Antara Anyer dengan Carita

>> Tuesday, May 19, 2009

(sepenggal pengalaman dari KKN ITB tahun 1994)

Bukan, bukan antara Anyer dan Jakarta, tetapi kejadiannya di antara dua kampung di antara kawasan Wisata Anyer dan Carita di Banten. Tepatnya antara kampung Mataram dan Sambolo, dua dusun di wilayah desa Sukarame, Kecamatan Pandeglang, Banten. Agustus 1994, bersama kawan-kawan mahasiswa ITB, saya ber-KKN (kuliah kerja nyata) di desa itu.

Seperti umumnya kegiatan KKN di desa, suatu sore saya dan teman2 se-desa (Dian GM'89, dan Putra TK'90) berkunjung ke desa Mataram. Agendanya, ketemu ketua RT. Setelah ngobrol2 hingga malam, kami diundang untuk ikut acara pengajian. Sekaliah melatih metode pendekatan ke masyarakat, kami ikuti kegiatan pengajian ini, hingga agak larut malam.

Tanpa sepengetahuan saya, teman saya Putra merasa tak enak ikut pengajian, mungkin karena dia orang Bali. Dengan diantar oleh Dian, pulanglah teman saya itu ke base-camp, rumah Pak Kades, yang berjarak sekitar 3-4 km dari kampung Mataram. Ditinggallah saya sendiri. Dan setelah pengajian selesai sekitar jam 10 malam, agak bingunglah saya. Pertama, bagaimana pulang hampir tengah malam lewat jalan yang gegap gulita. Kedua, pulang jalan kaki membawa beberapa dus nasi kenduri, yang setengah dipaksakan warga untuk saya bawa.

Menolak ajakan pak RT untuk menginap, malam itu saya memutuskan untuk pulang ke Base Camp.Yah, melewati jalan gelap gulita. Jelas ketakutan ada di benak saya. Tapi mungkin karena habis pengajian, nyali saya berkata untuk terus berjalan. Ketika kampung mataram mulai ditinggalkan, sedikit demi sedikit cahaya kampung itu pun semakin terasa di belakang. Dan akhirnya benar-benar saya tinggalkan, berganti jalan gelap gulita. Sebelah kiri sawah dan ladang, sebelah kanan pantai. Senyap. Karena sudah malam, tak ada kendaraan yang melintasi jalur Anyer Carita ini.

Lama-lama saya beradaptasi dengan kegulitaan dan kesenyapan ini. Terbersit pikiran, apakah seperti ini perjalanan setelah mati nanti: sendiri, gelap gulita, senyap. Tak terlihat awalnya, tak terlihat pula di mana akhirnya. Hanya keyakinan yang mendorong saya untuk terus berjalan, karena akan ada Cahaya yang dituju. Seperti saat itu, meski gulita sama sekali, saya tahu karena jalan ini akan menuju pada kampung Sambolo, kampung terdekat.

Aha, mulai ada samar-samar cahaya di depan: Kampung Sambolo. Dan cahaya samar-samar itu semakin terlihat jelas. Langkah semakin mantap, tujuan telah terlihat. Namun kecemasan baru muncul. Sekitar 10 meter di belakang, muncul sosok orang membayangi saya. Tak terlihat sebelumnya. Meski capek, laju langkah tidak saya perlambat, justru dipercepat. Takut terjadi apa-apa. Teringat juga, uang overhead kegiatan KKN ternyata saya kantongi. Waduh, kayaknya ini lebih membuat jantung berdetak lebih kencang daripada berjalan sendiri di antara gelap gulita.

Akhirnya, kampung sambolo berhasil saya capai. Saya melepas lelah di sebuah warung, sumber cahaya itu, dan memesan minum. Orang yang "membuntuti" saya tiba tak lama kemudian. Entah karena didorong rasa tak mau buat masalah, atau sikap kasihan melihat orang itu agak sayu dan kelelahan, saya berikan sebungkusan nasi kenduri pada orang itu. Dan kemudian, ia meninggalkan warung itu. Slamet, pikir saya. Kemudian dari pemilik warung saya mendapat informasi, rupanya orang agak kurang waras dan suka jalan-jalan di sekitar tempat ini. Lho, jangan-jangan wali? Untung saya berikan nasi kenduri saya.

Dari sambolo saya putuskan menyewa ojek (yang mangkal di warung itu) ke rumah Pak Lurah. Di situ, saya jumpai 2 teman saya main kartu. Alhasil, ingin saya labraklah mereka yang bersuka cita meninggalkan saya sendiri menempuh jalan gulita. Tapi, pengalaman bersama kesenyapan membuat saya bisa mengendalikan diri. Saya biarkan rasa pengalaman itu menemani saya hingga lelap malam itu, sembari diselingi sayup-sayup ujar dan canda para pemain kartu itu...

***

Sembilan tahun kemudian, di rumah Awiligar, suatu senja, tiba-tiba inspirasi melintasi untuk mendorong saya menyelesaikan sebuah lagu yang saya rangkai saat di Carita dulu. Pengalaman berjalan sendiri dalam kegulitaan menjadi sumber untuk merangkai syair reffrein-nya...

Bila manusia berjalan sendiri
Di sepenggal malam yang sepi
Menyusuri lorong gelap yang sunyi
Ber’hendak sampai ke cahaya yang menanti


Agus S. Ekomadyo (AR'91)

0 komentar:

Penggemar Blog IA-ITB :

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP