Menyeberangi Lautan Menggapai Kemerdekaan

>> Sunday, August 16, 2009

Catatan Pembuka :
Artikel ini pernah saya muat di milist ITB-74 ( 8 Jan 2008 msg no #19111) dan juga di blog-indie-journalist Kompasiana. Saya memuat kembali di blog ia-itb dengan maksud yang tetap sama seperti saat saya menuliskannya pertama kali, bahwa untuk mencapai suatu kemerdekaan dan kebebasan diperlukan kerasnya kemauan, optimisme yang tinggi dan sering kali ongkosnya adalah nyawa. Sengaja saya muat hari ini, 17 Agustus 2009, dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, ulang tahun kemerdekaan negeri kita yang ke 64.

Dirgahayu Republik Indonesia.
Selamat berbahagia,
selamat berjuang,
jalan di depan kita masih terbentang penuh rintang,
panjang, berliku, berbatu tak rata, penuh onak dan ilalang tajam bak sembilu.
Namun, apapun, republik ini harus tetap tegar, maju, melangkah, melaju !


-----


Menyeberangi Lautan Menggapai Kemerdekaan

Josef B. Dwiyono
Bantar Gebang, 8 Januari 2008.

Kemarin petang saya dan pasukan saya menyeberangi Selat Sunda dari Bakauheni ke Merak. Sebelumnya sudah saya baca laporan bahwa ketinggian ombak di Selat Sunda bagian selatan sekitar 2.5 - 3 m, cukup tinggi utk diseberangi. Tetapi di bagian utara mungkin paling tinggi sekitar 1 m yang masih aman untuk pelayaran. Dari bendera penanda arah-angin bisa dipastikan bahwa kecepatan angin lebih dari 20 knot. Sehingga ferry memang harus berlayar zig-zag menyesuaikan arah terjangan ombak. Saya rasa sang kapten tidak sempat menikmati musik dangdut kegemarannya karena harus bekerja dengan lebih serius. Dulu saya pernah beberapa kali bergurau dengan ombak yang setinggi 3 m atau kadang lebih dengan perahu nelayan yang panjangnya hanya 10 meteran. Sungguh sebuah kenikmatan advonturir yang sangat mengasyikkan meski sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh orang yang cukup waras. Itu dulu sewaktu masih muda, tentu tidak pantas lagi bagi orang yang overseket seperti saat ini.

Saya sengaja berdiri di anjungan atas menikmati goyangan ombak sambil memandangi cakrawala yang dipenuhi oleh awan Cb ( cumulonimbus ) dengan semburat merah sinar matahari yang mulai tenggelam di balik punggung Anak Krakatau yang terus mengepul, sambil merenungi kedahsyatan our mother-nature. Tiba-tiba saja saya teringat pembicaraan saya dengan seorang ibu yang berusia sekitar 65-an tahun sewaktu dalam penerbangan panjang yang amat membosankan dari Detroit ke Narita dua bulan lalu. Ibu tersebut seorang wanita cina yang wajahnya sama sekali tidak menampakkan kekerasan hati. Wajah itu adalah wajah seorang nenek yang sehat, ceria yang penuh dengan optimisme. Sebuah wajah yang sangat happy. Karena kami bersebelahan maka saya coba untuk berbincang-bincang. Eh ternyata dengan senyum dan tawanya yang khas ibu tersebut kemudian banyak bercerita. Demikianlah kisahnya :

Ibu tersebut adalah seorang wanita cina kelahiran Cina Daratan, saya lupa daerah kelahirannya. Saat ini beliau dan suaminya tinggal di Philadelphia. Sudah hampir 40 tahun menjadi warga Amerika Serikat. Anak-anaknya meski mengerti bahasa cina tetapi karena besar di Amerika maka tidaklah fasih menggunakan bahasa ayah ibunya. Usaha suaminya sekarang adalah real-estate. Saat itu beliau dan familinya pergi ke Cina untuk menengok sanak-saudaranya, yang masih tinggal disana. Menurut si ibu paling tidak setahun sekali mereka berkunjung ke tanah leluhurnya. Catatan di atas bukan inti kisah sang nenek tersebut, tetapi ada di kisah berikut ini.

Sampai umur 20-an selepas SMA ibu tesebut tinggal di suatu desa di Cina Daratan. Kemudian saat penugasan negara untuk semacam bakti sosial atau wajib kerja di sebuah pedesaan dekat atau di sebrangnya Hong Kong, beliau beserta teman-temannya yang kesemuanya wanita mencoba melarikan diri dengan berjalan kaki selama beberapa hari menuju ke pantai yang paling dekat dengan Hong Kong. Perjalanan dilakukan di waktu malam untuk menghindari polisi. Siang hari mereka sembunyi dan tidur di sawah-sawah. Dengan modal pelampung sederhana mereka mulai menyeberangi selat / teluk menuju Hong Kong yang saat itu masih milik Inggris, untuk mencari kemerdekaan. Saya tanya kenapa harus pergi meninggalkan tanah-airnya ? Jawab ibu tersebut sangat singkat dan sederhana. Sambil meringis ringan ibu tersebut menjawab 'Mister, saya tidak suka dengan pemerintah komunis ! Itu saja jawabnya. Agaknya si ibu tidak mau bercerita panjang lebar mengenai hal tersebut. Barangkali saja akan malah membuka dan merobek luka lamanya.

















----
Dari sebuah peta di brosur turisme kecil
ibu tersebut sepintas menunjukkan
lintasan yang mereka sebrangi. Saya sudah lupa persisnya darimana awal keberangkatannya . Yang saya ingat adalah teluk tersebut dan dikatakannya jaraknya sekitar 40 sampai 50 mil ke arah Hong Kong yang merupakan lintasan terdekat untuk menyebrang. Lintasan dipilih dengan menjauhi pantai agar terhindar dari patroli pantai.

Dengan perkiraan kecepatan renang sekitar 1 hingga 2 mil per jam maka mereka memperkirakan sampai di H/K sekitar 2 hari 2 malam. Kenyataannya mereka harus berada di air sekitar 4 hari 4 malam karena angin, arus dan ombak di perairan yang menghadap Laut Cina Selatan tersebut ternyata sangat besar. Ada yang berani mencoba ?

---

Perjalanan menyeberang teluk dan selat mereka perkirakan sekitar 2 hari 2 malam berenang. Asumsinya tentu tidak ada angin, ombak dan arus laut. Ternyata mereka harus menempuh 4 hari 4 malam tanpa makanan. Akhirnya sampai di Hong Kong juga meski 4 dari 6 atau 7 wanita-wanita pemberani tersebut hilang ditelan ombak karena kecapaian. Ini sebenarnya penyeberangannya yang kedua. Yang pertama beberapa bulan sebelumnya ibu tersebut tertangkap polisi pantai, masuk penjara satu bulan kerja paksa. Ada yang beberapa kali tertangkap dan berakhir dengan hukuman tembak mati.

Dengan kekerasan hati, kebulatan tekad , optimistik yang tinggi dan tentu saja karena keterpaksaan akhirnya mereka memperoleh kemerdekaan yang mereka impikan. Dengan modal kemahirannya berbahasa Jepang, ibu tersebut bertukar ilmu bahasa dengan seorang guru bahasa inggris di kedutaan Amerika di Hong Kong. Hal ini menyebabkan bahasa inggrisnya amat bagus. Selanjutnya ibu itu sekolah keperawatan dan melanjutkan ke Amerika sampai suatu saat ketemu suami seorang arsitek cina yang asli warganegara Amerika. Agaknya suami istri tersebut cukup sukses dengan usahanya dengan membuka sejumlah toko dan real estate. Mereka menjadi keluarga sukses di Amerika.

Terus terang saat mendengar kisah tersebut saya merinding, haru dan diam-diam terkagum-kagum pada wanita kecil dengan wajah yang samasekali jauh dari kekerasan. Lembut seperti nenek-nenek yang biasa kita temui. Kemauan yang keras, definitip dan optimistik ( atau there were no other choices ). Menyeberangi lautan untuk meraih kemedekaan. Saya peluk wanita tua yang mungil namun tegar itu untuk menyampaikan rasa hormat saya. Sayangnya, cerobohnya saya, nama dan catatan alamat emailnya ketelisut entah kemana karena waktu sampai di Narita kita semua terburu-buru. Saya harus pindah pesawat menuju Singapore sedangkan ibu tersebut beserta familinya buru-buru ganti pesawat ke Seoul. Mudah-mudahan suatu saat nanti saya masih berkesempatan berjumpa dengan wanita tua mungil yang amat perkasa tersebut.

Ada catatan menarik lagi dari ibu tua itu, bahwa ternyata beliau sangat kenal negeri kita Indonesia. Si ibu mengatakan bahwa sewaktu kanak-kanak di sekolah mereka diajari menyanyikan lagu yang berasal dari negeri kita. Saya minta beliau untuk mencoba menyanyikannya kalau-kalau masih bisa. Si ibu bersemangat sekali dan dengan sungguh-sungguh mencoba mengingat-ingat lagu tersebut. Berulang-ulang ibu tersebut mencoba menyanyikannya, namun hanya sepotong saja yang masih diingatnya. Kurang lebih seperti ini yang saya tangkap : sola sola pakambia .. na na na na na na na. Dengan dialek cinanya yang khas dinyanyikannya berulang-ulang tapi beliau bilang sulit mengingat lanjutannya. Bisa dipahami karena sudah sekitar 50-an tahun yang lalu. Setelah saya dengarkan baik-baik akhirnya saya mendapat kepastian bahwa lagu yang dimaksud adalah sorak sorak bergembira, bergembira semua. Kemudian saya menyanyikan lagu tersebut secara lengkap untuk beliau. Tampak beliaunya senang sekali. Saya beritahukan kemudian bahwa lagu tersebut adalah luapan kegembiraan bangsa kami, orang-tua kami sewaktu bangsa kami berhasil merebut kemerdekaan dari penjajahan belanda. Saya lihat matanya berbinar begitu saya berulang kali menyebut kata freedom. Bisa dimaklumi mengingat kemerdekaan adalah inti hidup si nenek mungil tadi.
---
Penyeberangan kami di Selat Sunda kemarin sore sesungguhnya nyaman-nyaman saja bagi saya. Namun situasi tersebut telah mengingatkan saya pada pengalaman hidup seseorang yang menurut ukuran saya terlampau keras dan berat. Kami kemarin pulang menyeberang Selat Sunda dengan sedikit kekecewaan pada hasil pencapaian kerja selama dua minggu meski kami telah cukup keras berupaya. Akan tetapi sesungguhnya hal itu tidak ada artinya samasekali bila dibanding dengan perjuangan yang telah dilakukan ibu tersebut dalam upaya meraih kemerdekaan, seperti pula tidak ada artinya samasekali bila dibandingkan dengan perjuangan orang-tua kita semua saat berjuang merebut kemerdekaan dari cengkeraman penjajahan. Sesulit apapun, hidup memang harus selalu tegar dan optimis. Selamat bekerja.





0 komentar:

Penggemar Blog IA-ITB :

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP