The Experience: ITB untuk Semua
>> Monday, June 1, 2009
Sent: Tuesday, June 02, 2009 10:59 AM
Subject: The Experience: ITB untuk Semua
--------------------------
---------------
Ditulis oleh Sri Pujiyanti
ITB untuk Semua: The Experience
Ketika Lemet mengajak saya untuk terlibat di program beasiswa ini, saya tidak menyangka bahwa akan semenguras emosi seperti ini. Saya pikir, ini akan jadi sebuah pengalaman yang biasa-biasa saja.
Akan tetapi, ternyata pengalaman yang saya rasakan berbeda. Saya ikut terlibat, berkali-kali menangis dan tertawa ketika anak-anak itu menangis dan tertawa. Padahal saya tidak kenal mereka.
Dimulai ketika proses seleksi dan saya harus membaca aplikasi sekitar 100-an buat dinilai. Reaksi saya beragam terhadap aplikasi yang saya baca. Kadang saya marah, karena saya merasa si anak tidak melakukan apa-apa kecuali mengeksploitasi kemiskinannya (please..ini bukan ajang reality show..), kadang saya ikut menangis dan ikut marah. Kesedihan dan kemarahan terhadap sistem yang seringkali terbaca di aplikasi itu. Anak-anak perkasa yang membuat saya malu karena saya-dibandingkan mereka-terasa begitu lemah. Kemalangan yang sering saya rasakan terasa tidak sebanding dengan mereka. Rata-rata memuja ITB. Ketika kemarin saya bilang, pada seorang anak peserta beasiswa yang ke Bandung, bahwa ITB tidak seharusnya semahal ini, dia menatap saya, dan berkata, wajar, dengan kualitas seperti ITB...dan saya balik menatap dia dengan sedih, tidakkah ketika perguruan tinggi yang harusnya memberikan tempat buat semua orang yang memiliki kapasitas kini diembel-embeli juga kemampuan secara finansial sudah merenggut harapan akan perubahan masa depannya? Si anak itu tidak menyadarinya, bahwa negara sudah bersikap tidak adil padanya...
Naik turunnya emosi saya kemudian benar-benar terjadi ketika proses pengumpulan 200 siswa SMA terpilih untuk mengikuti proses seleksi USM di Bandung. Saya bertugas menghubungi 12 anak untuk memastikan perjalanan mereka lancar sampai Bandung. Rata-rata mereka antusias. Ada yang cemas karena tidak mau naik pesawat. Ada yang saya sampai harus membujuk ayahnya supaya melepaskan anak perempuannya sendiri pergi ke Bandung dari Belitung yang jauh, dan beliau menelpon saya setiap menit setelah anaknya berangkat, ingin tahu kabarnya. Ada yang cerewet dan tidak berhenti bertanya. Ada yang tidak ditemukan. Satu anak. Adi Wijaya. Di sebuah daerah antah berantah di Lampung Selatan. Tidak ada telpon, tidak ada internet. Saya bingung. Kesempatan ini tidak boleh dibuang. Untungnya, pada saat-saat yang mepet, Febi (alumni Gea 94) menghubungi Rezi dan Mbak Nunik, pasangan suami istri alumni Fisika 93, dan pada malam keberangkatan ke Bandung, berangkatlah mereka dari Bandar Lampung ke Lampung Selatan mencari Adi Wijaya. Satu kampung diubek-ubek. Alamatnya tidak jelas. Akhirnya, Mbak Nunik 'menyeret' sang kepala desa' mencari, dan pukul lima sore, mereka berhasil menemukan Adi WIjaya yang kebingungan. Tes USM? Ke Bandung? Saya bilang, tiket bis ke Bandung di Bandar Lampung sudah menanti. 4 temannya yang lain sudah menunggu. Adi, dengan perbekalan seadanya dan persyaratan yang belum lengkappun, dikirim Mbak Nunik pukul setengah delapan naik bis ke Bandung. Wow, ketika dikabari Mbak Nunik bahwa mereka berhasil menemukan Adi, saya kagum dan merasa, wow..kalau alumni ITB ini bersatu, apa yang tidak bisa mereka lakukan ya?
Ketika mereka mendaftarkan diri, mulailah masalah itu dimulai. ITB sebenarnya sudah menyediakan waktu khusus untuk mereka sehingga tidak harus berdesakan dengan 2000-an peserta lain yang membayar 800 ribu, akan tetapi miskomunikasi yang terjadi membuat semua orang pontang panting. Tiba-tiba syarat tes buta warna yang sebelumnya tidak mengemuka muncul. Sempat muncul kepanikan gimana caranya 200 anak harus tes buta warna dalam waktu dua jam? Akhirnye beberapa relawan menggiring anak-anak itu ke poli ITB. Karena hari itu hari Jumat, dan jam 11 tutup, kemudian sebagian digiring ke Boromeus. Anak-anak itu jalan kesana kemari, kelelahan. Tiba-tiba ada kabar bahwa loket akan tutup pukul 11 dan anak-anak yang belum mendaftar sampai pukul 11 tidak akan diperbolehkan ikut tes keesokan harinya. Kami semua tercengang. Langsung beberapa orang mengangkat telpon mencoba mengulur waktu. Pak DL pun langsung muncul, mencoba membantu melonggarkan peraturan. Akhirnya, waktu diperpanjang, tapi tes harus beres. Jadilah kami semua berjalan rektorat-poli Salman-Boromeus tidak berhenti.
Belum selesai. Muncul isu bahwa kartu UN tidak bisa dipakai. Harus surat keterangan mengikuti UN dari sekolah. Paniklah anak-anak yang tidak mempunyai surat itu. Adi, yang datang ke Bandung cuma berbekal surat keterangan domisili dan kartu UN, hampir menangis di loket. 'Mbak, saya ga boleh daftar,' dia berbisik pada saya dengan wajah bingung. Bapak petugas kemudian menjelaskan peraturannya. Saya mengangguk, kemudian bercerita tentang kisah Adi. Si Bapak lalu sepakat, ok, tapi difax ya surat yang belum lengkap? Adi menggeleng, 'Tidak bisa, Pak.' Si Bapak bertanya.'Masa fax aja ga ada?' Si Adi dengan tercekat berkata,'Disana bukan Bandung, Pak...'. Saya menendang kakinya. Sanggupi saja. Nanti kita urus. Adi kemudian mengangguk. 'Iya Pak, nanti saya coba'. Ketika dia kemudian saya tawari makan, dia sudah ceria lagi.
Perlahan-lahan urusan mulai beres. Anak-anak yang kelelahan mulai makan, tapi masih semangat. Ketika setelah makan Adi kembali lagi ke loket, tidak berapa lama kemudian dia kembali lagi ke saya dengan wajah kembali sedih.'Katanya ga boleh, mbak.' 'Lho, tadi?" "iya, sekarang katanya ga boleh.'
Saya mulai naik darah.'Kenapa ga boleh?' 'Karena katanya sudah dikasih tau sebelumnya bahwa harus ada akta kelahiran. Kalau sekarang ga ada akta, ga boleh.' 'Tapi kan kamu TIDAK TAHU SEBELUMNYA. Surat dari ITB tidak sampai. Dan kamu cuma punya waktu dua jam buat mempersiapkan diri.' Tiba-tiba saya ingin menangis. Menatap wajah anak itu, yang bingung, sedih, marah, saya merasa jadi dirinya, yang hidupnya, nasibnya, dipermainkan sebuah sistem. Apa tidak ada kebijakan? Tiba-tiba ingat kata-kata kakak ipar saya yang anak psikologi.'Anak eksakta kan begitu. Kaku. Kadang esensinya ga jelas.' Dan saya seperti menemukan kebenaran kata-kata itu pada saat itu.'Gimana dong, Mbak?' 'Balik lagi ke sana.' 'Ga boleh, mbak.' Lalu saya bertanya pada panitia lain,'Kok ITB ketat sekali sekarang? Dulu saya ga disuruh menyerahkan akta asli' Seseorang menjawab.'Joki.' Saya menyembur dengan kesal.'Lihat dong wajahnya. Apa dia bertampang bisa bayar 5 juta buat joki? Dia bukan MEREKA. Anak-anak yang entah dirinya entah orang tuanya, ingin masuk ITB dengan segala cara. Saya kemudian meminta seorang teman, yang setau saya pandai membujuk (:D) untuk menemani Adi. Saya marah. ingin nangis. saya harus pergi dari sini. ketika endah menelpon saya dan bilang salah satu anak asuhannya rusak kacamatanya, saya kemudian memilih menemani anak itu mencari optik.
Ketika jam 5 saya kembali ke lapangan aula barat, adi masih belum terlihat. juga charly, teman saya itu. saya gundah. saya tanya seorang teman,'gimana adi?' 'belum, masih dilobi.' saya tambah tidak enak badan. seorang teman berusaha menghibur dan bilang.'itu yang paling baik buat adi.' saya menggeleng.'dia mungkin akan sukses tanpa ITB.' saya menggeleng lagi.kenapa harus begitu sulit untuk anak-anak seperti dia? hidup sudah cukup sulit buat mereka. apalagi yang harus mereka buktikan pada Tuhan sehingga Tuhan memberi mereka ujian lagi? saya akhirnya memutuskan pulang. mampir dulu ke penginapan anak-anak itu, memastikan konsumsi makan malam beres. lalu pulang. di jalan saya meledak. menangis sepanjang jalan. suami saya menelpon. dan dengan diiringi isak tangis sayapun bercerita. saya marah, seperti inikah seharusnya ini berakhir? seperti inikah potret manusia kebanyakan di negeri ini? akta kelahiran yang dua ratus ribu pasti sulit untuk sebagian orang. seperti inikah keadilan di negeri ini?
saya tahu kalau saya sudah terlibat emosi terlalu dalam, sayapun berusaha mengambil jarak. bermain dengan anak-anak saya. walaupun saya tahu, saya masih berpikir tentang anak satu itu. ketika lemet mengsms bahwa semua peserta telah beres pendaftarannya, saya cuma mengsms balik dengan satu kata.'adi?'
alangkah leganya ketika lemet menjawab.'adi aman'. saya mulai tersenyum. duhh...padahal dia bukan anak saya. saya tidak kenal dia. kenapa saya harus ikut tersenyum dan menangis bersama dia?
ketika pagi harinya saya harus ke kampus mengantarkan satu anak yang tidak berseragam-mencari dulu seragamnya-daerah seputar itb sudah penuh sesak. mobil-mobil bersesakan. dan entah kenapa saya marah. sebal melihat mereka yang dengan seenaknya menaruh mobil dimana saja, bahkan di tempat yang ada larangan parkir, hanya karena mereka punya mobil, mereka butuh parkir, dan anak mereka mau ujian (saya lupa, saya juga bawa mobil...:D tapi saya rasanya tidak pernah seenaknya). saya marah melihat anak-anak yang dikawal kedua orangtua dan adik-adiknya menjinjing tas mahal dan mungkin keluaran bimbel paling canggih melangkah masuk kelas (saya tahu, saya mulai jadi rasis...padahal mungkin suatu saat saya akan bersikap seperti itu pada anak saya). saya sedih melihat anak-anak saya, 200 anak itu, harus jalan dari rektorat ke itb karena jalan macet dan bis tidak bisa lewat. wajah mereka lelah. mereka tidak mampu ikut bimbel yang harganya selangit. sepatu mereka pinjaman sehingga longgar dan melecetkan kakinya. saya tidak suka bahwa ITB tidak mempedulikan kenyataan bahwa pengguna jalan lain terganggu dengan kemacetan itu. Saya terjebak macet 2 jam dari gelapnyawang ke rektorat yang kalau ditempuh dengan jalan kaki hanya 5 menit. Apakah itu sebuah tolok ukur yang harus dibanggakan? Berapa panjang kemacetan karena ujian ITB? Bisa dibandingkan dengan berapa kilometer antrian orang ingin membeli sepatu crocs? Apakah ITB sudah direduksi sedemikian rupa sehingga hanya menjadi barang konsumsi? Seperti sebuah sepatu? Siapa yang punya uang dia yang dapat?
Ketika sore sebelumnya fani tiba-tiba jadi danlap dan menyerukan salam ganesha yang legendaris itu-anak-anak itu bersemangat mengikutinya-saya tiba-tiba merasa berada di tanah asing. saya merasakan campur aduk. ah...pengalaman yang memperkaya. mudah-mudahan anak-anak perkasa itu mendapatkan jalan yang paling baik. dan saya, yang disentuh oleh mereka, mau berbuat sesuatu.
-untuk 200 adik-adikku yang hari ini mengikuti ujian, saya mendoakanmu dengan tulus. jadi orang yang baik ya. itu yang paling penting. suatu saat, kamu bisa membantu 200 orang yang lain. dan buat para relawan yang bekerja tanpa dibayar, tidak dikasi makan, dan tetap semangat 24 jam, two thumbs up!!!!-
yang juga harus dicatat disini adalah kegigihan para relawan yang tidak ada duanya. ada yang sampai nyari sendiri ke rumah si anak...febi yang menggunakan jaringannya (maksudnya, teman dan adiknya) buat mencari anak-anak yang belum ditemukan, ben yang sampe googling the earth dan menelponin tiap rumah di satu kompleks untuk sampai ke anak yang dimaksud, mbak nunik dan rezi yang bela-belain banget. ada yang bayarin peserta dari kantong sendiri...sungguh memberikan harapan ketika orang-orang mengeluh pada saya bahwa mereka tidak punya cukup waktu untuk membantu lebih banyak (atau marah karena mereka tidak bisa membantu!). dan kepeduliannya itu. febi yang selalu nanya, si adi gimana? (padahal bukan anaknya...). Mbak Nunik yang berkali-kali menelpon setelah mengirim Adi memastikan anak itu baik-baik saja, dan kemudian membantu membuatkan surat kelahiran yang baru. with angels like you (yah, kalian semua volunteer yang tidak saling kenal tapi teuteup cengengesan)...the world seems a better place...
Ditulis oleh Sri Pujiyanti
ITB untuk Semua: The Experience
Ketika Lemet mengajak saya untuk terlibat di program beasiswa ini, saya tidak menyangka bahwa akan semenguras emosi seperti ini. Saya pikir, ini akan jadi sebuah pengalaman yang biasa-biasa saja.
Akan tetapi, ternyata pengalaman yang saya rasakan berbeda. Saya ikut terlibat, berkali-kali menangis dan tertawa ketika anak-anak itu menangis dan tertawa. Padahal saya tidak kenal mereka.
Dimulai ketika proses seleksi dan saya harus membaca aplikasi sekitar 100-an buat dinilai. Reaksi saya beragam terhadap aplikasi yang saya baca. Kadang saya marah, karena saya merasa si anak tidak melakukan apa-apa kecuali mengeksploitasi kemiskinannya (please..ini bukan ajang reality show..), kadang saya ikut menangis dan ikut marah. Kesedihan dan kemarahan terhadap sistem yang seringkali terbaca di aplikasi itu. Anak-anak perkasa yang membuat saya malu karena saya-dibandingkan mereka-terasa begitu lemah. Kemalangan yang sering saya rasakan terasa tidak sebanding dengan mereka. Rata-rata memuja ITB. Ketika kemarin saya bilang, pada seorang anak peserta beasiswa yang ke Bandung, bahwa ITB tidak seharusnya semahal ini, dia menatap saya, dan berkata, wajar, dengan kualitas seperti ITB...dan saya balik menatap dia dengan sedih, tidakkah ketika perguruan tinggi yang harusnya memberikan tempat buat semua orang yang memiliki kapasitas kini diembel-embeli juga kemampuan secara finansial sudah merenggut harapan akan perubahan masa depannya? Si anak itu tidak menyadarinya, bahwa negara sudah bersikap tidak adil padanya...
