The Tragedy of the Commons
>> Monday, July 5, 2010
From: Moko Darjatmoko
To: IA-ITB@yahoogroups.com ; kuyasipil@yahoogroups.com
Sent: Monday, July 05, 2010 5:45 PM
Subject: [IA-ITB] The Tragedy of the Commons
I'm back ...
Dalam email 2 minggu yang lalu, aku mempersoalkan bahwa "teknologi" saja tidak cukup sebagai pemecahan problem bangsa ini. Issue semacam ini sebetulnya bukan barang baru di dunia ini, tetapi masalahnya adalah banyak sekali "pakar-pakar" kita (termasuk insinyur lulusan i-te-be) yang masih asing dengan cara berpikir yang integral atau holistik dalam memecahkan satu masalah. Salah satu rujukan yang bagus adalah The Tragedy of the Commons, tulisan Garret Hardin di jounal Science yang sangat berpengaruh, (Science, 162(1968):1243-1248), dan kemudian menjadi klasik dan "bacaan wajib" di kalangan akademis maupun non-academia.
[Pada dasarnya paper Hardin ini mengupas "depletion or degradation of a resource, usually referred to as a common property resource, to which people have free and unmanaged access." Yang dulu belum pernah baca di sekolah, sekarang bisa nggogle arsipnya, salah satu ada di URL berikut: http://dieoff.com/page95.htm ]
The Tragedy of the Commons (ToC) ini sebetulnya sebuah konsep lama yang dicetuskan oleh matematikawan amatir William Forster Lloyd pada tahun 1833. Mulai dari masalah arm race (national security in a nuclear world) sampai dengan problem lingkungan hidup, kebanyakan problem yang kompleks seperti itu tidak mempunyai technical solution. [A technical solution may be defined as one that requires a change only in the techniques of the natural sciences, demanding little or nothing in the way of change in human values or ideas of morality.]
Secara sederhana ToC ini bisa digambarkan dengan metafor sekelompok peternak domba yang menggembalakan ternaknya di satu padang rumput [the common]. Katakanlah ini adalah satu komunitas yang adil, sama rata sama rasa, dan sistim padang kolektip ini dimulai dengan jumlah domba yang sama per gembala [kapasitas padang dibagi jumlah gembala]. So far so good, everybody's happy. Laju tumbuh rumput mengimbangi jumlah yang dimakan oleh domba-domba gembalaan (istilah keren pisan: sustainable grazing).
Satu saat ada satu gembala yang rada mbelis mikir begini: "Kalau aku nambah satu domba ... kan lumayan buat reunian berdomba-guling sama temen-temen alumni." "Disini ada ratusan domba, nambah satu aja masak terasa pengaruhnya sih?" tambahnya cari-cari rasionalisasi curang kecil-kecilan ini. Menurut pikirnya, rumput untuk domba-domba lain cuma kurang sepersekianratus dari jatah sehari-harinya, dan ini tidak terlalu salah. Tetapi, ... ada tetapinya!
Tetapi, repotnya peternak-peternak lain mulai yang merasa bahwa domba-dombanya mulai agak kurus --waktu dijual timbangannya kurang-- terus mikir "Ah, aku nambah satu lagi [buat nombokin hasil jual domba yang kurus-kurus itu] rasanya kan gak 'ngaruh." Ada juga yang ikutan alasan peternak pertama karena ada hajatan di keluarga atau justifikasi lainnya. Nah, dalam waktu singkat seakan ada perlombaan "nambah satu domba lagi" [gue nggak mau rugi dong] -- kapasitas tumbuh rumput tidak lagi bisa "mengejar setoran" yang dibutuhkan domba yang makin lama makin kelaparan. Akibatnya, dalam waktu singkat padang ini tidak berrumput lagi karena rumput tidak sempat tumbuh, belum sempat keluar daun sudah digigit sampai keakarnya. Tidak ada rumput berarti tidak ada domba (sumber penghasilan) bagi peternak-peternak "serakah" itu.
Itulah tragedinya. Dalam bahasa Garret Hardin, "Therein is the tragedy. Each man is locked into a system that compels him to increase his herd without limit -- in a world that is limited. Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons. Freedom in a commons brings ruin to all."
+++++
Kalau sudah ngomong tentang keterpurukan bangsa ini, seringkali aku dengar orang menyalahkan "penjajah" [wong londo], atau demokrasi bahkan reformasi yang katanya "jalan ditempat" ... bahkan sebaliknya orang tua-tua seperti generasi bapakku ada yang suka bernostalgia ke "jaman normaal" dulu (the goood old days) sebelum jaman "kiblik" (republik indsonesia). Ini sah-sah saja, tetapi repotnya biasanya ujung-ujungnya lalu pergi ke pencarian "kambing hitam" ketimbang mempelajari dan memahami permasalahan yang sesungguhnya ... looking for who did this to us instead of trying to understand "what went wrong" or "what we did wrong".
Mungkin ada benarnya pendapat kalangan sosial-political science bahwa demokrasi (self-governing) itu tidak selalu pas dengan level perkembangan masyarakat -- sebab demokrasi itu, kalau mau sukses, demokrasi harus didukung oleh masyarakat yang relative terdidik. Kalau tidak ya memang jadi chaotik, setiap orang mau jalan sendiri-sendiri ... Dan inilah yang sebetulnya esensi paper Hardin "The Tragedy of the Common" itu -- setiap orang mau memaksimalkan "gain" pribadi, tanpa melihat kepentingan yang lebih besar ... kepentingan kolektip, kepentingan survival bersama sebagai bangsa.
Di pagi buta hari Senin ini, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana fenomena ToC itu terjadi di negeri ini:
Dalam perjalanan pulang jagong manten dari Muntilan ke Bandung via jalur selatan, romboganku terjebak dalam kemacetan paling mengerikan yang pernah kualami [Belum lihat kalau lebaran ... kata tetangga sebelah]. Kemacetan total ini terjadi sepanjang Gentong, Malangbong dan Nagrek. Asal mula kemacetan adalah beberapa truk yang mogok karena kelebihan muatan (dibandingkan kapasitas tarik mesinnya) yang harus menghadapi kombinasi tikungan tajam dan tanjakan berat (grade > 10%). Karena jalan ini sempit dan cuma 2 jalur untuk dua arah, maka hanya ada satu arah saja yang bisa jalan di tempat kejadian. Dalam upaya lewat bergantian yang diatur oleh "anak-anak tukang ganjal ban" [entahlah apakah memang sebenarnya ada polisi di negeri ini, kecuali yang selalu sibuk menimbun celengan berbentuk babi?] sewajarnya akan terbentuk antrian yang makin lama makin panjang karena lalulintas yang padat.
Yang membuat aku tidak tahu apakah musti menangis (from the tragedy) atau tertawa (from this plain stupidity) adalah ulah beberapa pengendara mobil pribadi dan terutama sopis bis antar-kota yang nyodok ... tidak mau antri seperti yang lain, tetapi mengambil jalur kanan yang diperuntukkan kendaraan dari arah berlawanan. Tentu saja dalam tempo singkat dimana-mana terbentuk titik-titik "gridlock" (dimana tidak ada yang bisa bergerak sama sekali), menjalar beberapa kilometer ke kedua arah dari titik awal kemacetan.
Setelah lebih dari 2 jam, kendaraan yang kutumpangi bisa lepas dari kegilaan ini (plus bonus kaca spion digesek oleh sopir bis kota yang sudah setengah gila ... ya semua orang lelah dan ini sudah pagi buta, tetapi ... aku berpikir, seandainya semua orang mengikuti "comon sense", antri dan gantian jalan, kemacetan total semacam ini tidak perlu terjadi. Coba berapa waktu yang terbuang percuma, berapa bahan bakar yang hilang tanpa guna, berapa biaya untuk ganti rem dan kopling yang aus, mesin yang overheated (aku hitung dipinggir jalan lebih dari 2 losin mobil yang "tewas"). Apakah masalah ini bisa diselesaikan dengan "teknologi" (melebarkan jalan, misalnya)? Aku sangat yakin jawabannya tidak.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa tragedy semacam ini terjadi hampir tiap hari, lebih dari 40 tahun (as long as I can remember) tanpa pemecahan yang berarti (Apa ada sih gunanya polisi dan pejabat pemerintah yang makan gaji itu ... aku tidak dapat mengindari bertanya-tanya). Pula, tragedy of the commons ini bukan melulu soal kemacetan lalulintas, tetapi juga dalam masalah lingkungan (polusi), masalah ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, keadilan, politik, etcetera, etcetera tidak ada hentinya. Ini mengingatkan aku kepada Hanlon's Razor, sebuah adage populer yang dulu berkembang di lingkungan komputer:
"Never attribute to malice that which can be adequately explained by stupidity."
Barangkali kata di akhir Hanlon's Razor diatas ini bisa melengkapi deskripsi Mochtar Lubis tentang "manusia indonesia" yang kemarin ditayangkan di milis alumni ini.
Tired and sleepy, but finally arrived safely at home ...
Moko
0 komentar:
Post a Comment