From: Cardiyan HIS
To: IA-ITB@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, March 03, 2009 12:20 AM
Subject: [IA-ITB] ITB Berjaya, ITB Prihatin
ITB Berjaya, ITB Prihatin
Oleh Cardiyan HIS
ITB berusia tepat 50 tahun pada 2 Maret 2009. Maka peringatan kali ini bertajuk “Dies Emas ITB”. Pada saat meresmikan nama Institut Teknologi Bandung pada 2 Maret 1959, Presiden RI Ir. Soekarno, menegaskan bahwa kita tidak perlu mendirikan institut ini kecuali untuk membangun Bangsa yang Bermartabat dan Berdaulat.
“ITB” yang secara fisik sebenarnya berdiri sejak tahun 1920 dengan nama Technische Hoogeschool Bandung dan mengkhususkan diri di bidang sains, teknologi dan seni, sudah dengan sendirinya kontras di antara ratusan perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Usia ITB yang demikian panjang sudah lebih dari cukup memberinya pengalaman dan harga diri yang tinggi bagi alumni dan civitas academica yang telah mencapai lebih dari 70.000 orang. Dua orang alumninya bahkan telah menjadi Presiden Republik Indonesia Pertama yakni Ir. Soekarno dan Presiden Republik Indonesia Ketiga yakni Prof.DR (Ing)., BJ Habibie. Dan Ir. Djuanda telah menjadi Perdana Menteri pula. Bahkan dari “sisi jelek” sejarah kenegaraan RI, dua presiden separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Negara Pasundan juga adalah alumni ITB!
Tak terhitung sudah berapa alumni ITB yang menduduki jabatan Menteri atau setingkat Menteri dalam sejarah Kabinet Republik Indonesia. “Kalau dari universitas lain itu dosennya jadi Menteri, kalau dari ITB cukup diwakili oleh ‘mahasiswanya’ saja! Sayang kalau dosennya harus meninggalkan kampus tercinta”, canda Prof.Ir. Saswinadi Sasmojo, PhD. Dalam lembaga legislatif ternyata banyak juga politikus alumni ITB yang cukup menonjol dalam membawakan aspirasi rakyat pemilihnya. Sementara di kalangan dunia usaha, para alumni ITB begitu impresif mendominasi pimpinan puncak perusahaan raksasa nasional maupun internasional, baik sebagai entrepreneur (pemilik), profesional mandiri maupun sebagai manajer profesional.
ITB sebagai PT sangat diakui di dunia internasional pada berbagai fora pemeringkatan PT dunia. Ini karena ITB memiliki tradisi akademik tinggi, yang relatif terukur baik, secara terus menerus dari tahun ke tahun. Dimulai sejak sangat kompetitifnya Selektivitas Mahasiswa ITB, yang dalam sejarah seleksi nasional Ujian Masuk PerguruanTinggi Negeri/Ujian Saringan Masuk PTN dari tahun ke tahun, para calon mahasiswa yang memilih ITB adalah 80% berada pada peringkat 1-2.500 dan 20% berada pada peringkat 2.501-12.500 dari rata-rata 450.000 peserta seleksi masuk mahasiswa. Tak mengherankan bila majalah ”AsiaWeek”, Hong Kong, pada edisi 30 Juni 2000 menempatkan ITB pada posisi nomor 1 (satu) di Asia Pasifik untuk kriteria Selektivitas Mahasiswa. Dan buahnya memang sudah mulai terpetik dengan berhasilnya para mahasiswa ITB memenangkan berbagai lomba karya ilmiah pada kejuaraan tingkat dunia yang diselenggarakan/dibiayai oleh perusahaan kelas dunia seperti Microsoft Inc., ‘L ‘Oreal, Sony Ericksson, Fuji Xerox, Bayer, Samsung, Hitachi.
Para dosen ITB dengan segala keterbatasan gaji yang diterima dan dana riset ITB yang sangat terbatas yakni cuma Rp. 41,9 miliar (lebih besar dari US$ 4 juta) per tahun 2008, -----bandingkan dengan National University of Singapore belanja riset tahun fiskal 2007 adalah US$470,8 juta----- harus diacungi jempol pula. Karena hasil penelitian mereka berbasis paten telah mampu mencetak lebih dari 100 paten nasional dan internasional dimana 40 paten telah siap lisensi dan 15 paten telah laku dikomersialisasi. Tulisan-tulisan hasil riset para dosen ITB banyak dimuat di jurnal ilmiah bergengsi kelas dunia seperti “Nature”, “Science”, “Lancet”, “Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America”, “Physical Review”, “American Journal of Cardiology”, “British Journal of Haematology”, “Advanced Materials”, “Human Genetics”, “Molecular Biology”, “World Development”, “Habitat”, “Urban Studies”. Karena berhasil dimuat di jurnal-jurnal kelas dunia, maka tulisan-tulisan dosen ITB dijadikan artikel rujukan (Cited Article) oleh para peneliti kelas dunia dengan frekwensi ribuan kali (Times Cited).
Reputasi Akademik Dosen ITB itulah yang dinilai oleh 6.354 Academic Peer Reviewer di berbagai belahan dunia, telah membawa ITB ke tangga terhormat pemeringkatan PT dunia versi “The Time Higher Education QS” (Inggris) 2008 (www.topuniversities.com). ITB satu-satunya PT dari Indonesia yang masuk ”100 Terbaik Dunia” yakni pada posisi 90 pada area Teknologi (Engineering and Information Technology). Dan peringkat 143 untuk area Natural Sciences dan 210 untuk area Life Sciences and Biomedicine. Padahal seperti kata-kata mantan Rektor Imperial College London (UK), Sir Richard Sykes: “Peer Review is an effective way to evaluate universities. It takes smart people to recognize smart people” (Ibid). Academic Peer Review memang memiliki bobot kriteria penilaian tertinggi yakni 40% dibanding kriteria Employer Review, Faculty Student Ratio, Citations per Faculty, International Faculty, International Students.
Sejauh Mata Memandang, Sedalam Batin Mengendap
Dengan reputasi ITB sedemikian gemerlap ibarat sejauh mata memandang. Ternyata peranan ITB bagi sejarah Republik Indonesia hanya “biasa-biasa saja”. Ah, ibarat sedalam batin mengendap. Bahkan diduga kuat, ITB ikut pula berperan besar dalam keterpurukan negara Indonesia tercinta ini menjadi negara penuh skandal memalukan. Sehingga Krisis Moneter yang mengawalinya telah meningkat menjadi Krisis Multi Dimensi hingga sekarang ini? (Cukuplah Kampus Mencetak Garong, HU “Pikiran Rakyat”, 5 Maret 2007).
Barangkali penilaian itu memang terlalu ekstrim. Sehingga akibat berita yang diplintir wartawan “Pikiran Rakyat” atas paper saya di acara seminar di Aula Timur ITB itu, saya sempat “dikeroyok” dosen-dosen ITB sebagai penilaian yang sangat kejam. Mungkin yang lebih “halus” atau “fair” adalah guyonan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla ketika memberikan sambutan pada Dies Emas ITB, 2 Maret 2009 ybl; “Mengapa sejarah semua menteri pertambangan dan energi selalu dipegang oleh alumni ITB tetapi produksi migas terus menurun hingga sekarang ini? Mengapa menteri-menteri perhubungan alumni ITB tak mampu mencegah kemacetan lalu-lintas luar biasa di kota-kota besar dan kecelakaan terus meningkat? Mengapa direksi PLN yang selalu didominasi alumni ITB tak berdaya mencegah pemadaman listrik?”.
Tentu, hal ini harus dijadikan bahan renungan oleh ITB dan Manusia ITB dan perlu dicarikan jalan keluarnya.. Apalagi karena sudah semakin banyak suara-suara sumbang yang bernada antipati yang ditujukan kepada ITB. Baik terhadap ITB sebagai lembaga Pendidikan Tinggi maupun Manusia ITB. Terhadap ITB sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi dikeluhkan seolah-olah di Indonesia hanya ITB-lah yang paling baik.
Dan tidak kurang pimpinan PT (lain) yang menjadi tambah sulit tugasnya dalam mengatur mahasiswa di kampusnya masing-masing karena perilaku mahasiswa ITB.. Memang, sikap para mahasiswa ITB adalah kompak dan solid sekali. Kalau dalam bahasa sosiologi istilahnya: memiliki ”ingroup feeling” kuat sekali. Kekompakan dan ”ingroup feeling” yang kuat tentu saja positip. Tetapi kalau hal itu membuat suatu kelompok terisolasi dari kelompok lain dalam masyarakat, apalagi kalau menimbulkan fanatisme dan chauvinisme sempit. Maka hal ini justru akan membahayakan kelompok itu sendiri.
Terhadap Manusia ITB (baca: alumni ITB), keluhan umum yang acap terdengar adalah sikap yang mau mendominasi orang lain. Manusia ITB memiliki kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Sehingga seringkali ”under estimate” terhadap lulusan kampus lain. Itulah “kehebatan” alumni ITB yang sungguh sangat memalukan. “Bisa merasa lebih hebat dari seorang Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, hanya karena lulus dari ITB”, tulis Irsal Imran di mailist Ikatan Alumni ITB. Sehingga orang yang sebetulnya punya kemampuan lebih banyak “tidak dibolehkan” oleh para alumni ITB menerima gelar Doktor Honoris Causa dari ITB. Padahal Senat Guru Besar ITB yang memiliki kompetensi dan wewenang untuk itu, melalui voting telah memberikan rekomendasi kepada Rektor ITB untuk menindak-lanjuti pemberian gelar DHC tersebut dengan segala risikonya.
Menurut guru besar psikologi UI, Sarlito Wirawan Sarwono (yang sering kali mewawancarai psikologi dalam rangka rekrutmen calon-calon staf perusahaan-perusahaan kliennya) bahkan dibandingkan dengan lulusan kampus luar negeri pun ----yang seperti Manusia ITB juga memiliki kepercayaan diri tinggi. Tetapi yang lulusan PT luar negeri sering masih menunjukkan sikap ragu-ragu, yang hampir-hampir tidak terdapat pada Manusia ITB (Cardiyan HIS, ITB dan Manusia ITB untuk Indonesia Inc., Penerbit PT.. Sulaksana Watinsa Indonesia, Jakarta, 1991).
Tak sedikit yang menyarankan agar ITB dan Manusia ITB dapat menjadi pendengar yang lebih baik. Apalagi ada menggejala timbulnya anakronisme pribadi mahasiswa dan atau alumni ITB yang berbau metafisika. Banyak di antara mereka yang menemukan diri terlempar ke medan kekaguman serta penghargaan masyarakat. Tetapi ternyata mereka tak mampu berbuat sesuatu sesuai dengan harapan masyarakat. Nah lho!
Mencetak Entrepreneur Berbasis Kampus
Salah satu jawaban atas pertanyaan; mengapa perkembangan PT di Singapura demikian pesat padahal pada awal tahun 1970-an NUS, Singapura dan NTU, Singapura boleh dikatakan masih sejajar dengan ITB -----karena ITB yang memiliki jumlah dosen bergelar PhD terbanyak di Asia Tenggara ketika itu juga mendidik sedikitnya 600 mahasiswa asing asal Malaysia dan puluhan asal Thailand dan Papua New Guinea? Karena pemerintah Singapura kredibel dan sangat peduli pendidikan. Mereka mampu dan berani membelanjakan biaya pendidikan dengan melimpah ketika negaranya mulai memiliki dana cukup. Dan terbukti mereka menikmati buahnya sekarang. Sementara pemerintah rezim Soeharto dan presiden-presiden berikutnya berpikir sebaliknya.
NUS misalnya, untuk pertama kalinya pada tahun fiskal 2007 memecahkan rekor belanja riset yakni sebesar US$ 470,8 juta dibanding US$ 181,0 juta pada tahun 2001. Belanja riset NUS ini menempatkan NUS pada posisi nomor 6 di dunia setelah California Institute of Technology (US$ 1.780,6 juta)), MIT (US$ 598,3 juta), Harvard University (US$ 569,9 juta), Oxford University (527,7 juta) dan Kyoto University (US$ 527,5 juta). Dengan demikian NUS mampu membayar dosen-dosen peneliti terbaik dari berbagai penjuru dunia untuk mau mengajar dan meneliti di NUS.. Secara otomatis kualitas pengajaran, kualitas riset dan Citation Index dosen-dosen NUS terangkat dengan sendirinya. Sehingga tak mengherankan berbagai mahasiswa asing mengincar Singapura sebagai salah satu tujuan pendidikan tinggi terbaik di dunia. Disinilah, Singapura memiliki kemampuan manajemen yang unggul sebagai ”Entrepreneur Pendidikan”. Sehingga mampu menjual kualitas institusi pendidikannya karena mereka didukung dosen-dosen terbaik di dunia yang direkrut Singapura dengan imbalan remunerasi yang sangat menggiurkan.
Inkubator bisnis mahasiswa yang dikembangkan NUS sebagai cikal bakal pencetakan entrepreneur berbasis kampus bahkan sudah punya ”outlet” di Silicon Valley, USA. Dana pertamanya US$ 100.000 merupakan sumbangan para alumni NUS. Mereka merancang dunia pendidikan selalu berkaitan dengan dunia industri. Singapura dengan dana yang melimpah mendidik dan memotivasi agar para mahasiswanya kelak menjadi pemimpin dunia usaha. Mereka menjadi “bos” bagi para ”tukang insinyur” atau ”kuli-kuli tingkat tinggi” -----kebanyakan berasal dari Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja dsb yang memang memiliki talenta bagus tetapi negaranya miskin----- yang berasal dari para penerima beasiswa NUS dan NTU yang terijon untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan Singapura bila lulus kelak.
Oleh karena itu, bagi ITB yang telah mendapatkan bibit-bibit unggul mahasiswa memiliki kewajiban untuk memberikan nilai tambah tinggi terhadap para mahasiswanya, baik yang sifatnya kurikuler maupun dalam hal pengembangan soft skills. Tak cukup itu, ITB hendaknya bekerja sama intensif dengan para alumni ITB untuk mengarahkan lebih banyak mahasiswanya memahami dunia industri dengan menyuntikkan virus-virus entrepreneurship sedini mungkin, sejak mereka masuk ITB. Mereka hendaknya diberikan sebanyak mungkin proses latihan, untuk berani mencoba melakukan dan merealisasikan ide menjadi sesuatu karya semasa mereka di kampus.
ITB jangan traumatis dengan kejadian “Orientasi Studi Mahasiswa” yang telah memakan dua korban dalam sejarah ITB. Ini masalah perlunya keseriusan manajemen ITB dalam menghadapi dinamika kemahasiswaan saja. Kasus ini tak adil bila dibandingkan dengan kejadian di sebuah kampus yang secara brutal telah melakukan kegiatan tidak beradab berupa penyiksaan secara fisik. Tak boleh terjadi pula “pengadilan” terhadap para aktivis kampus ITB dengan “cara pendekatan kekuasaan”. “Penegakan keadilan” atas mahasiswa di kampus hanya bisa didekati dengan pendekatan pendidikan. Biarkan proses ”trial and error” mahasiswa ITB pada berbagai unit aktivitas kampus ini berjalan sebagai tradisi menuju filosofi kerja sebuah perusahaan modern atau filosofi masyarakat modern. Bahwa ”usaha keras adalah bagian sangat penting dari proses penghargaan suatu penampilan dan kegagalan dari usaha keras yang telah dilakukan akan tetap dapat simpati dari organisasi”. Kampus dijadikan basis bagi pencetakan “Entrepreneur Baru” dan juga bagi sebagian alumni yang bercita-cita menjadi “Birokrat Entrepreneur”.
Di kemudian hari, penulis sangat yakin bahwa filosofi ini akan membawa Manusia ITB sebagai lulusan yang di samping memiliki kecerdasan di atas rata-rata juga memiliki karakter kuat, bersikap berani mengambil risiko dalam mengambil keputusan yang inovatif atau keputusan terobosan bukan keputusan yang biasa-biasa saja. Dengan demikian kita akan terdidik menjadi Bangsa Pemberani bukan Bangsa Pengecut. Semangat inilah yang sebenarnya yang diinginkan oleh Bung Karno, ketika meresmikan nama ITB, agar ITB menjadi kampus pencetak manusia berkarakter.
Sejarah membuktikan tentang kemampuan mengembangkan diri negara-negara Skandinavia (seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia) sejak tahun 1870 dan begitu pula Jepang dan Korea Selatan. Keberhasilan mereka, secara garis besar dapat dijelaskan oleh kemajuan pendidikan dan kualitas institusi-institusinya; oleh kebijakan yang berorientasi ke depan dan semangat mengangkat kompetisi.. Orientasi ke depan akan mendorong pertumbuhan dan produktivitas. Sebab perbedaan produktivitas pada suatu investasi dapat membuat perbedaan 1 sampai 2 persen terhadap tingkat pertumbuhan GNP per kapita. Hal ini dapat membantu mengubah stagnasi ekonomi ke dalam semangat untuk meningkatkan kemampuan entrepreneur domestik. Tak mengherankan mengapa Nokia yang dibuat oleh negara kecil Finlandia telah menjadi merek dengan nilai jual nomor 2 tertinggi di dunia setelah General Electric, AS. Begitu pula Volvo dan Ericksson yang buatan Swedia merupakan merek dagang yang telah sangat akrab di telinga kita karena memang telah lama mendunia. Dan tentu saja berbagai produk buatan Jepang dan Korea Selatan yang telah lama membanjiri pasar dan merasuki otak konsumen Indonesia.
Saya yakin Manusia ITB akan mampu melakukan hal serupa yang telah dilakukan manusia-manusia Jepang, Korea Selatan dan negara-negara Skandinavia, kalau melihat kepada potensi bakat unggul yang dimilikinya. Asalkan dalam proses pendidikan di ITB mereka telah diisi kompetensi keilmuannya dengan baik dari dosen-dosen yang baik pula. Kemudian diperkaya oleh proses latihan di kampus dan di berbagai industri yang peduli dalam membentuk dan memperkuat jaringan Indonesia Incorporated.
Saya berangan-angan ITB dapat menjadi lokomotif penarik di masa-masa mendatang untuk memperkuat jaringan canggih ”Kampus-Industri-Pemerintah”. Bagaimana mensinergikan segitiga emas ini secara efektif akan meningkatkan kemampuan daya saing Indonesia Incorporated di peta negara-negara di dunia. Bukan tidak mungkin ITB akan mampu menjadi kampus pencetak banyak “Entrepreneur Masa Depan” dan juga sebagian “Birokrat Entrepreneur”. Dalam perjalanan panjangnya kemudian, mereka akan semakin menyadari. Bahwa untuk membentuk Indonesia Incorporated yang tangguh ternyata harus didukung oleh 3 pilar utama; yakni Pemanfaatan Sains dan Teknologi; Penegakan Hukum yang Adil Berwibawa dan, Membangun Entrepreneur Tangguh.
Bahkan bukan tidak mungkin pula ITB bisa meniru keberhasilan MIT, yang pada tahun 1994 saja menurut penelitian Boston Bank yang bertajuk “MIT: The Impact of Innovation”, para alumni MIT telah mampu membangun 4.000 perusahaan dengan ”sales turnover” US$232 milyar. Sehingga mereka mampu membuka kesempatan kerja bagi 1.100.000 orang di berbagai dunia. Pencapaian ini telah menempatkan MIT sama dengan kekuatan ekonomi dunia pada urutan ke 24 karena sales turnover-nya setara 2 kali GDP Afrika Selatan yang besarnya US$ 116 milyar (MIT Graduates Have Started 4,000 Companies With 1,100,000 Jobs, $232 Billion in Sales in ’94, http://web.mit.edu/newsoffice/1997/jobs.html).
Kalau MIT yang sudah demikian hebat performanya saja masih dikucuri dana investasi Pemerintah AS yakni 70% perolehan dana risetnya berasal dari Pemerintah Federal yang memberikan proyek-proyek riset dasar skala besar, sedangkan proyek riset lainnya berasal dari perusahaan-perusahaan industri multinasional dan organisasi nirlaba milik para filantropis kaya raya. Begitu pula Seoul National University (SNU), Korea Selatan, kendatipun telah menghasilkan riset-riset kelas dunia dan berhasil dikomersialisasi, ternyata secara reguler masih tetap menerima kucuran dana US$ 50 juta per tahun untuk keperluan risetnya dari Pemerintah Korea Selatan.
Maka sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia juga harus memberikan perhatian yang lebih besar tentang masalah dana riset ini kepada ITB dan PT lainnya agar kita mampu berkiprah lebih jauh bagi kemajuan Bangsa Indonesia. Jangan dengan diberlakukannya Badan Hukum Pendidikan (BHP) bagi PT-PT di Indonesia sebagai cara pemerintah cuci tangan dari kewajiban mencerdaskan bangsa dan mengalihkan bebannya kepada masyarakat! Sebab, ujung-ujungnya yang jadi korban adalah anak-anak berbakat tetapi orang-tuanya miskin. Jangankan bisa diterima di PTN sedangkan untuk mencoba ikut seleksinya pun mereka sudah ketakutan lebih dulu karena berat di ongkos!
Read more...