Fenomena Ponari

>> Saturday, February 21, 2009

From: Bambang Setiawan
To: ia-itb
Sent: Saturday, February 21, 2009 12:52 AM
Subject: [IA-ITB] Fenomena Ponari



Bagi mereka yang mungkin kelewat, tidak membaca atau menyimak televisi akhir-akhir ini, berikut ini saya ringkas berita mengenai Ponari.

Ponari adalah seorang anak berumur 10 tahun, berdomisili di Jombang, Jawa Timur. Penduduk sekitarnya percaya bahwa Ponari mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Cara pengobatannya sederhana, sebuah batu direndam dalam air, lalu si pasien meminum air tersebut.

Ribuan orang sampai berdesak-desakan ingin berobat pada Ponari. Sudah tiga orang meninggal karena berdesak-desakan. Ponari pernah dilarang buka praktek, polisi berjaga-jaga disitu, tapi penduduk tetap datang. Ketika penduduk tahu bahwa Ponari tidak bisa menemuinya, mereka mengambil air yang mengalir keluar dari rumah Ponari. Mereka percaya bahwa air comberan itu pun bisa menyembuhkan. Bahkan lumpur di sekitar rumah Ponari pun, setelah dicampur dengan air, dipercaya bisa menyembuhkan.

Fenomena Ponari adalah potret masyarakat kita yang ingin serba instan. Keinginan untuk serba instan bukan hanya terjadi pada bidang kesehatan, tapi juga pada karir di tempat kerja, penguasaan materi pelajaran di sekolah, bisnis, atau jodoh. Padahal kesehatan kita hari ini adalah hasil dari gaya hidup (termasuk pola makan) kita selama 30 tahun terakhir. Kalau kita sekarang menderita diabetes sehingga harus menakar porsi nasi yang dikonsumsi, sebenarnya menakar konsumsi karbohidrat itu harus sudah dilakukan sejak sepuluh tahun yang lalu, tapi kita tergoda untuk tetap berfoya-foya.

Persoalan lain yang menimbulkan fenomena Ponari adalah karena pekerja kesehatan tidak bekerja dengan pendekatan ”pendampingan”

Pendekatan ”pendampingan” sudah pernah berhasil dalam kasus produksi padi pada masa Orde Baru. Petani kita didampingi oleh PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) yang menyampaikan the best practice dalam menanam padi. Dengan cara ini Indonesia bisa membalik situasi, dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi swasembada

Kalau negara kita ingin berhasil dalam meningkatkan kesehatan, maka pendekatan ”pendampingan” sebaiknya diterapkan. Dari dulu saya suka ingin bertanya pada dokter, kalau saya sakit, apa yang salah dalam cara hidup saya sampai saya sakit begini. Tapi selalu mentok pada waku yang dijatah pada saya. Dengan bahasa tubuhnya dokter bilang bahwa jatah waktu saya sudah habis, di luar belasan pasien masih menunggu.. Memang tidak semua dokter begitu, dokter langganan ibu saya akan melayani pertanyaan ibu saya sampai dia puas.

Dulu pernah ada konsep tentang dokter keluarga. Satu dokter mendampingi beberapa keluarga. Tapi entah kenapa, sepertinya konsep ini tidak pernah terdengar lagi.

Anda pasti bukan orang yang ada dalam strata ekonomi yang sama dengan pasiennya Ponari, jadi pasti tidak punya masalah dengan biaya kesehatan. Penghasilan yang besar ditambah dengan berbagai asuransi kesehatan yang anda ikuti akan membuat anda bisa jauh lebih rasional ketimbang pasiennya Ponari. Tapi mungkin saja anda punya kebiasaan ”ingin serba instan’. Kalau anda punya kebiasaan itu, ingatlah satu hal yang kita pelajari sejak SMA: preventif itu lebih baik ketimbang kuratif. Walaupun teknologi kedokteran sudah semakin canggih, tetap saja operasi cangkok ginjal, operasi bypass pembuluh darah, dan berbagai operasi sejenis, kans selamatnya tidak 100%. Mau mencoba ....?

Bermigrasi ke pendekatan ”pendampingan” tidak mudah. Perlu jumlah tenaga kesehatan yang lebih banyak, dan mempunyai karakter yang cocok untuk proses ”pendampingan”.


Bambang Setiawan (TI74)


Yayasan JARIBU
Membangun Indonesia Yang Lebih Baik
Sehat - Cerdas - Mandiri
www.jaribu.or.id

0 komentar:

Penggemar Blog IA-ITB :

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP