Reorientasi Gerakan Mahasiswa ITB
>> Wednesday, May 19, 2010
Kemahasiswaan ITB seakan dalam kegamangan, ingin melangkah kedepan dengan nuansa yang berbeda namun terbebani dengan romantika masa lalu. Terkadang romantika yang penuh dengan heroisme jalanan tersebut tak hanya membebani melainkan menjadi jerat yang laten. Suara-suara perubahan sebenarnya telah bermunculan, menunggu gebrakan inovasi dari pimpinan-pimpinan mahasiswa saat ini. Mungkin memang sudah saatnya dilakukan reorientasi gerakan mahasiswa. Untuk menuju Pada reorientasi tersebut, minimal ada tiga kesadaran yang bisa dijadikan landasan.
Kesadaran atas situasi dunia sebagai masyarakat pengetahuan dan wacana the rulling class
Pola pergerakan mahasiswa terkait erat dengan cara pembacaan terhadap dunia, Negara dan almamater. Banyak cara dalam membaca dunia. Sebagian melihat dunia sebagai pengangkangan yang satu terhadap yang lain : barat terhadap timur, utara terhadap selatan, kapitalis terhadap Negara-negara dunia ketiga dsb (teori ketergantungan). Orang-orang Postmodern membaca dunia yang telah menjadi perang imagologi, bukan lagi perang ideologi. Orang marketing mungkin membaca dunia saat ini sebagai zaman venus (simbol perempuan : emosi,persepsi) dan bukan lagi zaman mars (symbol laki-laki : logika). Dalam zaman venus ini suatu produk tak hanya dinilai berdasarkan fungsinya saja melainkan juga bagaimana si produk mampu menyentuh emosi konsumen dengan memainkan persepsi. Orang Geopolitik akan melihat dunia yang bergeser distribusi kekuatannya dari uni polar (hegemoni Amerika) menuju ke multi polar (uni eropa, china, India, amerika latin dll).
Ada pula yang membaca masyarakat dunia saat ini sebagai masyarakat pasca kapitalis yang salah satu cirinya adalah masyarakat pengetahuan. Dalam masyarakat pengetahuan, knowledge, inovasi dan kreativitas memegang peranan utama didalam keberjalanan peradaban. Hal ini tercermin salah satunya dari latar belakang orang-orang terkaya dunia saat ini yang berasal dari innovator-inovator teknologi informasi.
Rekan-rekan yang membaca dunia sebagai pengangkangan yang satu terhadap yang lain, membaca Indonesia dengan terminologi seputar kemiskinan, korup serta menganggap permasalahan ini disebabkan oleh tirani yang berkuasa tentu akan melahirkan pola pergerakan yang digerakan spirit perlawanan. Aksi-aksi yang dilakukan akan penuh dengan nuansa heroisme, kenangan masa lalu dan gelegar jargon perjuangan dan perlawanan. Masih relevankah?
Tentu akan berbeda dengan rekan-rekan yang membaca dunia sebagai sebuah masayarakat pengetahuan yang terintegrasi secara global, membaca Indonesia sebagai sebagai salah satu Negara dengan garis pantai terpanjang, sebagai negri yang memiliki sekian banyak varietas endemic dsb, Kemudian membaca ITB sebagai produsen pengetahuan nomor satu di Indonesia serta menyimpan segudang potensi besar.
Lantas bagaimana seharusnya mahasiswa ITB harus membaca dunia?
Wacana The Rulling Class saya ambil dari pemikiran Anis Basweidan. Sederhananya, the rulling class merujuk pada kelompok pemuda pada satu massa yang pada akhirnya menjadi pemimpin/elit Indonesia di masa depannya. Setidaknya sudah ada tiga generasi the rulling class.
The Rulling Class pertama adalah pemuda-pemuda yang beruntung mendapat pendidikan Belanda saat politik etis dicetuskan. Mereka adalah generasi Soekarno,hatta dll. Mereka memimpin Indonesia saat kemerdekaan. Era berikutnya adalah era mempertahankan kemerdekaan. Pada masa itu tumbuh kesatuan-kesatuan militer. The Rulling class kedua adalah pemuda yang turut dalam kesatuan-kesatuan militer. Pada akhirnya mereka memimpin Indonesia saat orde baru. The Rulling Class berikutnya adalah para aktivis mahasiswa yang turut ambil bagian dalam pergolakan dan peralihan orde lama ke orde baru. Merekalah yang kini banyak menjadi elit politik nasional. Dari sini muncul pertanyaan :”Siapakah the Rulling class berikutnya?”
Ada yang mengusulkan bahwa the rulling class berikutnya adalah pemuda-pemuda yang tergabung dalam kelompok entrepreneur. Jika Dulu orang yang memiliki akses politik secara otomatis akan menguasai akses bisnis dan industri maka pada masa mendatang yang terjadi adalah sebaliknya, orang yang menguasai akses bisnis dan industri akan mudah juga menguasai politik. Namun Entrepreneur disini bisa juga dimaknai secara luas, tak sekedar orang yang berbisnis. Entrepreneur adalah sekumpulan karakter Inovatif, kreatif serta hasrat untuk senantiasa menciptakan nilai tambah.