Naik turunnya emosi saya kemudian benar-benar terjadi ketika proses pengumpulan 200 siswa SMA terpilih untuk mengikuti proses seleksi USM di Bandung. Saya bertugas menghubungi 12 anak untuk memastikan perjalanan mereka lancar sampai Bandung. Rata-rata mereka antusias. Ada yang cemas karena tidak mau naik pesawat. Ada yang saya sampai harus membujuk ayahnya supaya melepaskan anak perempuannya sendiri pergi ke Bandung dari Belitung yang jauh, dan beliau menelpon saya setiap menit setelah anaknya berangkat, ingin tahu kabarnya. Ada yang cerewet dan tidak berhenti bertanya. Ada yang tidak ditemukan. Satu anak. Adi Wijaya. Di sebuah daerah antah berantah di Lampung Selatan. Tidak ada telpon, tidak ada internet. Saya bingung. Kesempatan ini tidak boleh dibuang. Untungnya, pada saat-saat yang mepet, Febi (alumni Gea 94) menghubungi Rezi dan Mbak Nunik, pasangan suami istri alumni Fisika 93, dan pada malam keberangkatan ke Bandung, berangkatlah mereka dari Bandar Lampung ke Lampung Selatan mencari Adi Wijaya. Satu kampung diubek-ubek. Alamatnya tidak jelas. Akhirnya, Mbak Nunik 'menyeret' sang kepala desa' mencari, dan pukul lima sore, mereka berhasil menemukan Adi WIjaya yang kebingungan. Tes USM? Ke Bandung? Saya bilang, tiket bis ke Bandung di Bandar Lampung sudah menanti. 4 temannya yang lain sudah menunggu. Adi, dengan perbekalan seadanya dan persyaratan yang belum lengkappun, dikirim Mbak Nunik pukul setengah delapan naik bis ke Bandung. Wow, ketika dikabari Mbak Nunik bahwa mereka berhasil menemukan Adi, saya kagum dan merasa, wow..kalau alumni ITB ini bersatu, apa yang tidak bisa mereka lakukan ya?
Ketika mereka mendaftarkan diri, mulailah masalah itu dimulai. ITB sebenarnya sudah menyediakan waktu khusus untuk mereka sehingga tidak harus berdesakan dengan 2000-an peserta lain yang membayar 800 ribu, akan tetapi miskomunikasi yang terjadi membuat semua orang pontang panting. Tiba-tiba syarat tes buta warna yang sebelumnya tidak mengemuka muncul. Sempat muncul kepanikan gimana caranya 200 anak harus tes buta warna dalam waktu dua jam? Akhirnye beberapa relawan menggiring anak-anak itu ke poli ITB. Karena hari itu hari Jumat, dan jam 11 tutup, kemudian sebagian digiring ke Boromeus. Anak-anak itu jalan kesana kemari, kelelahan. Tiba-tiba ada kabar bahwa loket akan tutup pukul 11 dan anak-anak yang belum mendaftar sampai pukul 11 tidak akan diperbolehkan ikut tes keesokan harinya. Kami semua tercengang. Langsung beberapa orang mengangkat telpon mencoba mengulur waktu. Pak DL pun langsung muncul, mencoba membantu melonggarkan peraturan. Akhirnya, waktu diperpanjang, tapi tes harus beres. Jadilah kami semua berjalan rektorat-poli Salman-Boromeus tidak berhenti.
Belum selesai. Muncul isu bahwa kartu UN tidak bisa dipakai. Harus surat keterangan mengikuti UN dari sekolah. Paniklah anak-anak yang tidak mempunyai surat itu. Adi, yang datang ke Bandung cuma berbekal surat keterangan domisili dan kartu UN, hampir menangis di loket. 'Mbak, saya ga boleh daftar,' dia berbisik pada saya dengan wajah bingung. Bapak petugas kemudian menjelaskan peraturannya. Saya mengangguk, kemudian bercerita tentang kisah Adi. Si Bapak lalu sepakat, ok, tapi difax ya surat yang belum lengkap? Adi menggeleng, 'Tidak bisa, Pak.' Si Bapak bertanya.'Masa fax aja ga ada?' Si Adi dengan tercekat berkata,'Disana bukan Bandung, Pak...'. Saya menendang kakinya. Sanggupi saja. Nanti kita urus. Adi kemudian mengangguk. 'Iya Pak, nanti saya coba'. Ketika dia kemudian saya tawari makan, dia sudah ceria lagi.
