Kemungkinan DO bagi mahasiswa Geodesi , Agun, Putu, dan Zahril
>> Tuesday, February 24, 2009
From: Harry Kusna
Subject: [IA-ITB] Kemungkinan DO bagi mahasiswa Geodesi , Agun, Putu, dan Zahril.
To: "alumni itb"
Date: Sunday, 22 February, 2009, 12:11 AM
Agun, Putu, dan Zahril adalah 3 mahasiswa Geodesi ITB yang dianggap bertanggung- jawab atas meninggalnya Dwiyanto Wisnugroho (19) pada saat mengikuti kegiatan pelantikan anggota baru Ikatan Mahasiswa Geodesi(ITB) . Mereka terancam dicabut statusnya sebagai mahasiswa ITB secara permanen, atau dengan kata lain di DO dari ITB. Bagi mahasiswa, DO identik dengan hukuman mati, karena DO akan mengakhiri kesempatannya untuk hidup di “Negara ITB”
Selagi keputusan DO untuk ketiga mahasiswa tsb belum dijatuhkan, perkenankanlah saya, sebagai salah seorang orang tua yang pernah mempunyai anak yang bersekolah di ITB dengan segala suka-dukanya, memohon dan berharap agar keputusan DO yang mungkin akan dijatuhkan dapat ditinjau kembali.
Saya kira, bagaimanapun pihak ITB benar, bahwa ada kesalahan yang telah dilakukan oleh ketiga mahasiswa Geodesi tsb, dan untuk setiap kesalahan, setiap orang tahu bahwa ada hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka yang bertanggung- jawab atas kesalahan tersebut. Tetapi kalau kita kembali kepada pemikiran akan hakikat/tujuan sebuah hukuman, walaupun saya bukan seorang ahli hukum, tetapi saya berpikir bahwa hukuman itu hakikat/tujuannya ant. lain adalah: (ini asumsi saya saja ...)
- Untuk membuat seseorang jera dan tidak akan berbuat lagi,
- Untuk membuat orang lain takut untuk melakukan kesalahan yg sama,
- Untuk melegalitaskan balas dendam, ganti kerugian, dengan dasar keadilan
- dan juga mungkin ini yg terpenting bagi saya, untuk membina/membentuk kembali /mengembalikan memberi tahu orang yg salah tsb kepada jalan ygseharusnya.
- dst, tolong dikoreksi apabila saya salah, atau ditambahkan bila ada yang kurang
Berat ringannya hukuman bagi yg bersalah saya kira ada tahapannya. Yg terberat adalah hukuman mati, yg berdasarkan pemikiran diatas, hukuman mati hanya diberikan jika dan hanya jika:
- Orang yg bersalah tsb sudah betul2 tidak dapat diharapkan lagi kembalike jalan yang lurus, atau
- orang yg bersalah memang sudah betul2 sedemikian berbahaya bagi lingkungannya sehinggaperlu dimusnahkan, atau
- memang diperlukan hukuman sedemikian beratnya agar orang lain-pun takut untuk melakukan kesalahan yg sama.
Kalau kita memakai analogibahwa DO=hukuman mati ("di negara ITB"), maka apakah benar ada salah satu kondisi “jika” yang terpenuhi dalam kasus ketiga orang mahasiswa Geodesi tsb sehingga mereka perlu dimusnahkan dari ITB???
Kondisi pertama dan kedua rasanya tidak terpenuhikarena pasti perbuatan ini bukan perbuatan yang sudah berulang kali mereka lakukan, tetapi kondisi yg ketiga apakah memang terpenuhi, apalagi kalau hal itu memang benar dianggap suatu kecelakaandan bukan kesengajaan / kejahatan??
Jika ketiga orang mahasiswa tsb dikeluarkan dari ITB, ITB tidak hanya akan kehilangan satu orang mahasiswanya, Dwiyanto Wisnugroho, tetapi ITB akan kehilangan 4 orang, dan ini merupakan kerugian bagi Indonesia. Bagi keluarga yang mempunyai seorang anak yang sedang belajar di ITB, dan juga bagi mahasiswanya itu sendiri, ITB adalah segalanya bagi mereka. Tidak terbayangkan bagaimana hancurnya perasaan mereka jika kesempatan untuk belajar di ITB ini diputus.
Mungkin saya terlalumelebih- lebihkan ITB, tetapi pada intinya, saya hanya ingin memberikan gambaran tentang sebagian kerugian, dan penderitaan yg diakibatkan oleh sanksi tsb.
Dan apakah memang sanksinya harus seberat itu? Apakah tidak ada hukuman lain yg lebih baik, seperti misalnya katakanlah ada sesuatu cara (mungkin ini juga hukuman bagi mereka) yg membuat mereka2 yg bersalah menjadi lebihberkewajiban moril terhadap orang tuanya Dwi, untuk meringankan kesedihanorang tua Dwi tsb. Saya memahami bagaimana sedihnya orang tua Dwi, namun saya rasa mereka akan sependapat dengan saya bahwa dengan ketiga orang tsb dipecatpun, penderitaanmereka yg kehilangan Dwi tidak akan berkurang. Tetapi seandainyaditanamka n kepada ketiga orang tsb bahwa ada sebuah keluarga yg kehilangan anaknya karena kesalahan mereka, dan disadarkan kepada mereka apabila mungkin mereka berkewajiban mengambil alih tanggung jawab Dwi kelak atas keluarganya tersebut, maka hal ini saya kira akan lebih bermakna. Semoga.
Wassalam,
Harry Kusna - ITB75
0 komentar:
Post a Comment