Petualangan Dua Mahasiswa ITB, Dari Jerman ke Nepal Lewat Afghanistan
>> Saturday, September 26, 2009
Petualangan Dua Mahasiswa ITB, Dari Jerman ke Nepal Lewat Afghanistan
Buku ini merupakan biografi perjalanan dua mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung), Erlangga Ibrahim (EI) dan Fadel Muhammad (FM), dalam menjelajahi 22 negara di dunia dengan jarak tempuh 32 ribu km, dengan berkendara mobil Mazda 323 selama 6 bulan. Perjalanan dari Eropa Barat (Jerman) hingga Asia Tengah (Afghanistan) merupakan puncak petualangan bagi keduanya, sesungguhnya dua mahasiswa ITB ini telah mulai menapak langkah petualangan pada 2 tahun sebelumnya.
Ketika itu pertengahan 1975, EI dan FM, yang mengisi kegiatan ekstrakulikuler mereka sebagai redaktur majalah ilmu pengetahuan SCIENTIAE, sedang putar otak. Kedua mahasiswa perantau ini—EI yang asal Makasar dan FM yang asal Ternate—sedang mencari cara agar mereka bisa pergi ke Singapura dalam musim liburan.
Langkah pertama, mereka berhasil meyakinkan perusahaan penerbangan GARUDA untuk barter tiket dengan iklan Majalah SCIENTIAE. Setelah itu, mereka menghubungi Dewan Mahasiswa dari Nanyang University (NU) untuk bisa menginap gratis di asrama mahasiswa.
Pendek cerita, mereka tiba di Bandara Changi, Singapura. Di kantong keduanya, masing-masing hanya memiliki uang sekitar Rp.250.000 (nilai sekarang). Uang itu hanya dapat dipakai untuk makan selama tiga hari di kanting kampus. Mujur, mereka bertemu Makagiansar (almarhum), Dirjen Pendiikan Tinggi saat itu, ketika hendak keluar dari Changi. Atas bantuan beliau, mereka berkesempatan meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Kualalumpur. Di sana mereka mengunjungi Universitas Malaya (UM) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).
Selanjutnya atas bantuan atase pendidikan pada KBRI di Kualalumpur, kedua mahasiswa ini melanjutkan perjalanan dengan bus ke Penang untuk mengunjungi Universitas Sains Malaysia. Merambat, mereka lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Hatyai dan berakhir di Bangkok untuk mengunjungi Universitas Chulalongkorn dan Universitas Tammasat. Dari Bangkok, mereka kembali ke Singapura lewat Kualalumpur dengan kereta api.
Sepulang ke tanah air, mereka menulis kisah perjalanan ke kampus-kampus tersebut sebanyak lima seri pemuatan di harian Kompas (kisah perjalanan dari masing-masing kampus tersebut juga dituangkan pada buku ini). Betul-betul kemujuran luar biasa. Dari rencana sekadar ke Singapura, mereka ternyata terus bisa berlanjut ke Kualalumpur, Penang dan Bangkok. Yang tidak disangka-sangka pula, artikel mereka termuat di Kompas.
Begitu membaca artikel mereka di Kompas, Makagiansar langsung memanggil EI dan FM. “Bagus kalian. Saya selama ini sudah sering mengirim tokoh mahasiswa mengunjungi kampus di luar negeri, tetapi tidak ada yang mampu menulis di Kompas”. Alhasil, Makgiansar berjanji akan memberi tiket ke Manila kepada mereka untuk tahun selanjutnya agar kisah kunjungan kampus mencakup keseluruhan negara ASEAN waktu itu.
Bagai bola salju yang menggelinding, EI dan FM menjadikan tiket ke Manila yang lewat Hong Kong itu sebagai batu loncatan untuk meraih Jepang dan Korea Selatan. Pada libur panjang di pertengahan 1976, singkat cerita, mereka berhasil mengunjungi kampus-kampus di Manila dan Marawi City (Mindanao), Filipina . Mereka juga dapat mengunjungi kampus-kampus di Hong Kong, Tokyo dan Hiroshima di Jepang dan Seoul di Korea Selatan. Setiba di tanah air, kembali artikel mereka tentang kehidupan mahasiswa di kampus-kampus yang dikunjungi muncul di Harian Kompas sebanyak 15 seri pada bulan November 1976, Desember 1976, Januari 1977, dan Februari 1977.
Waktu berjalan, EI dan FM memusatkan perhatian pada penyelesaian kuliah. Mei 1977, mereka mulai merasakan kebebasan. Semua mata pelajaran sudah lulus, tinggal menyusun skripsi. Bagai tangan yang mulai gatal, mereka menggelar sebuah rencana besar, yakni mengunjungi kampus di Eropa Barat.
