Mbah Surip dan Teknologi Internal Bangsa Indonesia
>> Saturday, August 8, 2009
http://www.facebook.com/note.php?note_id=109800613714&comments=
"Sekali berarti, sesudah itu mati...". Petikan puisi Chairil Anwar ini sepertinya sesuai untuk menggambarkan fenomena mbah Surip di Indonesia. Bagi saya, kepergian mbah Surip masih meninggalkan sebuah tanya: mengapa lagu-lagunya bisa sangat disukai banyak orang di negeri ini? Adakah pemahaman yang lebih besar untuk menjawabnya?Apakah karena lagu "Tak Gendong" mudah diingat orang, sehingga banyak orang yang suka? Mungkin salah satunya.
Tetapi sepertinya lebih dari itu. Ada yang lebih dalam daripada sekadar kebanyakan produk-produk budaya Pop yang asal mudah diingat orang dan laku dijual, dan acapkali mengesampingkan kedalaman makna dalam sebuah karya.Selain karena lagunya, mungkin orang juga tertarik pada sosok mbah Surip sendiri. Dari guratan-guratan wajahnya, tawanya yang sangat lepas, spontanitas yang tidak dibuat-buat, sepertinya sosok mbah Surip mewakili jiwa orang-orang yang menggemari lagu-lagunya itu.
Selain mbah Surip, ada sosok yang mirip yang muncul dalam media kita, yaitu Master Tarno. Dia adalah seorang pesulap tradisional yang mengikuti kontes pesulap dalam sebuah stasiun televisi, dan langsung mendapatkan gelar "master" dalam penampilan perdananya. Padahal gelar itu seharusnya hanya akan diberikan kepada sang juara saja. Mengapa Master Tarno layak menyandang gelar tersebut, salah seorang komentator kontes tersebut menyebutkan karena pria ini mempunyai ketulusan yang penuh, ketulusan dalam menjalani profesinya.
Ketulusan, aura seperti inilah yang juga terlihat pada sosok mbah Surip. Kepolosannya, dan sikap apa adanya, membuatnya menjadi sosok yang terlihat luwes di mana saja. Bisa bergaul dengan kalangan jetset, tetapi tetap dekat dengan kawan-kawan akarrumput-nya. Lagunya gampang, tetapi tidak gampangan. Syairnya bisa dikaji secara mendalam, tetapi nggak apa-apa kalau cuma dibuat sebagai guyonan semata. Seandainya dia disuruh naik Ferrari pasti mau, disuruh naik sepeda onthel pun dijalani. Sebagian orang menyebut mbah Surip adalah sosok orang Indonesia itu sendiri.
Ya, mbah surip adalah sosok orang Indonesia itu sendiri. Bagi saya, inilah jawaban atas pertanyaan mengapa banyak orang menyukai lagu mbah Surip. Sosok yang mempunyai sikap apa adanya, sebuah sikap yang diam-diam diidamkan dalam hati orang-orang Indonesia. Dan sosok mbah Surip telah menjadi sebuah representasi, sebuah perjalanan kultural bangsa Indonesia untuk menjadi "apa adanya".Emha Ainun Najib menyebutnya sebagai "teknologi informal".
Teknologi dipahami sebagai sekumpulan cara untuk menyelesaiakan suatu masalah. Sebagian orang mengembangkan "teknologi eksternal" dengan "mengolah dunia di luar" dirinya. Maka dibangunlah gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan serangkaian alat untuk memudahkan hidup manusia.
Tetapi budaya manusia atau masyarakat yang menghuni nusantara ini lebih banyak mengembangkan "teknologi internal": cara menyelesaikan masalah dengan "mengolah dunia dalam dirinya". Makan enak tidak dilihat dari jenis atau mahalnya, tetapi lebih pada cara memperlakukan makanan tersebut. Penderitaan berkepanjangan cukup dijawab dengan "Gusti Allah mboten sare (Gusti Allah tidak tidur)". Jalan yang tidak rata tidak diatasi dengan menggelar karpet di mana-mana, tetapi cukup dengan memakai sandal di kaki masing-masing.
Selamat jalan mbah Surip. Meski sekali berarti dan sesudah itu mati, tetapi dirimu telah menjadi penanda. Penanda sebuah perjalanan nirkasat mata yang sedang dikembangkan bangsa ini dalam kehidupan dunia.
Agus S. Ekomadyo (AR '91)
0 komentar:
Post a Comment