Bagaimana SBY Mengendus Para Calon Menteri?
>> Sunday, July 26, 2009
Oleh Cardiyan HIS
Jangan menganggapnya terlalu serius. Tetapi ini adalah ceritera nyata bukan rekayasa, yang didapatkan penulis langsung dari 2 mantan menteri dan 8 masih menteri aktiv terutama asal alumni ITB, UI dan UGM. Semoga bermanfaat bagi mereka yang merasa akan menduduki sebuah jabatan prestisius. Sehingga harus menunggu terlalu lama tanggal 20 Oktober 2009 itu, saat SBY melantik para menteri anggota Kabinet SBY Jilid 2.
Tak berambisi menjadi Menteri Kesehatan RI bahkan bermimpi sekali pun. Sungguh! Maklum, saya hanyalah seorang dokter spesialis penyakit jantung. Jadi ketika pagi-pagi saya pergi ke Rumah Sakit Jantung “Harapan Kita” di Jakarta Barat, ya seperti melaksanakan tugas rutin saja. Apalagi saya tak termasuk orang yang dipanggil SBY ke Cikeas. Saya hanya pernah ditelepon oleh seorang Guru Bangsa yang mengisyaratkan harus menyatakan siap kalau ditelepon dari Cikeas. Saya tak menanggapinya terlalu serius karena dalam media cetak dan media elektronik malah yang sangat santer dan sering terekam kamera televisi adalah nama seorang dokter aktivis HIV/AIDS. “Saya terpilih menjadi Menkes ya pada saat-saat terakhir ketika menteri-menteri lain sudah pada tersenyum-senyum masuk kabinet SBY”, ungkap Dr. Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI, lulusan S-1 Fakultas Kedokteran UGM dan S-2 dan S-3 di Fakultas Kedokteran UI kepada penulis di rumah dinasnya jalan Denpasar Raya nomor 14.
Karena tak punya pengalaman memasuki partai politik, Jero Wacik kontak teman lamanya ketika bekerja di PT. United Tractors yang sudah menjadi Sekjen Partai Demokrat (PD). Hari itu juga saya dibikinkan kartu anggota PD. Kalau pun ada sisi “prestasi berpolitik”, dalam kehidupan Jero Wacik, ia memang mantan aktivis kampus ITB, di Bandung, awal tahun 1970-an, yang juga menonjol prestasi akademisnya. Sehingga ia mendapat anugerah “Tokoh Mahasiswa ITB” dari Dewan Mahasiswa ITB 1973. Maka setelah kartu anggota PD di tangan, Wacik langsung kerja keras dan menjadikan daerah asalnya Bali sebagai basis kampanye untuk pemenangan PD yang mengusung SBY-JK sebagai Capres-Cawapres. Setelah sukses menjadikan PD nomor 2 di Bali, eh urusan belum selesai. Pertengkaran di elite PD demikian kerasnya. Sehingga pada suatu Rapat Nasional PD sampai saya harus nangis kencang sekali, yang akhirnya malah mendamaikan semua elite untuk kompak membangun PD yang baru seumur jagung. Rupanya nangisnya Jero Wacik dan akhirnya juga banyak anggota PD sampai juga ke telinga SBY. Maka suatu ketika SBY memanggil Wacik ke Cikeas, SBY hanya sekejap saja baca proposal “Program Seratus Hari Menjadi Menteri”. “Sampai-sampai saya terkaget-kaget sendiri ketika SBY mengingatkan, ya sudah cukup pak Wacik, siapkan saja program seratus harinya termasuk menghidupkan Festival Film Indonesia 2004 itu”, ungkap Ir. Jero Wacik, SE, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, anak Mesin ITB 1970 dan juga Fakultas Ekonomi UI, kepada penulis di kantornya jalan Medan Merdeka Barat nomor 17 ini.
Yusman SD, anak Mesin ITB 1973 adalah anak Fortuga ITB (Forum Tujuh Tiga ITB) ke lima yang menjadi menteri, sebelumnya adalah Rizal Ramli, Alhilal Hamdi di Kabinet era Gus Dur dan Megawati; Hatta Rajasa dan Kusmayanto Kadiman di era Megawati dan era SBY. Mengapa SBY mengendusnya menjadi Menteri Perhubungan? Pertama, ketika Hatta Rajasa melepas Menteri Perhubungan karena akan ditarik menjadi Menteri Sekretaris Negara, ia diminta pendapat SBY tentang calon Menteri Perhubungan. Ya, Hatta merekomendasikan nama Yusman SD, teman sesama aktivis kampus ITB 1977-1978. Kedua, SBY juga cari second opinion dengan mengundang BJ Habibie ke Istana Merdeka. Maka ketika BJ Habibie memberikan personal garansi Yusman SD adalah orang yang pas karena memiliki kapabilitas tinggi setidaknya selama menjadi anak buahnya di PT. Dirgantara Indonesia. Jadilah Ir. Yusman SD, Menteri Perhubungan RI, yang ketika ditelepon Hatta Rajasa untuk segera ke Jakarta masih asyik-asyiknya main dengan anaknya di Bandung.
Sebagai Rektor ITB yang sangat prestisius, Kusmayanto Kadiman termasuk pinter membuat netwoking. Tidak hanya dengan sesama akademisi nasional dan internasional tetapi ia juga bikin dengan jaringan militer, baik jenderal aktif maupun yang telah pensiun. SBY -----sebelum jadi Presiden----- adalah salah seorang jenderal yang kerap tampil di kampus ITB untuk memberikan presentasi makalah-makalahnya. Namun “Rektor Gaul” ini suka heureuy (bercanda) kadang heureuy-nya suka keterlaluan. Maka ketika jenderal Sudi Silalahi, tangan kanan SBY, telepon pertama kali tak ditanggapinya serius. “Emangnya gue pikirin”, itulah ungkapan spontan Rektor ITB yang paling jagoan main golf ini (handicap 0). Tetapi setelah kemudian ada konfirmasi langsung dengan SBY, maka kepercayaan ini telah berubah menjadi suatu kewajiban bagi Kusmayanto Kadiman, sebagai seorang warga negara Indonesia yang baik untuk tidak menolaknya. Tentu saja.
Hatta Rajasa, anak Teknik Perminyakan ITB 1973, seperti halnya penulis adalah sama-sama Senator Mahasiswa ITB 1977-1978 ketika Ketua Dewan Mahasiswa ITB adalah Herry Akhmadi (sekarang Wakil Ketua Komisi X DPR dari PDIP). Karier politiknya melejit bagai meteor karena sangat cerdik memanfaatkan momentum gerakan Reformasi 1998. Ia bersama Alhilal Hamdi memilih Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh tokoh Reformasi Prof.DR. Amien Rais. Ketika Alhilal Hamdi duluan masuk Kabinet Gus Dur, Hatta Rajasa mematangkan kiprah politiknya di PAN dengan menjadi Sekjen PAN dan Ketua Fraksi Reformasi di DPR. Dan ketika Gus Dur lengser, kabinet era Megawati mengangkatnya menjadi Menteri Riset dan Teknologi, RI. Hatta tentu semakin matang bermain politik di PAN, sehingga tak terlalu sulit bila SBY-JK pun mengangkatnya sebagai Menteri Perhubungan. Dan kemudian Hatta malah menggantikan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara ketika terjadi resufle Kabinet Indonesia Bersatu hingga sekarang ini.
Aburizal Bakrie (Teknik Elektro ITB 1964) dan Rachmat Witoelar (Arsitektur ITB 1964) menjadi menteri karena mereka sudah lama dan matang berpolitik tentu saja di Partai Golkar. Sehingga bagi SBY sudah lama mengamati Aburizal Bakrie dan Rachmat Witoelar ketika masih di Golkar, terlebih-lebih ketika kemudian Rachmat Witoelar bergabung di Partai Demokrat. Tetapi saya sempat “taruhan” dengan teman saya anak Teknik Kimia ITB 1970 yang anggota DPR Partai Golkar bahwa Kang Rachmat tak akan jadi menteri. Pas si Kang Rachmat terpilih, eh politikus Golkar itu malah “ngacir” entah ke mana, tak jadi traktir saya makan siang di Hotel Mulia.
Sedangkan DR.Ir. Purnomo Yusgiantoro, (Teknik Perminyakan ITB 1970) sudah lama diamati SBY ketika dia menjadi Gubernur Lemhanas. Anak Teknik Perminyakan ITB paling pintar di angkatan 1970 ini memang sejak mahasiswa sudah memprogramkan dirinya suatu ketika akan menjadi menteri di Republik Indonesia. Bahkan ketika masih menjadi mahasiswa doktoral di Colorado School of Mine, at Denver, USA, untuk mencari sponsorship, dia terpaksa narsis bahwa dia suatu ketika akan menjadi orang nomor satu yang banyak berhubungan dengan operator minyak dan gas asing yang beroperasi di Indonesia. Saya yang menjadi moderator di acara Persatuan Insinyur Indonesia (PII) pada sesi itu hanya berdecak kagum saja ketika mendengarkan ceritera beliau: antara cita-cita semasa mahasiswa dengan kenyataan beliau yang akhirnya memang menjadi Menteri ESDM, bahkan di tiga era berturut-turut yakni di era Kabinet Gus Dur, era Kabinet Megawati dan era Kabinet SBY!
Jadi dari ceritera di atas, SBY ini memang memiliki benang merah tersendiri dalam memutuskan siapa yang akan menjadi menteri pada kabinetnya. SBY selalu telah memiliki data track of record para calon, baik melalui networking dia sendiri maupun masukan dari anak-anak buah, komunitas teman-teman dekat. Bila data sudah diperoleh, SBY meminta second opinion kepada tokoh terpandang pada bidang yang sama dengan calon yang diincarnya. Kalau perlu minta personal garansi. Terakhir adalah pengambilan keputusan, apakah mengandung risiko besar atau tidak dengan keyakinannya. Jadi secara singkat SBY selalu menjalankan keputusannya berdasarkan: Networking-Common Sense-Risk Taking.
Dan jangan lupa pula, kalau pernah terakhir ketemu SBY dalam waktu yang tidak terlalu lama, jangan Ge-Er dulu. Karena SBY itu pintar menyenangkan semua orang, seolah-olah masing-masing diri yang disalaminya agak lama-lama bakal terpilih menjadi anggota Kabinet SBY Jilid 2. Nah.
0 komentar:
Post a Comment