacaan wajib" di kalangan akademis maupun non-academia.


[Pada dasarnya paper Hardin ini mengupas "depletion or degradation of a resource, usually referred to as a common property resource, to which people have free and unmanaged access." Yang dulu belum pernah baca di sekolah, sekarang bisa nggogle arsipnya, salah satu ada di URL berikut: http://dieoff.com/page95.htm ]


The Tragedy of the Commons (ToC) ini sebetulnya sebuah konsep lama yang dicetuskan oleh matematikawan amatir William Forster Lloyd pada tahun 1833. Mulai dari masalah arm race (national security in a nuclear world) sampai dengan problem lingkungan hidup, kebanyakan problem yang kompleks seperti itu tidak mempunyai technical solution. [A technical solution may be defined as one that requires a change only in the techniques of the natural sciences, demanding little or nothing in the way of change in human values or ideas of morality.]


Secara sederhana ToC ini bisa digambarkan dengan metafor sekelompok peternak domba yang menggembalakan ternaknya di satu padang rumput [the common]. Katakanlah ini adalah satu komunitas yang adil, sama rata sama rasa, dan sistim padang kolektip ini dimulai dengan jumlah domba yang sama per gembala [kapasitas padang dibagi jumlah gembala]. So far so good, everybody's happy. Laju tumbuh rumput mengimbangi jumlah yang dimakan oleh domba-domba gembalaan (istilah keren pisan: sustainable grazing).


Satu saat ada satu gembala yang rada mbelis mikir begini: "Kalau aku nambah satu domba ... kan lumayan buat reunian berdomba-guling sama temen-temen alumni." "Disini ada ratusan domba, nambah satu aja masak terasa pengaruhnya sih?" tambahnya cari-cari rasionalisasi curang kecil-kecilan ini. Menurut pikirnya, rumput untuk domba-domba lain cuma kurang sepersekianratus dari jatah sehari-harinya, dan ini tidak terlalu salah. Tetapi, ... ada tetapinya!


Tetapi, repotnya peternak-peternak lain mulai yang merasa bahwa domba-dombanya mulai agak kurus --waktu dijual timbangannya kurang-- terus mikir "Ah, aku nambah satu lagi [buat nombokin hasil jual domba yang kurus-kurus itu] rasanya kan gak 'ngaruh." Ada juga yang ikutan alasan peternak pertama karena ada hajatan di keluarga atau justifikasi lainnya. Nah, dalam waktu singkat seakan ada perlombaan "nambah satu domba lagi" [gue nggak mau rugi dong] -- kapasitas tumbuh rumput tidak lagi bisa "mengejar setoran" yang dibutuhkan domba yang makin lama makin kelaparan. Akibatnya, dalam waktu singkat padang ini tidak berrumput lagi karena rumput tidak sempat tumbuh, belum sempat keluar daun sudah digigit sampai keakarnya. Tidak ada rumput berarti tidak ada domba (sumber penghasilan) bagi peternak-peternak "serakah" itu.


Itulah tragedinya. Dalam bahasa Garret Hardin, "Therein is the tragedy. Each man is locked into a system that compels him to increase his herd without limit -- in a world that is limited. Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons. Freedom in a commons brings ruin to all."


+++++


Kalau sudah ngomong tentang keterpurukan bangsa ini, seringkali aku dengar orang menyalahkan "penjajah" [wong londo], atau demokrasi bahkan reformasi yang katanya "jalan ditempat" ... bahkan sebaliknya orang tua-tua seperti generasi bapakku ada yang suka bernostalgia ke "jaman normaal" dulu (the goood old days) sebelum jaman "kiblik" (republik indsonesia). Ini sah-sah saja, tetapi repotnya biasanya ujung-ujungnya lalu pergi ke pencarian "kambing hitam" ketimbang mempelajari dan memahami permasalahan yang sesungguhnya ... looking for who did this to us instead of trying to understand "what went wrong" or "what we did wrong".


Mungkin ada benarnya pendapat kalangan sosial-political science bahwa demokrasi (self-governing) itu tidak selalu pas dengan level perkembangan masyarakat -- sebab demokrasi itu, kalau mau sukses, demokrasi harus didukung oleh masyarakat yang relative terdidik. Kalau tidak ya memang jadi chaotik, setiap orang mau jalan sendiri-sendiri ... Dan inilah yang sebetulnya esensi paper Hardin "The Tragedy of the Common" itu -- setiap orang mau memaksimalkan "gain" pribadi, tanpa melihat kepentingan yang lebih besar ... kepentingan kolektip, kepentingan survival bersama sebagai bangsa.


