Jakarta Pusat adalah Pusat (Cicak) Buaya
>> Tuesday, December 29, 2009
Jakarta Pusat adalah Pusat (Cicak) Buaya!
Oleh: Cardiyan HIS
Jakarta sudah tua bangka. Usianya saja sudah mencapai 582 tahun pada 22 Juni 2009 yl. Jakarta pada ribuan tahun yang lampau adalah kawasan yang terbentang pada tanah aluvial yang luas berupa dataran rendah di pantai utara Jawa Barat, yang dibentuk selama 5.000 tahun terakhir masa holosen muda. Sedangkan bagian selatan Jakarta yang lebih tinggi dibentuk pada masa holosen tua. Endapan ini membentuk dataran dengan alur-alur sungai menyerupai kipas.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata menarik beberapa kelompok orang Sunda (sampai abad ke 16 orang Sunda masih menjadi mayoritas penduduk Sunda Kelapa) yang termasuk kerajaan Hindu Sunda Pajajaran untuk menghuninya sampai kemudian berkembang menjadi pelabuhan besar yang bernama Sunda Kelapa, yang sudah bercorak internasional sejak dulu.
Sekurang-kurangnya sejak abad ke 5 kapal-kapal dari Tiongkok dan Champa (Vietnam sekarang) dan dari seluruh pelosok Kepulauan Nusantara berlabuh di muara Ciliwung. Sunda Kelapa rupanya menjadi pelabuhan utama Kerajaan Hindu Sunda Pajajaran yang ibukotanya sendiri terletak di Batutulis (Bogor) yang pada jaman itu dapat dicapai dalam dua hari perjalanan menyusuri sungai Ciliwung. Sunda Kelapa kemudian semakin banyak didatangi kapal-kapal dagang asing lainnya dari India dan Kepulauan Ryuku (Jepang).
Namun demikian Jakarta yang sudah menjadi sangat ramai, sampai abad ke 17 ternyata masih dihuni banyak binatang baik yang “ecek-ecek” seperti cicak, ular sampai binatang buas seperti macan (pantesan kesebelasan sepakbola Persija Jakarta dijuluki Macan Kemayoran sampai sekarang meskipun sudah menjadi “Macan Ompong”) dan badak. Bahkan di kali-kali yang membelah daerah kota (Jakarta Pusat sekarang) pun masih banyak berkeliaran buaya ganas.
Konon pada tahun 1692 misalnya, 3 orang laki-laki yang baru tiba dari Eropa hanya sempat menyelamatkan diri dengan memanjat tiang gantungan (tiang gantungan oleh penjajah Belanda memang sengaja diletakkan secara mencolok di dekat sebuah kali yang strategis). Sebab dari kali itu tiba-tiba muncul seekor buaya besar yang lapar mengejar mereka (A. Heuken SJ, 1997). Tambah si pelapor peristiwa ini: “Untuk pertama kalinya di dunia saya baru mendengar, bahwa tiang gantungan menyelamatkan nyawa seseorang bahkan tiga orang sekaligus!”.
(Dipetik dari buku: “Pemetaan di DKI Jakarta, Sejarah dan Prospek Pengembangannya” oleh Cardiyan HIS et al., Penerbit Dinas Pemetaan dan Pengukuran Tanah, DKI Jakarta, 2000.)