>> Monday, May 21, 2012
Barcelona dan Teori Dialektika Hegel
Oleh Cardiyan HIS
Tidak ada yang tidak
berubah di Dunia ini. Dan cara berubahnya pun sedemikian rupa. Bahwa dalam
setiap timbul suatu pengertian (thesa),
selalu akan menimbulkan satu atau beberapa antithesa,
yang berlawanan, atau tidak serupa dari pengertian semula. Memang antithesa
tersebut tidak usah bertolak belakang penuh dengan thesa semula, tapi minimum
ia tidak serupa.
Thesa dan antithesa ini akan bersama-sama
menimbulkan suatu pengertian yang lebih tinggi tingkatnya. Yakni pada fase
ketiga yang terletak dalam suatu tingkat pengertian yang lebih tinggi dari
bidang perdebatan antara thesa dan antithesa; yang biasanya disebut synthesa. Pengertian synthesa yang akhir ini pun di dalam proses perubahan
berikutnya, akan menimbulkan hal-hal atau pengertian-pengertian yang berlawanan
atau tidak serupa, sebagai koreksi berikut. Mengapa? Karena sudah mendapat
masukan Umpan Balik (feedback), yang
akan merangsang dan mengarahkan proses perubahan yang merupakan permulaan dan
proses Dialektika berikutnya.
Itulah jalan pikiran “Teori Dialektika” Wilhelm Friedrich HEGEL (1770-1831), yang diyakininya bahwa fenomena
dialektika adalah prinsip semua pergerakan; semua proses kehidupan dan semua
aktivitas dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Cara berpikir dialektis ini adalah suatu metoda berpikir yang sering
juga disebut sebagai bentuk mula atau
intinya metoda berpikir ilmiah. Jan
Romein, seorang ahli sejarah Belanda menerangkan yang terkait erat dengan
fenomena Dialektika Hegel ini “....... bahwa suatu posisi terdepan, pada
suatu waktu tertentu dan dalam kondisi yang tertentu pula, akan justru
menghambat dan akan berubah menjadi keterbelakangan”. Atau dengan kata lain; yang di depan
melambat dan yang di belakang mempercepat.
Dalam kaitan dengan dunia
olahraga khususnya sepakbola, Teori Dialektika Hegel ini secara sederhana sangat mudah dipahami. Segera
sebuah tim sekelas Barcelona yang belakangan berulang kali menjuarai La Liga
Spanyol dan “Copa del Rey” kemudian dituntaskan dengan menjuarai liga “Champions”
musim 2005-2006 (sebelumnya di musim 1991-1992 pada era pelatih Johan Cruyff),
2008-2009 dan 2010-2011; banyak klub maupun para pemain sepakbola di dunia akan
berusaha meniru atau mempelajari keunggulan teknik Barcelona dalam memainkan tiki-taka;
possesion football; bagaimana melakukan kontrol permainan sehingga membuka banyak peluang mencetak gol; bagaimana mencetak goal dari rancangan adanya peluang yang berasal dari tendangan bebas dan tendangan sudut; bagaimana
mengeksekusi finishing touch secara
mematikan; dan strategi-strategi bertanding lainnya. Sementara sang juara
sendiri , Barcelona, dengan pelatih “Pep” Guardiola, susah untuk meningkatkan kualitas
permainannya, karena mereka merasa tidak ada lagi lawan yang lebih pandai yang
dapat dipelajari, setidaknya sebagai bahan evaluasi.
Demikian juga dengan
keadaan mental bertanding Barcelona, agak terhambat karena posisi juaranya (someting to lose) jika dibandingkan
dengan mental klub pesaing di belakangnya, yang ingin merebut kejuaraan (nothing to lose). Maka manakala
Barcelona selalu memenangi bahkan dengan skor telak dalam duel klasik melawan
Real Madrid di stadion Santiago Bernabeu,
Madrid; mental Barcelona telah berubah yang cenderung arogan atau setidaknya
mudah berpuas diri. Dan hukuman buat Barcelona pun tinggal menunggu waktu dan sangatlah
kejam. “ The Special One” Jose Mourinho, pelatih Real Madrid yang selalu
berpikir keras dan cerdas, misalnya, agaknya sudah memegang semua kunci kelemahan
Barcelona. Bertindak sebagai tuan rumah
di laga yang semestinya bisa mempertipis jarak di klasemen La Liga Spanyol 2011-2012
menjadi tinggal satu poin saja dengan Real Madrid, Barcelona malah dipermalukan
Real Madrid dengan skor 1-2.
