Dari “Insinyur Abstrak” ke Wirausaha Sejati
>> Monday, September 28, 2009
Oleh Cardiyan HIS
Salah satu ukuran keberhasilan kampus di mana pun di dunia akan lebih banyak ditentukan oleh bagaimana kampus berhasil mencetak wirausaha baru dari tahun ke tahun. Pada tahap awal tidak terlalu penting skala usahanya tetapi bagaimana kualitas proses pencapaiannya. Tetapi di kemudian hari merekalah yang akan mengubah dunia.
Sangat sulit kalau tak dikatakan mustahil untuk menjadi “Wirausaha Sukses” kalau tak punya koneksi ke sesama alumni ITB. Lebih spesifik lagi punya akses ke sesama alumni ITB yang tengah menjadi pejabat tinggi pemerintah. Anggapan yang seperti sudah menjadi mitos ini begitu melekat pada banyak mahasiswa ITB, alumni ITB baru lulus yang berniat terjun menjadi wirausaha dan atau alumni ITB yang sedang jatuh kesakitan dalam meniti karier menjadi wirausaha.
Namanya juga mitos belum tentu sebagian atau sepenuhnya benar. Mitos ini wajar timbul karena lebih banyak alumni ITB yang terlalu melihat ke atas. Melihat ke pencapaian kakak-kakak seniornya seperti Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, TP Rachmat, Beni Subianto, Iman Taufik, Achmad Ganis, Achmad Kalla yang memang semuanya “World Class Player”, yang telah menjadi kebanggaan kita semua.
Coba para alumni ITB melihat juga kepada keberhasilan wirausaha alumni ITB yang lebih muda, tetapi proses pencapaiannya tak kalah sama senior-senior tadi. Misalnya Denni Andri yang alumnus Geologi ITB (1989) yang merintis dari bawah sampai mendudukkan perusahaannya menjadi pemain kelas dunia untuk produk turbin dan mesin-mesin industri lainnya. Bagaimana Irwan H. Marbun (Teknik Sipil ITB 1980) dan rekannya M. Fauzan (Teknik Sipil 1985) sangat hebat berwirausaha di bidang pembuatan tangki-tangki penyimpan raksasa yang memerlukan penguasaan teknologi tinggi yang sebelumnya biasa dikerjakan oleh Chicago Bridge & Iron dan Toyo Kanetsu. Perusahaannya kini dipercaya untuk mengerjakan banyak proyek di perusahaan-perusahaan minyak dan gas tidak hanya di Indonesia tetapi juga mulai mengerjakan proyeknya di luar negeri. Atau Saidi Pranoto, alumnus Teknik Geodesi ITB yang dulu karyawan sebuah konsultan sumberdaya alam kemudian keluar untuk mulai menapak berwirausaha dari kecil, menengah, menengah besar, besar dan “besar sekali” sekarang ini, dengan memiliki banyak pesawat terbang untuk keperluan pemetaan udara maupun pesawat penumpang ke puluhan rute penerbangan perintis di puluhan kabupaten di Indonesia. Ada juga alumnus ITB yang semula menjadi intrapreneur kemudian menjadi wirausaha kecil mengerjakan serabutan berbagai order pekerjaan; kemudian menjadi “juragan batubara” karena dari tabungan deposito yang dimilikinya selama bekerja dan keuntungan berwirausaha kecil-kecilan tadi telah mampu menaikkan nilai tambahnya menjadi pemegang belasan ijin Kuasa Pertambangan Batubara dengan luas puluhan ribu hektar; yang kemudian dikembangkannya sendiri dan sebagian di antaranya sudah mulai produksi batubara dan bahkan sudah jutaan metrik ton batubaranya “loading” ke tongkang maupun “mother vessel” menuju berbagai industri di dunia. Itu adalah sekedar contoh-contoh kecil saja karena terlalu panjang untuk diungkapkan satu persatu disini dalam sebuah artikel di mailist ini.
Saya jadi ingat salah satu postingan email di sebuah mailist dari Ir. Irsal Imran, PhD, alumnus Sipil ITB (angkatan masuk 1983) yang sejak belasan tahun bekerja di Amerika Serikat yakni tentang “Insinyur Abstrak”. Indonesia lebih memerlukan insinyur abstrak yang pemikirannya dapat menerawang tidak sekedar tukang insinyur seperti yang diperankan dengan baik oleh artis senior RanoKarno pada serial sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” di stasiun TV RCTI belasan tahun silam. Yang banyak dijumpai di Indonesia dalam pengamatan Irsal Imran adalah insinyur yang memang profesional dalam bidangnya tetapi lebih cenderung mengejar gaji tinggi doang.
“Insinyur Abstrak” dalam pengertian saya adalah insinyur yang kemampuan imajinasinya tinggi yang karena pintar mengukur diri untuk tidak langsung mewujudkan cita-citanya tetapi dia “sekolah” terlebih dulu di sebuah perusahaan kredibel untuk mengasah kemampuannya dan menguatkan mentalnya, membuat jejaring pula bertahun-tahun, sambil menabung gajinya yang gede untuk suatu ketika setelah keberaniannya memuncak kemudian dijadikan modal awal berwirausaha. Ada proses menjadi “intrapreneur” terlebih dulu disini kemudian menjadi “entrepreneur pemula” yang telah dibekali keahlian, jejaring yang telah terbentuk ketika menjadi intrapreneur dan terutama keberanian mengambil risiko dari “orang makan gaji” menjadi “orang menggaji orang”. Atau bahkan ada yang prosesnya bisa dimulai sejak menjadi mahasiswa telah menjadi “entrepreneur kelas gurem” dari segi skala tetapi ada keberanian luar biasa yang tumbuh sejak dini, sedikit kemampuan dan sangat sedikit modal serta sedikit rintisan jejaring.
Kita memang sangat mendambakan lebih banyak lagi lulusan perguruan tinggi di Indonesia memilih wirausaha sebagai pilihan profesinya. Karena bukan saja akan mengurangi deretan jumlah sarjana yang menganggur tetapi juga akan membuka kesempatan kerja yang lebih luas. Oleh karena itu, saya sejak lama telah sering mengingatkan agar kampus-kampus di Indonesia mengembangkan lebih banyak proses latihan bagi mahasiswa sebagai bagian dari proses pendidikan, antara lain pembentukan unit-unit Inkubator Bisnis di kampus yang dikelola secara sungguh-sungguh dan profesional. Kebijakan ini akan sangat strategis bagi pencetakan kelahiran lebih banyak wirausaha baru berbasis kampus. Kita mendambakan kampus ITB tidak hanya menjadi kampus riset tetapi lebih hebat lagi menjadi “Entrepreneur University”. ITB diharapkan dari tahun ke tahun lebih banyak mencetak cikal bakal “Wirausaha Sejati” yang di kemudian hari di antara mereka akan ada yang berhasil menjadi “World Class Entrepreneur” yang akan mengubah Dunia.