Perlahan-lahan urusan mulai beres. Anak-anak yang kelelahan mulai makan, tapi masih semangat. Ketika setelah makan Adi kembali lagi ke loket, tidak berapa lama kemudian dia kembali lagi ke saya dengan wajah kembali sedih.'Katanya ga boleh, mbak.' 'Lho, tadi?" "iya, sekarang katanya ga boleh.'
Saya mulai naik darah.'Kenapa ga boleh?' 'Karena katanya sudah dikasih tau sebelumnya bahwa harus ada akta kelahiran. Kalau sekarang ga ada akta, ga boleh.' 'Tapi kan kamu TIDAK TAHU SEBELUMNYA. Surat dari ITB tidak sampai. Dan kamu cuma punya waktu dua jam buat mempersiapkan diri.' Tiba-tiba saya ingin menangis. Menatap wajah anak itu, yang bingung, sedih, marah, saya merasa jadi dirinya, yang hidupnya, nasibnya, dipermainkan sebuah sistem. Apa tidak ada kebijakan? Tiba-tiba ingat kata-kata kakak ipar saya yang anak psikologi.'Anak eksakta kan begitu. Kaku. Kadang esensinya ga jelas.' Dan saya seperti menemukan kebenaran kata-kata itu pada saat itu.'Gimana dong, Mbak?' 'Balik lagi ke sana.' 'Ga boleh, mbak.' Lalu saya bertanya pada panitia lain,'Kok ITB ketat sekali sekarang? Dulu saya ga disuruh menyerahkan akta asli' Seseorang menjawab.'Joki.' Saya menyembur dengan kesal.'Lihat dong wajahnya. Apa dia bertampang bisa bayar 5 juta buat joki? Dia bukan MEREKA. Anak-anak yang entah dirinya entah orang tuanya, ingin masuk ITB dengan segala cara. Saya kemudian meminta seorang teman, yang setau saya pandai membujuk (:D) untuk menemani Adi. Saya marah. ingin nangis. saya harus pergi dari sini. ketika endah menelpon saya dan bilang salah satu anak asuhannya rusak kacamatanya, saya kemudian memilih menemani anak itu mencari optik.
Ketika jam 5 saya kembali ke lapangan aula barat, adi masih belum terlihat. juga charly, teman saya itu. saya gundah. saya tanya seorang teman,'gimana adi?' 'belum, masih dilobi.' saya tambah tidak enak badan. seorang teman berusaha menghibur dan bilang.'itu yang paling baik buat adi.' saya menggeleng.'dia mungkin akan sukses tanpa ITB.' saya menggeleng lagi.kenapa harus begitu sulit untuk anak-anak seperti dia? hidup sudah cukup sulit buat mereka. apalagi yang harus mereka buktikan pada Tuhan sehingga Tuhan memberi mereka ujian lagi? saya akhirnya memutuskan pulang. mampir dulu ke penginapan anak-anak itu, memastikan konsumsi makan malam beres. lalu pulang. di jalan saya meledak. menangis sepanjang jalan. suami saya menelpon. dan dengan diiringi isak tangis sayapun bercerita. saya marah, seperti inikah seharusnya ini berakhir? seperti inikah potret manusia kebanyakan di negeri ini? akta kelahiran yang dua ratus ribu pasti sulit untuk sebagian orang. seperti inikah keadilan di negeri ini?
saya tahu kalau saya sudah terlibat emosi terlalu dalam, sayapun berusaha mengambil jarak. bermain dengan anak-anak saya. walaupun saya tahu, saya masih berpikir tentang anak satu itu. ketika lemet mengsms bahwa semua peserta telah beres pendaftarannya, saya cuma mengsms balik dengan satu kata.'adi?'