Kelemahan Barcelona terutama
terletak pada pengorganisasian lini pertahanan termasuk kelemahan penjaga
gawang Victor Valdes dalam menghadapi bola-bola crossing sayap lawan; yang
belum mampu meraih pencapaian penjaga gawang legendaris Barcelona, Andoni Zulbizarreta. Menghadapi lawan sekelas Chelsea yang bermain negative football dan mengandalkan
serangan balik cepat; Barcelona menemukan detik naasnya. Perangkap offside yang sering diterapkan oleh
Barcelona, sering berakibat fatal karena keasyikan menyerang termasuk oleh kedua back sayapnya yang memang
tipikal menyerang sehingga sering terlambat kembali ke belakang. Karena tipikal
kedua bek sayapnya yakni Daniel Alves di kanan dan Eric Abidal di kiri (atau
secara bergantian diperankan oleh Maxwell atau Adriano tetapi sering masih labil),
maka Abidal terpaksa bertransformasi menjadi bek tengah bersama Charles
Puyol dan Gerrard Pique. Begitu pula Zavier
Mascherano yang gelandang bertahan multi fungsi
sewaktu-waktu ditarik menjadi bek tengah.
Barcelona semestinya mengevaluasi
total sejak kekalahan memalukan di kandang sendiri dari Real Madrid.
Mereka
semestinya melupakan segera peluang di La
Liga yang sudah menjadi milik Real Madrid. Mental bertanding Barcelona tak bisa
pulih malah sangat menurun tajam, apalagi untuk dapat menutupnya dalam
persiapan menghadapi pertandingan home
melawan Chelsea di liga Champions. Chelsea yang menjadi “underdog” di pertandingan away tak memiliki beban mental sama
sekali. Chelsea dengan modal keunggulan
1-0 di kandang, bermain lepas menghadapi sang juara bertahan Barcelona. Maka
hanya dengan menahan Barcelona 2-2, Chelsea yang sangat diremehkan akhirnya menang
agregat 3-2 dan melaju ke final melawan Bayern Muenchen, yang di pertandingan
lain memenangi adu penalti melawan Real Madrid. Mental bertanding Chelsea yang
sedang bagus-bagusnya bahkan akhirnya memenangi liga Champions dengan memenangi adu penalti lawan Bayern Muenchen di kandang Bayern
Muenchen. Itulah buah penantian panjang sebuah investasi dan sebuah cita-cita Roman
Abramovic sejak tahun 2003, yang pertama kali menghasilkan juara liga Primer
Inggris pada 2005 dan kemudian piala Liga Champions 2012.
Barcelona oh Barcelona.
Mudah-mudahan Teori Dialektika Hegel menjadi masukan yang sangat berharga bagi
Barcelona untuk mengevaluasi diri menghadapi kompetisi ke depan dan bangkit
dari kekalahan! Regenerasi adalah salah satu jawaban pasti kalau mau mengubah
keadaan. Regenerasi Barcelona yang berasal dari akademi Barcelona, sangat
terlambat terutama untuk pemain belakang yang hanya menghasilkan Andre Pontas
pada tahun 2009 dengan prestasi biasa-biasa saja. Regenerasi lainnya di tahun
yang sama untuk posisi gelandang menghasilkan Thiago Alcantara; sebelumnya pada
tahun 2008 adalah Pedro Rodriguez dan Sergio Busquets. Dan regenerasi paling
anyar ada pada diri penyerang Christian Tello dan Isaac Cuenca. Barcelona
hendaknya juga jangan lengah menjaga
pemain binaan di akademi Barcelona,
seperti kasus Cesc Fabregas yang dicomot Arsenal dan Gerrard Tique oleh Manchester
United.
0 komentar:
Post a Comment