Di pagi buta hari Senin ini, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana fenomena ToC itu terjadi di negeri ini:


Dalam perjalanan pulang jagong manten dari Muntilan ke Bandung via jalur selatan, romboganku terjebak dalam kemacetan paling mengerikan yang pernah kualami [Belum lihat kalau lebaran ... kata tetangga sebelah]. Kemacetan total ini terjadi sepanjang Gentong, Malangbong dan Nagrek. Asal mula kemacetan adalah beberapa truk yang mogok karena kelebihan muatan (dibandingkan kapasitas tarik mesinnya) yang harus menghadapi kombinasi tikungan tajam dan tanjakan berat (grade > 10%). Karena jalan ini sempit dan cuma 2 jalur untuk dua arah, maka hanya ada satu arah saja yang bisa jalan di tempat kejadian. Dalam upaya lewat bergantian yang diatur oleh "anak-anak tukang ganjal ban" [entahlah apakah memang sebenarnya ada polisi di negeri ini, kecuali yang selalu sibuk menimbun celengan berbentuk babi?] sewajarnya akan terbentuk antrian yang makin lama makin panjang karena lalulintas yang padat.


Yang membuat aku tidak tahu apakah musti menangis (from the tragedy) atau tertawa (from this plain stupidity) adalah ulah beberapa pengendara mobil pribadi dan terutama sopis bis antar-kota yang nyodok ... tidak mau antri seperti yang lain, tetapi mengambil jalur kanan yang diperuntukkan kendaraan dari arah berlawanan. Tentu saja dalam tempo singkat dimana-mana terbentuk titik-titik "gridlock" (dimana tidak ada yang bisa bergerak sama sekali), menjalar beberapa kilometer ke kedua arah dari titik awal kemacetan.


Setelah lebih dari 2 jam, kendaraan yang kutumpangi bisa lepas dari kegilaan ini (plus bonus kaca spion digesek oleh sopir bis kota yang sudah setengah gila ... ya semua orang lelah dan ini sudah pagi buta, tetapi ... aku berpikir, seandainya semua orang mengikuti "comon sense", antri dan gantian jalan, kemacetan total semacam ini tidak perlu terjadi. Coba berapa waktu yang terbuang percuma, berapa bahan bakar yang hilang tanpa guna, berapa biaya untuk ganti rem dan kopling yang aus, mesin yang overheated (aku hitung dipinggir jalan lebih dari 2 losin mobil yang "tewas"). Apakah masalah ini bisa diselesaikan dengan "teknologi" (melebarkan jalan, misalnya)? Aku sangat yakin jawabannya tidak.


Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa tragedy semacam ini terjadi hampir tiap hari, lebih dari 40 tahun (as long as I can remember) tanpa pemecahan yang berarti (Apa ada sih gunanya polisi dan pejabat pemerintah yang makan gaji itu ... aku tidak dapat mengindari bertanya-tanya). Pula, tragedy of the commons ini bukan melulu soal kemacetan lalulintas, tetapi juga dalam masalah lingkungan (polusi), masalah ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, keadilan, politik, etcetera, etcetera tidak ada hentinya. Ini mengingatkan aku kepada Hanlon's Razor, sebuah adage populer yang dulu berkembang di lingkungan komputer:


"Never attribute to malice that which can be adequately explained by stupidity."


Barangkali kata di akhir Hanlon's Razor diatas ini bisa melengkapi deskripsi Mochtar Lubis tentang "manusia indonesia" yang kemarin ditayangkan di milis alumni ini.




Tired and sleepy, but finally arrived safely at home ...
Moko

Read more...

PSSI Tempo Doeloe Hebring, PSSI Nurdin Halid Terbanting

>> Thursday, July 1, 2010

Oleh Cardiyan HIS

Sejarah kejayaan PSSI tempo doeloe gagal diulang PSSI Nurdin Halid. Kejayaan sepakbola Indonesia ini diraih karena pengorganisasian PSSI berlangsung dengan penuh idealisme, penuh patriotik. Bila sepakbola di jaman penjajahan Belanda adalah sebagai alat perjuangan menyatukan rakyat Indonesia melawan Belanda. Maka pada pasca kemerdekaan dijadikan alat perjuangan pembentukan karakter bangsa (National Character Building). Dan hal ini sangat didukung oleh visi dan misi Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Presiden RI pertama ini meminta sahabatnya di KTT Non Blok, Presiden Yugoslavia, Broz Tito untuk mengirim ke Indonesia salah seorang pelatih sepakbola terbaik di Eropa yakni Tony Pogacknik. Sedangkan manajemen sepakbola PSSI Nurdin Halid adalah mismanajemen.


Indonesia adalah negara yang memiliki suku bangsa atau etnis terbanyak di dunia. Dan berdasarkan tesis para akhli psikologi dunia Barbe dan Renzulli (1975) dan Gallagher (1975), Tuhan YME memberikan talenta terbaik kepada sebagian manusia pada berbagai etnis di mana pun mereka berada di belahan tempat di dunia. Maka tak mengherankan bila talenta terbaik sepakbola pun berada di mana-mana di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemudian pada masa itu belum ada kompetisi sepakbola profesional berkelas dunia di Asia dan Afrika, kompetisi profesional baru ada di belahan benua Eropa. Kompetisi sepakbola amatir atau di Indonesia dikenal sebagai kompetisi sepakbola Perserikatan-lah yang baru ada, begitu pula di negara-negara Asia dan Afrika lainnya, kecuali di Hong Kong yang berafiliasi ke Inggris. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat ketika kompetisi profesional seperti sekarang ini. Namun meskipun demikian, ketika itu kompetisi amatir Perserikatan dilakukan dengan teratur, terjadwal dengan baik. Sehingga para juara kompetisi Perserikatan peraih Piala Presiden RI ini mencerminkan kualitas pencapaian kesebelasannya adalah nyata-nyata bagus.

Sebagai pelatih sepakbola Tony Pogacknik memang sangat jeli. Ia menemukan kehebatan para pemain Indonesia ada pada kemampuan sprint pendek, sehingga dia mengembangkannya sebagai sebuah taktik penyerangan merayap sejak dari belakang mendekati kotak penalti lawan. Maka menghadapi pemain-pemain Eropa bertubuh tinggi besar pun bukan menjadi halangan bagi para pemain Indonesia, karena bisa bermain tik-tak untuk menerobos benteng pertahanan lawan. Sebagai orang Eropa, Tony sudah sangat hapal tentunya kelemahan para pemain belakang yang berfisik tinggi besar ada pada kekakuan tubuh, tak lentur dalam membalikkan badan manakala penyerang lawan berhasil menembus tembok pemain belakang. Nah sebaliknya para pemain belakang Indonesia memiliki kemampuan fisik yang lentur, sehingga mereka akan mudah membalikkan badan untuk mengejar pemain depan lawan yang mencoba lolos. Sedangkan fisik dan kebugaran para pemain Indonesia tempo dulu juga terbilang bagus, karena pada jamannya mereka memakan dan meminum makanan tradisional kampung yang bebas dari polutan, tidak merokok dan jelas tidak pernah makanan junk food seperti pemain sepakbola Indonesia jaman sekarang.

Maka dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan Indonesia menjadi salah satu Negara di Asia yang sangat maju dalam persepakbolaannya. Dalam “Tour Asia” pertama pada 16 April 1953 sampai dengan 15 Mei 1953, kesebelasan Indonesia telah membuat gempar Asia. Hong Kong sebagai satu-satunya negara di Asia yang telah memiliki kompetisi profesional dan memiliki tradisi unggul yakni kesebelasan mereka sangat sulit dikalahkan di “kandang macan” Happy Valley stadium yang terkenal itu. Melalui suara mantan bintang kompetisi Hong Kong dari klub Hong Kong Interporters, Lee Wai Tong sangat underestimate terhadap timnas Indonesia. “Indonesia akan putus!”, ejeknya. Hanya Mr. Chen Wing Pak (manajer klub Nan Hua) satu-satunya yang ketahuan terbebas dari perasaan memandang remeh Indonesia, karena tahun 1952 dia pernah membawa klub Nan Hua beruji coba ke Jakarta, sehinggga setidaknya dia sudah mengetahui level permainan tim-tim sepakbola di Indonesia. Pada pertandingan pertama, Hong Kong Interpoters dilibas timnas Indonesia dengan 1-4. Kemudian Indonesia menekuk Hong Kong Selection 2-3 dan terakhir Chinese Combination dicukur 5-1. Maka dalam acara “Farewell Dinner”, pimpinan Hong Kong Football Association, dengan jiwa besar mengatakan: “Belum pernah ada kesebelasan asing yang dalam pertandingan di Happy Valley stadium mengalahkan tiga kesebelasan terkuat di Hong Kong sekaligus! Kalau sebelumnya pada Welcome Party manajer Indonesia mengatakan ingin belajar kepada Hong Kong. Maka sekarang sebaliknya, Hong Kong yang harus belajar kepada Indonesia!”. Bukan main. Dalam lanjutan tour lanjutan PSSI ke Filipina, PSSI lebih menggila lagi. Manila Selections dicukur habis 0-8. All Students dilibas 0-7 dan Interpoters digasak 0-5. Sementara uji coba di Bangkok, Thailand, PSSI menggulung klub Chaisote 0-6 dan menghancurkan Thai Royal Airforce 0-7. Bahwa timnas Indonesia benar-benar digjaya di Asia terbukti Indonesia lolos ke Olimpiade XVI tahun 1956 di Melbourne, Australia, setelah pada final Pra Olimpiade menundukkan Cina 5-3. Sebelum berangkat ke Melbourne dalam uji coba sesama timnas sepakbola ke olimpiade Melbourne, Indonesia mengalahkan timnas sepakbola Amerika Serikat dengan skor 7-5.