alangkah leganya ketika lemet menjawab.'adi aman'. saya mulai tersenyum. duhh...padahal dia bukan anak saya. saya tidak kenal dia. kenapa saya harus ikut tersenyum dan menangis bersama dia?
ketika pagi harinya saya harus ke kampus mengantarkan satu anak yang tidak berseragam-mencari dulu seragamnya-daerah seputar itb sudah penuh sesak. mobil-mobil bersesakan. dan entah kenapa saya marah. sebal melihat mereka yang dengan seenaknya menaruh mobil dimana saja, bahkan di tempat yang ada larangan parkir, hanya karena mereka punya mobil, mereka butuh parkir, dan anak mereka mau ujian (saya lupa, saya juga bawa mobil...:D tapi saya rasanya tidak pernah seenaknya). saya marah melihat anak-anak yang dikawal kedua orangtua dan adik-adiknya menjinjing tas mahal dan mungkin keluaran bimbel paling canggih melangkah masuk kelas (saya tahu, saya mulai jadi rasis...padahal mungkin suatu saat saya akan bersikap seperti itu pada anak saya). saya sedih melihat anak-anak saya, 200 anak itu, harus jalan dari rektorat ke itb karena jalan macet dan bis tidak bisa lewat. wajah mereka lelah. mereka tidak mampu ikut bimbel yang harganya selangit. sepatu mereka pinjaman sehingga longgar dan melecetkan kakinya. saya tidak suka bahwa ITB tidak mempedulikan kenyataan bahwa pengguna jalan lain terganggu dengan kemacetan itu. Saya terjebak macet 2 jam dari gelapnyawang ke rektorat yang kalau ditempuh dengan jalan kaki hanya 5 menit. Apakah itu sebuah tolok ukur yang harus dibanggakan? Berapa panjang kemacetan karena ujian ITB? Bisa dibandingkan dengan berapa kilometer antrian orang ingin membeli sepatu crocs? Apakah ITB sudah direduksi sedemikian rupa sehingga hanya menjadi barang konsumsi? Seperti sebuah sepatu? Siapa yang punya uang dia yang dapat?
Ketika sore sebelumnya fani tiba-tiba jadi danlap dan menyerukan salam ganesha yang legendaris itu-anak-anak itu bersemangat mengikutinya-saya tiba-tiba merasa berada di tanah asing. saya merasakan campur aduk. ah...pengalaman yang memperkaya. mudah-mudahan anak-anak perkasa itu mendapatkan jalan yang paling baik. dan saya, yang disentuh oleh mereka, mau berbuat sesuatu.
-untuk 200 adik-adikku yang hari ini mengikuti ujian, saya mendoakanmu dengan tulus. jadi orang yang baik ya. itu yang paling penting. suatu saat, kamu bisa membantu 200 orang yang lain. dan buat para relawan yang bekerja tanpa dibayar, tidak dikasi makan, dan tetap semangat 24 jam, two thumbs up!!!!-
yang juga harus dicatat disini adalah kegigihan para relawan yang tidak ada duanya. ada yang sampai nyari sendiri ke rumah si anak...febi yang menggunakan jaringannya (maksudnya, teman dan adiknya) buat mencari anak-anak yang belum ditemukan, ben yang sampe googling the earth dan menelponin tiap rumah di satu kompleks untuk sampai ke anak yang dimaksud, mbak nunik dan rezi yang bela-belain banget. ada yang bayarin peserta dari kantong sendiri...sungguh memberikan harapan ketika orang-orang mengeluh pada saya bahwa mereka tidak punya cukup waktu untuk membantu lebih banyak (atau marah karena mereka tidak bisa membantu!). dan kepeduliannya itu. febi yang selalu nanya, si adi gimana? (padahal bukan anaknya...). Mbak Nunik yang berkali-kali menelpon setelah mengirim Adi memastikan anak itu baik-baik saja, dan kemudian membantu membuatkan surat kelahiran yang baru. with angels like you (yah, kalian semua volunteer yang tidak saling kenal tapi teuteup cengengesan)...the world seems a better place...
0 komentar:
Post a Comment