Berjuang Menjadi Seorang “Billionaire” Tidaklah dalam Satu Hari
>> Saturday, April 2, 2011
Oleh Cardiyan HIS
I wanna be a billionaire so fricking bad
Buy all of the things I never had
Uh, I wanna be on the cover of Forbes magazine
Smiling next to Oprah and the Queen
“I wanna be a billionaire so fricking bad”, intro lagu yang sungguh enak didengar. Setiap kali saya menilpun HP salah seorang Project Manager perusahaan saya, lantunan lagu yang dibawakan penyanyi Bruno Mars inilah yang menjadi nada tunggu yang menyegarkan telinga. Kedatangan Bruno Mars ke Jakarta dalam waktu dekat ini (dan konon tiketnya sudah ludes habis diborong ribuan calon penonton), semoga akan menginspirasi para anak muda yang bermimpi menjadi “a Billionaire in US Dollar” di kemudian hari.
Malinda Dee adalah “the New Indonesian Real Billionaire”, setidaknya sampai sebelum tanggal 23 Maret 2011 manakala sebuah tim dari Bareskrim Mabes Polri mencokoknya di sebuah apartemen super mewah di kawasan sentral bisnis Jakarta Selatan. Tetapi karena Dee membangun “imperium” bisnisnya tidak secara alamiah, tidak melalui perjuangan panjang dan cara memperolehnya dengan menilep dana sedikitnya 400 nasabah Citibank, Dee akhirnya tersandung. Dee lupa sebuah adagium bahwa “membangun Roma, ibukota negeri Italia penghasil Ferrari Scuderia B 5 DEE itu, tidaklah mungkin dalam satu hari !!!”
Kasus Dee dan sebelumnya seorang akuntan muda Gayus Tambunan, sebenarnya menjadi pembelajaraan yang sangat berharga bahwa menjadi “a Billionaire” itu sah-sah saja. Bahkan menjadi seorang Billionaire itu sangat dianjurkan kalau cara memperolehnya dilakukan dengan cara-cara bermartabat. Dalam berbagai agama pun menjadi kaya itu sangat dianjurkan karena orang kaya sangat berbeda dengan orang miskin yang hanya mampu berdoa saja. Seorang pengusaha kaya yang memperoleh hartanya dengan cara-cara yang bermartabat bisa berbuat banyak bagi banyak orang. Paling tidak, seorang pengusaha kaya dapat memberikan lapangan kerja yang luas bagi banyak orang, yang karena seseorang itu bekerja maka ia akan memiliki harga diri dan membuat keluarganya bisa memenuhi minimal kehidupan, menyekolahkan anak, menikmati hiburan, mampu berobat di kala sakit dan sedikitnya tabungan masa depan. Bayangkan kalau seorang pengusaha kaya itu memiliki karyawan 100.000 orang lebih berapa juta orang yang memperoleh manfaat dari seorang pengusaha kaya yang hartanya dijalankan pada bidang usahanya secara bermartabat.
Tak mengherankan manakala di Indonesia ada trend kencang “Benci deh sama pejabat yang menjadi kaya karena korupsi”, maka sekarang trend anak muda secara paralel memiliki mimpi “Bangga deh menjadi pengusaha kaya melalui bisnis yang bermartabat”. Sebagai generasi baru di era Reformasi dan era Teknologi Tinggi, anak muda sekarang merupakan “generasi yang sulit diatur”. Sulit diatur itu bisa saja terjadi, karena para orangtua memang memberi segala kemudahan sehingga mereka bisa saja menjadi anak manja, anak yang kurang diberi tantangan. Tetapi kita ambil saja yang segi positifnya saja dan tak usah banyak-banyak dari segi populasi anak muda. Maka generasi muda yang mau hidup mandiri; yang mau hidup merdeka; akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya jiwa entrepreneurship. Bila trend ini terus berkembang di kalangan anak muda akan sangat menarik untuk dikembangkan sebagai basis “Bagaimana Membangun Bangsa Indonesia Mandiri Berbasis Kewirausahaan?”.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara historis terlahir dari berbagai daerah, secara mayoritas memang kurang memiliki basis sebagai bangsa entrepreneur. Kekuasaan raja-raja atau sultan-sultan di berbagai daerah lebih dominan dari pada “kekuasaan” atau pengaruh para entrepreneur. Kultur bagi tumbuh suburnya entrepreneurship menjadi sangat terkendala karena budaya upeti kepada raja. Dan ini berlangsung ratusan tahun lamanya. Bahkan manakala 66 tahun setelah Indonesia merdeka sekarang ini, kultur ini tak mengalami perubahan yang berarti. Para penguasa tetap dominan berkuasa sekaligus menjadi kaya karena mereka membina pengusaha-pengusaha kroninya yang ujungnya memberi upeti. Sementara “genuine entrepreneur” yang tetap setia kepada filosofi harus kaya dengan cara-cara bermartabat yang jumlahnya sangat terbatas di tengah belantara “pengusaha preman”, harus berakrobat terus menerus agar tetap mampu survive dan entah kapan meraih level sedikitnya sebagai “a Billionaire in Indonesian Rupiah” kalau belum mampu meraih “a Billionaire in US Dollar”.
Kita masih ingat bagaimana seorang Lakshmi Narayan Mittal (juga dikenal dengan Lakshmi Niwas Mittal; lahir 15 Juni 1950; umur 61 tahun) karena kecewa berat dengan birokrasi yang sulit dalam membangun usahanya di India, ia tiba di Indonesia pada tahun 1976 dan mendirikan perusahaan baja bernama PT. Ispat Indo di Waru, Jawa Timur. Ia kemudian menjadi sukses dengan membeli pabrik-pabrik baja yang merugi dan mengubahnya menjadi pabrik-pabrik baja yang berhasil. Sekarang Mittal “tukang tancap gas” didampingi anak lelakinya ahli analisis keuangan lulusan Stanford University yang menjadi “tukang tekan rem” adalah seorang “a Billionaire in USD” asal India yang tinggal di rumah termahal di kawasan Kensington Mansion, London, senilai US$128 juta. Dia adalah pemilik dari Mittal Steel Company NV, yang merupakan produsen baja terbesar di dunia. Pada 2011 ini majalah Forbes menobatkannya sebagai orang terkaya kelima di dunia dengan kekayaan USD 28,7 Billlion.
Ceritera sukses Mittal yang bermula dari kebencian terhadap birokrasi jelek di pemerintahan India dan kemudian memulai bisnisnya dari pabrik baja di Indonesia. Dan juga ceritera sukses Bill Gates dan Steve Jobs yang sengaja memilih “mendroup-outkan diri” dari Harvard University agar bisa lebih cepat mewujudkan ide invensinya di bidang Teknologi Informasi akan selalu menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda yang mau bermimpi menjadi entrepreneur kelas dunia yang bermartabat. Dari Indonesia sendiri ada sosok Aburizal Bakrie (alumnus Teknik Elektro ITB), lepas dari berbagai kontroversi tentang Aburizal Bakrie, tetapi harus diakui ia berhasil memikul tanggungjawab estafet imperium ayahnya Achmad Bakrie. Namun berbeda dengan ayahnya Achmad Bakrie yang tak mau berkroni dengan Soeharto ketika mengembangkan bisnisnya, Aburizal Bakrie “sengaja” mendekatkan diri dengan penguasa dimulai sejak Menmuda UP3DN, Ginandjar Kartasasmita membina para pengusaha muda Indonesia termasuk pengusaha Arifin Panigoro (alumnus Teknik Elektro ITB) yang akhirnya lolos menjadi “a Billionaire” dengan membangun imperium Medco Group.
Masalahnya sekarang; bagaimana kita berharap kepada Pemerintah Indonesia, apakah mau mengubah dirinya untuk menjadi pembuat regulasi yang memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh suburnya entrepreneurship? Tidak mungkinlah entrepreneur Indonesia berkelas dunia lahir dari Indonesia bila pilar lainnya yakni Pendidikan dan Hukum yang Tegak dan Adil tidak bersamaan diberikan perhatian yang sungguh-sungguh oleh Pemerintah. Pendidikan yang baik akan memberikan dasar-dasar ilmu, pendidikan yang berkarakter dan sentuhan etika untuk menjadi bekal bagi generasi muda berjuang menjadi “World Class Genuine Entrepreneur” di kemudian hari. Hukum yang Tegak dan Adil akan memberikan kepastian hukum bagi siapa saja untuk menjalankan bisnis secara legal, jujur dan bermartabat. Tidak akan ada lagi, pembiaran kasus korupsi yang melukai rasa keadilan masyarakat. Tidak akan ada lagi, tempat bagi para preman kerah putih untuk menjadi kaya di Indonesia manakala Pemerintah Indonesia secara sungguh-sungguh membangun tiga pilar Entrepreneur Bermartabat, Pendidikan yang Berkarakter dan Hukum yang Tegak dan Adil.
Oh oooh oh oooh for when I’m a Billionaire
-------------------------------------------------------
I ’ll be playing basketball with the President
Dunking on his delegates
Then I ‘ll compliment him on his political etiquette
--------------------------------------------------------
(Travis “Travie” McCoy)
http://www.metrolyrics.com/billionaire-lyrics-bruno-mars.html
www.cardiyanhis.blogspot.com
http://id.linkedin.com/pub/cardiyan-his/20/742/2a6
0 komentar:
Post a Comment