Ketika menyampaikan rencana itu kepada Rektor ITB Iskandar Alisyahbana (Almarhum), terjadi perubahan. Kalau semula mereka menaiki kereta api (Student Europass), kali ini mereka ditawari untuk menjelajahi dengan mobil. Iskandar yang pernah kuliah di Jerman ini menguak sebuah tantangan baru yang tidak terpikirkan oleh mereka sebelumnya.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah menarik Achmad Kalla (AK), teman karib mereka yang jago soal mesin mobil ke dalam tim. Kemudian, mereka bekerja keras untuk mencari sponsor mobil dan dana. Mujur, semuanya terpenuhi dalam waktu singkat.
Berkat bantuan Alwi Dahlan, pemilik Majalah MM (Mobil & Motor) ketika itu yang kemudian menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Soeharto, mereka memperoleh sponsorship dari Mazda Indonesia. Sponsorship mereka berupa kepemilikan satu mobil baru, Mazda 323, berikut tanggungan biaya-biaya bensin dan perawatan. Sebagai catatan, ternyata sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1988, mereka membeli Majalah MM dari Alwi Dahlan.
Singkat cerita, EI dan FM bersama AK menginjakkan kaki di Jerman Barat pada Oktober 1977. Mereka memulai rangkaian kunjungan kampus di Eropa Barat dengan mengendarai mobil sendiri. AK hanya ikut pada perjalanan awal ke tiga negara: Jerman Barat, Denmark, dan Belanda. Semula dia berencana hanya pulang sebentar ke Bandung untuk ujian mata kuliah terakhir dan akan bergabung kembali.
Sayang, niat tersebut tidak kesampaian karena adanya demo mahasiswa yang menyebabkan perkuliahan di ITB ditutup. Akibatnya, AK terkatung-katung menanti ujian yang terus tertunda.
Sementara itu, EI dan FM telah menyelesaikan program kunjungan kampusnya di Eropa Barat. Mendengar ITB ditutup, mereka tidak lantas pulang ke Bandung. Keduanya semakin mengikuti alur petualangan mereka. Dari Eropa Barat, mereka terus melaju menuju Turki dan Timur Tengah. Niat mereka, petualangan akan dihentikan ketika ITB kembali buka.
Tak disangka, ITB tutup selama 6 bulan. Alhasil, mereka tidak hanya melintasi Timur Tengah. Keduanya melanjutkan perjalanan ke Afghanistan, Pakistan, dan India. Sampai di New Delhi, mereka mendapat kabar bahwa ITB masih tutup. Sayang perjalanan mereka terhambat karena perbatasan antara India dan Burma tertutup untuk kendaraan akibat kebijakan isolasi diri Burma. Terpaksa mereka meneruskan perjalanan ke Nepal. Dari Nepal, mereka kembali ke India dan mengakhiri petualangan di Mumbai. Mazda 323 mereka dikapalkan ke Singapura.
Sungguh sayang, mobil bersejarah ini terpaksa ditinggalkan oleh mereka di Mazda Singapura karena tidak bisa dibawa masuk ke Indonesia. Kenyataan itu adalah akibat dari kebijakan larangan impor untuk mobil bekas setelah terjadi kasus Robby Tjahjadi yang heboh itu. Robby Tjahjadi adalah tersangka dalam kasus penyalahgunaan fasilitas kredit yang diberikan Bank Bumi Daya (BBD) dan Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia). Robby diduga telah merugikan negara sebesar 300 miliar rupiah.
Luar biasa ternyata perjalanan kedua mahasiswa ITB itu menghabiskan waktu 6 bulan (rencana awal cuma sebulan) dan menghabiskan jarak 32 ribu km. Mereka telah melewati 22 negara dengan Mazda 323. Coba bayangkan!
Bila ditanyakan apa yang paling genting yang dihadapi selama perjalanan? Mereka menyebutkan tiga hal. Pertama, sewaktu mengalami kecelakaan di Perancis Selatan. Meski tidak mengalami luka yang berarti, mereka sempat berpikir untuk mengakhiri perjalanan selagi menunggu perbaikan mobil yang memakan waktu 10 hari. Namun, ternyata gairah petualangan lebih mengungguli akal sehat sehingga mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali.
Kedua, pada waktu mengurus izin masuk mobil di perbatasan Suriah. Hal ini sebagai akibat dari status mobil mereka yang dari Jerman-nya berpelat nomor Z (bebas pajak). Kebanyakan mobil jenis ini akan dijual lagi di Timur Tengah. Tak heran mereka mengalami rasa ketidakpastian selama 7 jam di perbatasan Suriah, terpingpong dari biro jasa satu ke biro jasa lain. Terbayang, apa yang harus dilakukan kalau tidak boleh masuk ke Suriah.
Ketiga, rasa takut yang menyelimuti selagi menyetir malam hari ktika memasuki Afghanistan. Jalannya yang melintasi gurun itu begitu lurus, gelap dan sangat sepi sehingga lampu mobil yang akan berpapasan sudah terlihat sejak beberapa kilometer sebelumnya. Bayangkan, bagaimana kalau mereka disetop oleh kawanan bandit?
Begitulah. Kisah perjalanan mereka penuh dengan tantangan. Suatu bacaan yang menegangkan dan menyenangkan.
Bagaimana Sekarang?
Erlangga Ibrahim yang lahir di Makasar, lulus jurusan Teknik Industri ITB pada tahun 1978. Meski berhasil menempuh program master pada University of Wisconsin, Madison di USA, ia menganggap keberhasilannya sebagai pengusaha lebih banyak dipengaruhi faktor kreativitas. Faktor yang satu ini menurutnya tentu lebih banyak diperoleh dari kegiatan ekstra ketimbang intrakurikuler.
Bersama Fadel Muhammad, ia mendirikan Majalah Warta Ekonomi, kemudian mengambil alih Majalah MM (Mobil & Motor) pada tahun 1987-1988. Erlangga kemudian banting setir, meninggalan bisnis media dan mengalihkan modalnya ke bisnis jasa telekomunikasi.
Erlangga mengembangkan InfoGroup dalam bidang telekomunikasi bersama Fadel, melebarkan sayap X-Trans Group dalam bidang transportasi dan courier bersama Achmad Kalla. Sangat menarik, kisah Erlangga yang merintis X-Trans dengan gagasan baru On-time shuttle pada jalur Jakarta-Bandung begitu Jalan Tol Cipularang dibuka pada Mei 2005. Pola point to point yang dikembangkan X-Trans ini kemudian menjadi trend belakangan muncul banyak penirunya. Kini X-Trans tetap memimpin di depan sebagai market leader untuk angkutan dengan pola point to point.
Selain melayani jalur-jalur Jakarta ke Bandung dan Bandara Soekarno-Hatta ke Bandung, X-Trans juga merintis angkutan shuttle dari Bandara Soekarno-Hatta ke Semanggi, Bintaro dan Serpong. Angkutan ini merupakan kontribusi X-Trans terhadap peningkatan mutu transportasi bagi masyarakat dan para turis. Sebagai bagian dari rasa tanggung jawab sosial terhadap Kota Bandung, X-Trans menyelenggarakan Tourist Information Centre di Jalan Cihampelas (depan Pusat Perbelanjaan CiWalk).
***
Fadel Muhammad lahir di Ternate dan tamat dari jurusan Fisika Teknik ITB pada tahun 1978. Begitu selesai kuliah, Fadel bersama Achmad Kalla langsung terjun ke dunia usaha dengan mendirikan PT. Bukaka Teknik Utama. Bukaka Group tumbuh pesat dengan menghasilkan beberapa produk buatan dalam negeri. Salah satunya adalah Garbarata yang kini mampu menguasai pasar Asia-Pasifik.
Selain sebagai pengusaha, Fadel juga terjun ke dunia politik yang kemudian menjabat sebagai Bendahara pada Pengurus Pusat GOLKAR. Pada jalur politik ini, ia berhasil menjadi gubernur pertama dari provinsi baru Gorontalo. Malah ia terpilih kembali sebagai gubernur Gorontalo pada Januari 2007 dengan meraih suara 82% yang merupakan angka tertinggi dalam pemilihan gubernur di tanah air selama ini.
Fadel berhasil memperoleh gelar doktor dengan predikat Cum Laude dari Universitas Gajah Mada pada 27 Oktober 2007 setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul: “Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja Pemerintah Daerah”. Disertasi ini diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo (Kompas Gramedia) pada tahun 2008 dengan judul “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”.
************
PROFIL BUKU
Judul : Keliling Kampus Dunia, Petualangan Dua Mahasiswa ITB
Penulis : Erlangga Ibrahim & Fadel Muhammad
Editor : A. Ariobimo Nusantara
Asisten Editor : Mira Rainayati
Penata Isi : Samsudin
Penerbit : PT Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia)
Cetakan : Pertama, 2009
Jumlah Halaman : 198 + xii hlm
0 komentar:
Post a Comment