Kesadaran atas Peran Kaum Intelektual
James Watt tak sekedar membuat mesin uap, yang ia buat adalah sesuatu yang melahirkan revolusi industr1 dan pada akhirnya mengubah tatanan social secara global. Dari sanalah lahir marxisme, dikotomi borjouis-proletar dan kolonialisme. Oppenheimer tak sekedar membuat bom atom, yang ia buat adalah sesuatu yang pada akhirnya menentukan konfigurasi politik global. Pun demikian dengan Shockley yang tak sekedar membuat transistor, yang ia ciptakan menjadi landasan revolusi teknologi informasi dan kini telah menjelma menjadi alat untuk infiltrasi budaya dan rekayasa social. Sejarah memang membuktikan bahwa kaum ilmuwan senantiasa berada didepan dalam gerak sejarah dan peradaban. Mungkin inilah yang membuat Michael hart menempatkan sebanyak 37 ilmuwan dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di Dunia. Contoh lainnya adalah revolusi Prancis yang diilhami pemikiran beberapa filsuf tentang demokrasi.
Contoh diatas merupakan ilustrasi bagaimana peran seorang intelektual sebagai lokomotif peradaban. Mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual memiliki tanggung jawab besar, lebih dari hanya sekedar calon pengisi teknostruktur pembangunan. Kaum intelektual menjadikan pencarian dan pembelaan akan kebenaran ilmiah sebagai koridor utama pergerakan.
Kesadaran Atas peran strategis ITB
China menjadi maju seperti saat ini salah satunya karna investasi Deng Xiaoping terhadap pengembangan sains dan teknologi, “Berbanjar menuju sains” termasuk jargon popular saat itu. Demikian juga dengan India yang sempat membuat joke dengan mengubah kependekan IT (Information technology) menjadi India Today, wujud kebanggaanya sebagai Negara yang memiliki penguasaan IT melimpah. IT memang menjadi salah satu motor penggerak perekonomian India. Kebesaran suatu bangsa saat ini memang sangat ditentukan oleh kemajuan Sains dan teknologinya. Contoh lain adalah Korea Selatan yang menjelma menjadi “Newly industrial country” dengan mengembangkan industri baja (tentunya dengan teknologi pendukungnya). Bandingkan dengan Indonesia yang mengalami kesulitan industri bahkan sejak menerapkan pola substitusi impor, salah satunya akibat minimnya penguasaan teknologi. Bandingkan lagi dengan Norwegia yang kata Prof. MT Zen hanya butuh 10 tahun untuk alih teknologi perminyakan.
Misi ITB adalah memandu perubahan bangsa, misi ini juga hendaknya menjadi misi kemahasiswaan ITB. ITB sebagai institusi sains, teknologi dan seni terbaik memiliki peran besar dalam menentukan arah bangsa. Kemajuan sains dan teknologi tak hanya menaikan harga diri bangsa melainkan bisa menjadi penggerak perekonomian nasional.
Memandu perubahan bangsa dengan teknologi bukan hal aneh, dikarenakan teknologi juga bisa menjadi agen perubahan social. Lantas kapan kiranya ITB (termasuk juga organisasi mahasiswa) melahirkan pemenang nobel dan teknopreneur sekelas pembuat google?
Keprofesian??
Kata keprofesian akhir-akhir ini menjadi popular di lingkungan mahasiswa, namun mengalami penyempitan makna menjadi sekedar penguasaan skill. Proficio (bahasa latin) yang merupakan akar dari terminologi profesi-keprofesian memiliki makna advance (maju/ahli), suatu bentuk semangat untuk menjadi yang terdepan. Plato memaknai proficio sebagai bentuk panggilan jiwa terhadap persoalan kehidupan. Hal ini senada dengan pemikiran Bung Hatta tentang tugas perguruan tinggi (termasuk juga tugas organisasi mahasiswa) untuk membentuk manusia yang memiliki keinsyafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.
Jika pergerakan mahasiswa akan berbasiskan keprofesian, setidaknya ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam wilayah praksisnya :
Pertama, hal ini menuntut kemauan untuk berubah bahkan sampai pada level nilai dasar. Saya bisa dikatakan sebagai generasi terakhir ospek orde lama. Mahasiswa zaman saya berbicara dengan spirit perlawanan, sekarang mungkin dengan spirit perubahan. Dulu kami berbicara tentang soliditas dan solidaritas, sekarang mungkin kreativitas. Dulu kami berbicara tentang makna berani, sekarang mungkin inovasi. Sebagai tambahan,budaya apresiasi juga harus lebih disuburkan lagi.
Kedua, nilai organisasi mahasiswa pada tingkat program studi juga harus mencerminkan karakter keilmuan yang digeluti. Nilai organisasi Himpunan Mahasiswa Fisika misalnya, harus mencerminkan karakter fisikawan. Karakter ini berasal dari nature keilmuan fisika maupun dari teladan tokoh-tokoh yang membangun fisika. There are not just a physicist but also an artist and a humanist and ….
Ketiga, Organisasi mahasiswa harus tetap memiliki visi terkait isu-isu besar dunia dan nasional. Misalnya adalah isu tentang kemandirian energi, teknologi dan perubahan social dll. Namun dalam aksinya, organisasi mahasiswa harus turut memecahkan persoalan nyata di masyarakat dengan keilmuan yang digelutinya…
Apalah artinya kesenian..jika terpisah dari derita lingkungan.. apalah artinya berpikir…jika terlepas dari masalah kehidupan
0 komentar:
Post a Comment