Pada arena Olimpiade Melbourne ini pula kesebelasan Indonesia yang dikapteni Aang Witarsa (asal Persib Bandung) menjadi perhatian dunia. Indonesia berhasil menahan favorit juara timnas Uni Soviet (Rusia sekarang) dengan skor 0-0. Penjaga gawang ditempati Saelan, sedangkan pemain belakang Indonesia terdiri dari Rasyid, Kiat Sek dan Chaeruddin. Sedangkan barisan gelandang ditempati Siang Liong, Him Tjiang dan Liong Houw bagai benteng yang sungguh kuat. Namun mereka tetap lincah sekali dalam gerakan-gerakannya; seperti penjalin yang dapat dibengkok-bengkokkan dan dapat dipentalkan kembali. Ditambah si “Tukang Pikul Air” Ramlan, yang bekerja keras bagai Genaro Gatusso (AC Milan) menahan pada tahap awal setiap serangan pemain-pemain depan Uni Soviet, sebelum memasuki barisan gelandang dan akhirnya barisan pemain belakang Indonesia. Pada barisan depan Aang Witarsa memimpin rekannya; Ramang dan Danu.

Karena skor normal 2x45 menit tetap 0-0, maka pertandingan harus diperpanjang 2x15 menit. Padahal dalam waktu normal itu Uni Soviet telah menendang bola ke luar melalui garis gawang (out keeper) sebanyak 46 kali. Menembak 20 kali yang dapat ditangkap dengan gemilang oleh penjaga gawang Saelan. Bahkan Uni Soviet memaksakan tendangan penjuru sebanyak 23 kali! Rupanya, penyerang-penyerang Uni Soviet sudah kehilangan akal untuk membobol gawang Indonesia. Maka mereka dengan segala cara mencoba memforsir satu penalti. Yaitu ketika ada kemelut di depan benteng Indonesia, penyerang mereka sengaja menjatuhkan diri berguling-guling seolah kesakitan luar biasa (diving). Tetapi untunglah wasit tidak dapat dipengaruhinya. Ini digambarkan dengan jeli oleh reporter the SUN: “ ....in sheer desperations at one stage, the Russian tried to force a penalty kick decisions in their favour, but desisted when the referee failed to impressed ....” Padahal dalam pertandingan sebelumnya favorit lainnya Jerman Barat, dikalahkan Uni Soviet 2-1. Barulah pada pertandingan play-off keesokan harinya, dimana empat pemain Indonesia mengalami cedera berat, Uni Soviet mampu mengalahkan Indonesia 4-0. Akhirnya Uni Soviet memenangi Medali Emas Olimpiade Melbourne setelah di babak final mengalahkan Yugoslavia 1-0.

Bagaimana hebat dan gagah beraninya para pemain kesebelasan Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: If there was an Olympic Medal awarded for courage, tenacity and refusal to admit inferiority, the INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic Park. They confounded experts, amazed the spectators and worried the Russian team a scoreless draw, even after extra time had been ordered. It was the most fantastic soccer match I have ever seen. (Bill Fleming, senior soccer writer at the Argus newspaper, Australia, 30 November 1956. Menutup periode 1950an Indonesia memenangi medali perunggu Asian Games 1958, di Tokyo, Jepang.

Pemain-pemain Berkarakter Kuat
Pembangunan karakter bangsa yang menjadi komitmen Presiden RI Bung Karno semakin menampakkan hasilnya. Masih dengan pelatih Tony Pogacknik, Indonesia semakin merajalela di peta sepakbola Asia. Tony Pogacknik bukan saja mampu meramu kesebelasan Indonesia menjadi kesebelasan yang kuat. Tony juga mampu mengembangkan para pemain Indonesia menjadi pemain yang memiliki karakter kuat seperti pada diri Aang Witarsa (Persib), Fatah Hidayat (Persib), Soetjipto Soentoro (Persija), Anwar Ujang (PSMS), Iswadi Idris (Persija) yang berturut-turut kesemuanya adalah para kapten tim nasional Indonesia yang sangat berwibawa. Dengan kualitas timnas Indonesia yang cemerlang, maka berdatanganlah ke Jakarta kesebelasan-kesebelasan kelas dunia seperti Dynamo Kiev dengan kapten penjaga gawang legendaris Lev Yashin dan Dynamo Tiblisi (Uni Soviet), Csepel (Hongaria), Hajduk Split dan Red Star Belgrade (Yugoslavia), Spartac (Cekoslowakia), Santos, Cruzeiro, Corinthians dan Flamengo (Brazil), Independentie (Argentina). Sebaliknya, negara-negara kuat sepakbola di Eropa seperti timnas-timnas Belanda, Yugoslavia, Cekoslowakia, Bulgaria, Hongaria dan klub juara Bundesliga Jerman Barat Werder Bremen, dengan senang hati menerima timnas Indonesia yang melakukan “Tour Eropa” pada awal tahun 1965.

Dari beberapa pertandingan “Tour Eropa”, pertandingan paling dahsyat adalah ketika timnas Indonesia melawan Werder Bremen. Indonesia memang kalah 5-6, dua di antara enam gol Werder Bremen diperoleh melalui tendangan penalti. Tetapi pelatih Werder Bremen, Herr Brocker memiliki kesan sangat mendalam terhadap timnas Indonesia. Ia sangat kagum dan heran apa yang ditunjukkan kesebelasan Indonesia yang dianggapnya sudah memiliki tingkat permainan kelas dunia. Juga mereka melihat “handicap” yang ada soal tinggi dan lebih ringkihnya badan pemain-pemain Indonesia, ternyata dapat dikompensasikan dengan “gorengan bola” (dribble) yang sangat lincah dan operan tik-tak cepat yang sangat teliti terutama pada diri Soetjipto Soentoro dan Max Timisela. Pelatih Brocker selanjutnya memuji pemain-pemain Indonesia yang dari segi teknis “perfect”, sangat pandai menguasai bola dan gesit. Selama main dalam kompetisi “seizum” 1965, Werder Bremen tak pernah kebobolan gol sebanyak lima. Padahal dalam melawan Indonesia, pelatih Brocker telah mengajukan pasangan yang terkuat, banyak di antaranya adalah pemain-pemain tim nasional Jerman Barat. Oleh karena itu, Brocker memuji sistem permainan Indonesia yang sering memberikan “long passing” dari sayap ke sayap yang lain. Menurut pelatih Werder ini pertandingan berlangsung dengan mutu tinggi, berjalan cepat dan sama sekali tidak menjemukan. Semua gol yang dicetak, baik oleh Werder Bremen maupun timnas Indonesia adalah “gol-gol ideal” yang tidak dapat dilihat setiap hari. Wasit Herr Redelfs yang juga diwawancarai para wartawan mengatakan, bahwa pertandingan telah berlangsung dengan fair. Ia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan kesebelasan terkuat di Asia. “Saya yakin setiap klub sepakbola Jerman Barat akan bersedia menerima pemain-pemain seperti Soetjipto Soentoro dan Max Timisela, yang sangat berkualitas”. Kedua pemain Indonesia ini memang paling banyak mendapat tepuk tangan riuh setiap kali ia “menggoreng bola” dan “menipu” dua atau bahkan tiga pemain belakang Werder Bremen yang tinggi besar itu. Beberapa pemain belakang Werder Bremen bahkan saling meneriaki ke sesama temannya “Pele”, “Pele”, “Pele” yang dimaksudkannya mengingatkan temannya agar menjaga ekstra keras Soetjipto Soentoro, yang mencetak tiga gol dalam pertandingan tersebut.

Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan yang sekarang menjadi pelanggan Piala Dunia, ketika itu biasa dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dihancurkan oleh Soetjipto Soentoro dkk dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1968. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka memang belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an). Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau AFC (Asian Football Confederation) yang berkantor di Kuala Lumpur nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri (gelandang elegan), Anwar Ujang (stopper paling sulit dilewati lawan) dan Yudo Hadiyanto (penjaga gawang “paling kebal” di Asia versi koran “Utusan Malaysia” dan “Bangkok Post”) pun sebenarnya mau ditarik juga untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.

Berikut adalah statistik keberhasilan kesebelasan Indonesia tempo doeloe, baik PSSI Yunior maupun PSSI Senior pada berbagai level turnamen sepakbola bergengsi di Asia:

Prestasi PSSI Yunior:
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1960: Indonesia juara 3.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1961: Indonesia juara 1.
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1962: Indonesia juara 1
Tahun 1963-1966: Indonesia tak ikut kejuaraan karena situasi Tanah Air ada perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Jaya dan Dwikora konfrontasi dengan Malaysia).
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1967: Indonesia juara 2
Kejuaraan Piala Asia Yunior 1970: Indonesia juara 2
Kejuaraan Pelajar Asia 1984: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1985: Indonesia juara 1
Kejuaraan Pelajar Asia 1986: Indonesia juara 1
Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986: Indonesia juara 1

Prestasi PSSI Senior:
Turnamen Merdeka Games 1960, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1961, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1961, Dhaka: Indonesia Juara 1
Sepakbola Asian Games IV 1962, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1962, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1966, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1967, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup, Bangkok 1968, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1968, Dhaka: Indonesia Juara 1
Turnamen Merdeka Games 1969, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1969, Bangkok: Indonesia Juara 2
Turnamen Aga Khan Gold Cup 1970, Dhaka: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup I 1970, Jakarta: Indonesia Juara 3
Turnamen Queen’s Cup 1971, Bangkok: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1971, Seoul: Indonesia Juara 2
Turnamen Merdeka Games 1971, Kuala Lumpur: Indonesia Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1972, Jakarta: Indonesia Juara 1
Turnamen President’s Cup 1972, Seoul: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan 1972, Singapura: All Indonesian Final (PSSI A & PSSI B)
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1973, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1973, Saigon: Indonesia/Persija Juara 1
Turnamen President’s Cup 1974, Seoul: Indonesia/PSMS Juara 2
Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1974, Jakarta: Indonesia Juara 2
Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1974, Saigon: Indonesia/Persipura Juara 2
Turnamen Agha Khan Gold Cup 1979, Dhaka: Indonesia/Niac Mitra Juara 1
Sepakbola SEA Games 1981, Manila: Indonesia Juara 1
Turnamen King’s Cup 1984, Bangkok: Indonesia Juara 2
Pesta Sukan Brunei Darussalam 1986, Indonesia/Persib Juara 1
Turnamen Piala Kemerdekaan 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1
Sepakbola SEA Games 1987, Jakarta: Indonesia Juara 1

Berbasis Kompetisi Profesional

Dengan tradisi kuat memenangi berbagai turnamen di Asia dan dengan memiliki pemain berbakat luar biasa banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka Ali Sadikin ingin menguatkan pilar-pilar itu ke dalam sebuah kompetisi yang profesional yang disebut kompetisi Liga Sepakbola Utama atau yang lebih dikenal sebagai Galatama pada tahun 1979. Nama Galatama dengan demikian membedakan dengan kompetisi amatir yang berbasis nama kota atau yang lebih dikenal sebagai Perserikatan. Ali Sadikin yakin sepakbola Indonesia hanya bisa maju menuju ke level dunia bila sepakbola dikembangkan berbasis kompetisi profesional. Tak akan terdengar lagi mantan pemain nasional Indonesia menjadi pengangguran karena kompetisi akan memberikan hajat hidup bukan hanya kepada para pemain, pelatih dan wasit tetapi lebih banyak lagi orang terlibat di dalamnya karena kompetisi sepakbola adalah suatu industri besar.

Klub sepakbola pun didirikan oleh para pengusaha gila bola seperti Benny Mulyono, pengusaha cat bermerek “Warna Agung” dengan membuat klub berwarna Warna Agung pula; pengusaha Ciputra memprofesionalkan klub Jayakarta yang semula anggota Persija; Sjarnubi Said memprofesionalkan klub yang sebelumnya disponsori Pertamina, Indonesia Muda; TD Pardede meneruskan klub profesional pertama di Indonesia yang dirintisnya, Pardedetex di Medan; Probosutedjo membentuk klub Mercu Buana FC, Medan yang diambil dari nama grup perusahaannya; Sigit Haryoyudanto mendirikan klub Arseto di Solo; seorang pengusaha Surabaya pemilik dunia entertainment mendirikan klub Niac Mitra; pengusaha mantan Pangdam Cendrawasih dan Gubernur Irian Barat, Acub Zainal membentuk Arema di Malang; pengusaha koran Cahaya Kita membentuk klub Cahaya Kita di Jakarta; perusahaan perkebunan di Lampung mendirikan klub Yanita Utama dsb.

Kompetisi profesional Galatama adalah kompetisi sepakbola kedua di Asia setelah Hong Kong, memiliki daya tarik tersendiri bagi pemain asing sekelas Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) yang memperkuat Niac Mitra, Surabaya dan Jairo Matos (Brazil) yang memperkuat Pardedetex, Medan. Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Klub Warna Agung yang dikapteni Ronny Pattinasarani menjadi klub pertama yang menjuarai Galatama musim pertama. Tak mengherankan, jauh sebelum didirikan J-League pada tahun 1992, tim persiapan kompetisi liga sepakbola Jepang pun belajar dari Galatama Indonesia. Begitu pula tim nasional Jepang selalu mengadakan sasaran uji coba ke Indonesia, yang di mata mereka sudah lebih maju kualitas tim sepakbolanya.

Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola mulai dari judi buntut, toto resmi SDSB Departemen Sosial RI dan tentunya judi liar beromzet miliaran rupiah menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia. Konon mafia judi sepakbola ini berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama pun hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung yang sedang berjaya dengan pemain-pemain top seperti Ajat Sudrajat, Robby Darwis, Yusuf Bachtiar, Sukowiyono, Iwan Sunarya, Wawan Karnawan, Kosasih dkk sering menghancurkan tim-tim Galatama dengan skor telak.

Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena organisasi sepakbola Jepang memiliki pengorganisasian yang bagus; manajemen kompetisi yang terjadwal dengan baik yang ujungnya mengacu kepada kompetisi tingkat klub Asia dan dunia dan tentunya persiapan tim nasional di kompetisi resmi FIFA; dunia industri sangat mendukung kompetisi level tertinggi di Asia ini sehingga para pemain dan pelatih kelas dunia mau berkarier di sini; para suporter mereka sudah sangat dewasa dan sportif, tidak bertindak anarkis dan rasis. Pokoknya semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi yang berlevel tinggi. Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Timnas Jepang sekarang sudah sangat jauh melebihi timnas Indonesia. Kemenangan terakhir timnas Indonesia atas Jepang adalah pada tahun 1981 ketika dalam ujicoba di stadion Senayan, Jakarta, tim Olimpiade Jepang kalah 0-4 dari timnas Indonesia yang dikapteni Ronny Pattinasarani. Setelah itu sampai sekarang Indonesia tak pernah menang lagi kalau lawan kesebelasan nasional Jepang. Bahkan melawan anak bawang Laos pun, di SEA Games 2009 lalu timnas Indonesia kalah 0-2, sekaligus menjadi juru kunci grup. Banyak pemain Indonesia yang kalah sebelum bertanding kalau mendengar nama-nama pemain timnas Jepang seperti Hasebe, Endo, Honda, Nakamura, Nakazawa, Tulio, Matsui dkk. Jepang jadi pelanggan tiket wakil Asia bersama Korea Selatan dari tiga tiket wakil Asia ke Piala Dunia, sedangkan timnas Indonesia menjadi pecundang paling awal; masuk kotak.


Super Big Business

Kompetisi sepakbola Indonesia sih namanya paling keren yakni ISL alias Indonesia Super League. Nama internasional tetapi mutu lokal. Manajemen sangat buruk pada PSSI, menjadi biang keladi kegagalan timnas Indonesia bangkit dari keterpurukan yang demikian panjang. Bertahun-tahun dalam dua periode kepengurusannya, Nurdin Halid lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dari pada mengurus manajemen organisasi PSSI. Dia lebih banyak menggalang kekuatan para pendukungnya agar tak diadakan Kongres Luar Biasa PSSI yang bisa membawa kepada pemakzulan dirinya dan dipecat FIFA. Padahal potensi penonton sepakbola Indonesia adalah sangat luar biasa, terbanyak di Asia setelah Cina. Stadion Jalak Harupat Bandung sudah biasa disesaki 50.000 penonton kalau Persib main. Begitu pula stadion di Gajayana dan atau stadion Kanjuruhan di Malang kalau Arema Malang main akan disesaki 40.000 penonton. Dan kalau saja pertandingan Persija lawan Persib dibolehkan dilangsungkan di stadion Senayan seperti pertandingan kandang Persija vs Persib pada ISL musim lalu, maka 90.000 penonton pendukung Persija (karena bobotoh Persib dilarang nonton untuk menghindari bentrok antar penonton) pasti akan menonton “super big match” ini.

Jadwal kompetisi amburadul. Padahal pengurus PSSI melalui liga ISL telah menggembar-gemborkan; “hanya gempa bumi dan tsunami yang akan bisa mengubah jadwal kompetisi”. Akibatnya kondisi fisik dan mental pemain menjadi hancur sehingga rawan cedera dan mudah keluar emosi. Akibatnya mudah menyulut terjadinya tawuran sesama pemain bahkan pemain memukul wasit. Ini juga antara lain karena integritas wasit pun belum bisa dipercaya. Komplit sudah bila ditambah penonton mengamuk dan membakar dan merusak apa saja yang ada di depan mata, di stadion bahkan sampai ke luar stadion.
Kemudian konsep dibolehkannya 5 pemain asing main dalam satu pertandingan ISL, telah mengawali penghambatan potensi maju pemain lokal. Karena terlalu sering duduk di bangku cadangan, para pemain lokal bahkan yang sudah berstatus pemain nasional sekalipun menjadi tidak berkembang kemampuannya. Yang rugi ujung-ujungnya tim nasional juga. Ditambah jadwal kompetisi molor berakibat setiap persiapan pelatnas timnas selalu terkendala. Kalau tidak lengkap semua pemain terkumpul; kendala yang lain adalah kondisi fisik dan mental pemain sudah kelelahan dan jenuh karena jadwal kompetisi yang amburadul tadi. Tak mengherankan bila hal ini sudah menjadi kebiasaan ketika kompetisi berakhir, pemain-pemain tidak siap mengikuti kompetisi level Asia. Juara kompetisi Indonesia sudah langganan menjadi bulan-bulanan gol lawan yang telah memiliki kompetisi teratur untuk persiapan ke Liga Champions Asia. Jatah 2 tim Indonesia ke Liga Champions Asia menjadi berkurang tinggal 1 saja. Dan bila tak ada kesungguhan untuk memperbaiki manajemen kompetisi ISL, jangan-jangan jatah Indonesia untuk Champions Asia pun tak ada lagi.

Karena jadwal kompetisi yang amduradul ini pula. Maka belanja klub lebih hancur-hancuran lagi. Karena dengan mengembangnya waktu, maka belanja menjadi tambah tidak terkendali. Padahal sebagian besar klub hanya mengandalkan biaya APBD. Kalau rata-rata setiap klub dari 18 klub ISL yang ada membelanjakan masing-masing Rp 15 miliar per musim kompetisi saja. Maka ada sedikitnya perputaran uang Rp. 270 miliar. Padahal klub besar seperti Persib Bandung melalui PT. Persib Bandung Bermartabat telah disuntik dana oleh konsorsium para pengusaha Indonesia lebih dari Rp. 30 miliar pada musim kompetisi 2009-2010 ybl. Persija Jakarta yang masih mengandalkan sepenuhny dana APBD bahkan lebih besar lagi yakni Rp. 42 miliar. Tetapi hasilnya? Persib hanya urutan ke empat dan Persija lebih tragis lagi yakni hanya urutan ke lima.

Perputaran uang di sepakbola Indonesia ini akan semakin menggila bila pihak Kementrian Dalam Negeri RI tidak segera menyetop penggunaan dana APBD untuk kepentingan klub sepakbola peserta ISL dan Divisi Utama dan Divisi Dua PSSI. Penggunaan dana APBD itu jelas telah melanggar aturan hibah, yang tak boleh terus-terusan, dari tahun ke tahun diberikan kepada klub sepakbola. Kalangan anti korupsi menengarai dana tersebut hanya menjadi amunisi para Bupati incumbent dalam mempertahankan kekuasaan dengan aktif menjadi pengurus klub sepakbola. Sepakbola hanya dijadikan “Public Relations” mereka.

Hanya Persib Bandung dan Arema Malang yang sudah menjadi klub profesional, yang sama sekali tidak dibiayai lagi oleh dana APBD. Malah sekarang PSSI semakin mundur agar Pemerintah Pusat melegalisasi dana APBN dengan dalih untuk pembinaan sepakbola nasional. Tahun 2010 ini PSSI berharap dana Rp. 30 miliar bisa dicairkan dari dana APBN. Ini belum ditambah dana yang diserap oleh PSSI dari pabrik rokok Djarum sponsor utama ISL yakni sedikitnya Rp. 50 miliar. Ditambah lagi sumbangan tetap FIFA untuk PSSI sebesar US$ 1 juta/tahun. Belum ditambah lagi penjualan hak siar televisi ke Anteve untuk 150 siaran langsung dan tunda liga ISL sebesar Rp. 30 miliar yang sekaligus dibayar di muka. Plus dana denda pemain dan panitia setempat yang melakukan pelanggaran pada pertandingan. Plus hasil jualan iklan outdoor di sekitar stadion Senayan dan stadion-stadion di seluruh Indonesia yang tak ketahuan berapa jumlahnya. Plus transfer fee yang diperoleh dari jual beli pemain terutama pemain asing. Plus hasil penjualan tiket kepada penonton. Plus perolehan bila ada pertandingan internasional resmi agenda FIFA maupun bukan resmi. Plus donasi pribadi-pribadi gila bola yang juga gelap gulita berapa jumlahnya. Plus bila belanja pada kompetisi Divisi Utama PSSI, Divisi Satu PSSI dan Divisi Dua PSSI ditambahkan ke dalam perputaran uang disini. Plus dan plus bila kejuaraan yang berbeda yakni Piala Indonesia yang diikuti oleh klub ISL dan Divisi Utama juga turut dijumlahkan dalam perputaran uang ini. Maka perputaran uang sepakbola Indonesia bisa melampaui angka Rp. 1 triliun !!!

Karena sepakbola Indonesia adalah sudah merupakan persoalan manajemen. Maka untuk memecahkannya pun adalah melalui pendekatan manajemen. Nah para ahli manajemen tinggal melihat dan mengelolanya dari hal-hal yang tangible dan intangible pada peta profil sepakbola Indonesia ini. Terutama faktor Nurdin Halid.

Kepustakaan:

Cardiyan HIS, PSSI Tempo Doeloe Hebring, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS, Si Gareng Menggoreng Bola: Sebuah Biografi Soetjipto Soentoro, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Cardiyan HIS dan Muhamad Kusnaeni, Intinya Pemain Inti untuk PSSI: Sebuah Biografi Ajat Sudrajat dan Ricky Jacobi, Penerbit PT. Pustaka Dinamika Mediatama, Jakarta, 1988.
Conny Semiawan et al., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Mengengah, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1984.

www.cardiyanhis.blogspot.com

Read more...

Penggemar Blog IA-ITB :

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP